56. Ragnala

1.3K 235 116
                                    

SORE!!!!
.
.
.

(JEFFRY POV)

Aku bergegas pergi ke rumah sakit tempat Bira berada sekarang setelah mendapat kabar dari ibu mertuaku bahwa istriku masuk rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Bira, aku sungguh mengkhawatirkan kondisinya dan Al. Dan karena kemoterapi Aru belum selesai tapi aku sudah mendapat kabar tak mengenakan seperti ini, sebelum pergi tadi aku sudah menghubungi Bianca, memintanya untuk menggantikanku menemani Aru di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit kasih ibu, aku berlarian ke sana ke mari, menanyakan pada setiap suster yang kutemui di mana keberadaan Bira. “Jeff!” Seseorang memanggilku, kulihat Maga melambai ke arahku dari depan sebuah ruangan. Aku segera menghampirinya. “Bira ada di dalem sama mertua lo, masuk aja.”

“Makasih ya Ga.” Aku membuka pintu ruangan yang dimaksud Maga, dan menemukan Bira yang sedang menangis terduduk di atas brankar dan ibu mertuaku yang mencoba menenangkan putrinya. “Bira,” panggilku seraya menghampirinya.

“Mas...” Bira memelukku begitu aku berdiri di hadapannya. Aku mengusap-usap punggungnya.

“Tenang Ra,” bisikku. Aku melihat Ibu, memandanginya penuh tanya.

“Bira harus melahirkan sekarang Jeff, dia pendarahan, dan keadaan anak kalian juga mengkhawatirkan,” jelas Ibu. Aku terkejut, sampai tadi pagi keadaan Bira masih baik-baik saja. Dia tidak mengeluhkan sakit apapun. Bahkan saat pemeriksaan terakhir dengan dokter Irfan, dia mengatakan jika kondisi Bira dan Al baik-baik saja, ketuban Bira bagus, dan detak jantung Al normal. Lantas kenapa sekarang Bira mendadak harus melahirkan di usia kandungannya yang bahkan belum menginjak bulan ke sembilan. “Bira jatuh tadi, kata dokter benturannya terlalu kuat. Untung aja ada Maga yang nolongin dia,” kata Ibu lagi seolah paham dengan apa yang kupikirkan.

“Mas Al gak akan kenapa-napa 'kan?” tanya Bira. Dia mendongak menatapku, kuseka air matanya menggunakan ibu jariku. Wajah Bira sembab, istriku pasti banyak menangis.

Aku mengangguk. “Al pasti kuat, dia kayak Mamoynya.”

“Tapi dia bakal lahir lebih awal dari yang seharusnya,” ujar Bira lagi. “Aku takut Al ngalamin komplikasi karena lahir prematur.”

“Suut tenang, dokter bakal mantau terus kondisi kamu dan Al, jangan khawatir. Sekarang jangan nangis ya, rileks, kamu gak boleh stress.” Aku berusaha menenangkan Bira agar dia tidak terlalu kalut, meski aku sendiri memiliki ketakutan yang sama dengannya.

“Permisi.” Seorang dokter perempuan dan suster masuk ke dalam ruangan. “Bagaimana Ibu? Sudah mengambil keputusan untuk pasien?” tanya dokter bernametag Sari itu.

“Dokter bisa langsung bicara sama menantu saya,” ujar Ibu seraya mengusap bahuku.

Aku mengangguk. “Jadi gimana dok kondisi istri dan anak saya?” tanyaku.

“Bapak boleh ikut ke ruangan saya, nanti saya jelaskan.” Aku mengangguk, lalu mengikuti dokter Sari ke ruangannya. Tapi sebelumnya kusempatkan diri untuk mengecup kening Bira, mengatakan padanya bahwa semua akan baik-baik saja. Di ruangannya, dokter Sari menjelaskan kondisi Bira dan Al. Tak jauh berbeda dengan yang ibu mertuaku jelaskan sebelumnya bahwa Bira mengalami pendarahan dan detak jantung Al yang semakin melemah mengharuskannya untuk segera dikeluarkan dari rahim Bira, jika tidak dilakukan, maka bukan hanya nyawa Al yang terancam, tetapi Bira juga. Kepalaku langsung pening mendengarnya, perasaanku tidak karuan. Di tengah kegalauan itu, dokter Sari terus mendesakku agar segera mengambil keputusan sebelum terlambat. “Jadi bagaimana Pak? Apakah Bapak setuju pasien melakukan prosedur operasi?” tanya dokter Sari.

Aku menghembuskan napasku. “Lakukan apa yang harus dilakukan dok. Saya setuju kalau itu untuk kebaikan istri dan anak saya,” kataku akhirnya.

Dokter Sari tersenyum. “Baik Pak, percayakan istri dan anak Bapak pada kami. Kami akan melakukan yang terbaik yang bisa kami lakukan.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang