91. Si Jupri

995 179 51
                                    

.
.
.


(JEFFRY POV)

Mama gemoy : Hari ini pulang jam berapa Pa?

Me : Gak pasti, kamu tau kerjaan aku gimana Yang

Mama gemoy : Tau sih, semua dikerjain. Pengusaha, model, influencer, belum bantu ngurus perusahaan Ayah Robi juga

Me : Punya banyak kerjaan lebih baik dari pada gak punya sama sekali hehe

Mama gemoy : Iya sih, aku juga seneng dapet suami yang pekerja keras. Tapi jangan lupa istirahat, makan sama minum yang banyak

Me : Siap cintaku, sayangku, istriku

Mama gemoy : Alay

Me : Haha gak alay itu. Kamu kan emang cintanya aku, sayangnya aku, dan istrinya aku

Mama gemoy : Mas...aku telepon boleh gak?

Me : Nanti ya Ra, aku lagi ada meeting sama kolega-kolega aku

Mama gemoy : Yaudah

“Bagaimana Pak Jeffry?” Aku mendongak saat salah seorang kolegaku tiba-tiba bertanya. Agak sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaannya karena dari beberapa menit yang lalu aku sudah kehilangan fokus dalam pertemuan hari ini yang tujuan utamanya membahas perihal investor restoran. Aku melirik Ayah yang duduk di sebelahku, dia memberikan anggukan kecil.

“Iya Pak saya setuju, bagaimana baiknya saya serahkan ke Bapak,” sahutku. Beruntung hari ini Ayah ikut menemaniku. Jadi aku tak perlu repot meminta kolegaku agar mengulang ucapannya. Selesai pertemuan yang dilakukan di sebuah hotel tersebut, aku dan Ayah bergegas menuju parkiran. Setelah ini aku akan mengantar Ayah pulang, sementara aku kembali ke restoran untuk memantau langsung bagaimana keadaan di sana. Akhir-akhir ini restoran sedang ramai-ramainya kedatangan pengunjung, jadi aku sedikit mengkhawatirkan kondisi para pegawaiku. Lalai sedikit saja, reputasi restoran bisa turun. Dan lusa, aku juga akan pergi ke restoranku lainnya yang berada di Bali dan Lombok. Tapi aku belum memberitahu Bira soal itu.

“Habis ini kamu ke mana lagi Jeff?” tanya Ayah dalam perjalanan.

“Ke restoran,” sahutku tanpa menoleh, pandanganku fokus pada jalanan di depan.

“Akhir-akhir ini Ayah liat kamu sibuk banget.”

“Gitulah Yah, kerjaan yang selama ini ketunda karena aku di Milan tiga tahun, lagi aku kerjain satu-satu.” Aku melirik Ayah sekilas. “Kenapa emang Yah? Kayaknya ada yang mau ditanyain gitu.”

“Enggak juga. Kalau kamu sibuk gini, biasanya Bira sama Al gimana? Kamu gak nelantarin mereka kayak ke Bianca dan Aru dulu 'kan Jeff?” Aku tak langsung menjawab pertanyaan Ayah. Kuingat-ingat lagi bagaimana aku memperlakukan Bira dan Al beberapa minggu terakhir ini. Aku semakin jarang memiliki waktu bersama mereka. Karena pekerjaanku yang padat, aku tak pernah pulang tepat waktu ke rumah. Setiap kali aku pulang, Al pasti sudah tidur, hanya ada waktu sedikit bersamanya ketika pagi sebelum aku berangkat bekerja. Dan Bira...aku rasa sudah lama kami tidak menghabiskan waktu berdua seperti yang sering kami lakukan saat tinggal di Milan. Dulu, setidaknya dalam satu minggu ada hari di mana aku dan Bira berkencan berdua tanpa Al, kusenangi hatinya, dan kubelikan berbagai macam barang yang Bira inginkan sebagai hadiah untuknya. “Bira cerita ke Ayah, kalau kalian jarang punya waktu berdua.”

“Iya Yah, aku terlalu sibuk,” kataku.

“Coba kamu luangkan waktu khusus untuk kalian berdua. Kerja terus juga pusing Jeff, dan Bira, dia pasti capek ngurus kamu dan Al setiap harinya. Kalian berdua sekali-kali refreshing, cari udara seger, istirahat dari kepadatan aktifitas.” Aku hanya diam, tapi dalam hati merasa bersalah pada Bira karena kurang memperhatikannya akhir-akhir ini. Begitu tiba di rumah, biasanya aku langsung mandi, makan, dan pergi tidur. Mengobrol dengan Birapun hanya sebatas basa-basi. “Kalau Bira kamu tinggal kerja terus dan dia ngerasa di cuekin, bisa aja kamu ditinggal.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang