79. Rekaman 4

846 164 78
                                    


.
.
.

(ARUNDAYA POV)

Semakin hari aku merasa semakin lemah. Berbagai macam pengobatan sudah aku jalani, kemoterapi keduapun sudah terlewati, berharap agar penyakit yang kuderita cepat menghilang. Tapi kembali lagi pada takdir, aku sebagai manusia hanya bisa berusaha, sedangkan keputusannya Tuhan yang menentukan. Sebetulnya, aku ingin menyerah, rasa sakit yang kuderita teramat menyiksa. Pandanganku kabur, tenggorokanku sakit seperti ditusuk-tusuk, kepalaku berat, setiap hari aku muntah, dan yang paling membuatku frustasi adalah aku kesulitan untuk berbicara. Ada benjolan yang menekan sarafku sehingga suaraku menjadi parau bahkan menghilang. Selain itu, aku juga sering mimisan. Penyakit ini benar-benar menyusahkan, bukan hanya untukku, tapi orang-orang di sekitarku. Aku merasa kasihan pada mereka yang tidak bisa beristirahat dengan tenang karena sibuk mengurusi orang penyakitan sepertiku. Apalagi sudah dua hari ini aku dirawat di rumah sakit akibat tidak bisa menelan makanan.

Aku menggoyangkan pundak Mama, berusaha membangunkannya yang tertidur dengan kepala yang ditumpu di atas lenganku. Wajah Mama kelihatan letih, Mama pasti lelah menungguku di rumah sakit selama dua hari ini. Dan setiap pagi, aku selalu menemukannya tertidur seperti sekarang. Mama terbangun, dia meregangkan otot-ototnya. “Udah pagi ya Ru?” tanya Mama.

Aku menunjuk ke arah jam dinding.

“Udah jam sembilan ternyata,” kata Mama.

Kusentuh lagi pundak Mama, kemudian aku menggerakkan tanganku seperti sedang makan, bermaksud meminta Mama agar segera sarapan. Mama tersenyum. “Iya nanti, Mama mandi dulu. Kamu gak apa-apa 'kan Mama tinggal?” tanya Mama.

Aku menganggukkan kepala. Saat Mama akan pergi, kutahan tangannya. Aku berusaha membuka suara dan mengucapkan sesuatu. “M-maaf...” ucapku susah payah dengan suara yang teramat pelan.

“Enggak sayang, jangan minta maaf. Kamu gak salah apa-apa.” Mama mengecup keningku. “Mama mandi dulu sebentar.” Setelahnya Mama masuk ke dalam kamar mandi. Tak lama dari Mama pergi, ada Gladis datang menjengukku. Padahal kemarin dia sudah datang, dan hari ini datang lagi.

Seperti biasa, Gladis datang dengan senyum manisnya yang menyapaku. Dia juga tak pernah absen membawa bingkisan untukku. “Pagi sayang,” sapanya girang. Gladis menaruh kantung-kantung plastik yang dibawanya ke atas nakas, kemudian duduk di sebelahku. “Mama mana?” tanyanya. Aku tidak heran panggilan Gladis terhadap Mama sudah berubah, dia tak lagi memanggil Mama dengan sebutan tante karena Mama sendiri yang memintanya. Aku menjawab pertanyaan Gladis dengan menunjuk ke arah kamar mandi.

“Oooh.” Gladis mengangguk-anggukan kepalanya. Kuraih ponselku yang berada di dekat kantung plastik tadi, kemudian mengetikkan sesuatu di sana.

Kamu gak kuliah?

Gladis menggeleng setelah membacanya.

Aku kembali mengetik.

Kenapa?

“Mau nemenin kamu,” sahutnya. Aku memandangi Gladis sambil menggelengkan kepala. Dia menunjukkan deretan giginya tanpa bersalah. Gladis lalu naik ke atas brankarku dan memelukku. “Waktu yang aku habisin sama kamu itu jauh lebih berharga Ru.”

Aku tersenyum tipis. Kukecup puncak kepala Gladis yang berada di pelukanku. “M-makasih,” ucapku terbata. Hubunganku dan Gladis semakin dekat seiring berjalannya waktu, dan bisa dibilang sekarang Gladis adalah tempat ternyaman yang kumiliki. Walau aku masih tidak tahu bagaimana perasaanku padanya.

“Papa kamu belum ke sini?” tanya Gladis. Aku menggeleng sebagai jawaban. Pertanyaan Gladis mewakili pertanyaanku juga. Kenapa Papa belum datang? Biasanya dalam satu bulan sekali Papa akan datang melihatku. Aku sedikit membenci Papa, tapi aku juga merindukannya, sejak dia pindah ke Milan kami jarang bertemu. Tak berselang lama, pintu ruanganku terbuka. Kukira Om Maga yang biasa datang pagi-pagi membawakan Mama sarapan, ternyata Papa. Papa datang sambil menyeret koper kecil di tangan kirinya. Gladis lantas turun dari brankar. “Om, baru dateng?” tanya Gladis.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang