45. Janda Sebelah

1.6K 242 150
                                    

SELAMAT PAGI!!!! JANGAN LUPA KOMENNYA!!!
.
.
.

Malu. Aku benar-benar malu jika mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, aku dengan kepercayaan diriku yang saat itu entah datang dari mana, berani melepaskan handuk yang melingkar di pinggang Mas Jeffry, menyebabkan pergumulan panas yang tidak bisa dihindari. Sekarang lelaki itu tengah tertidur pulas di sebelahku. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Jeffry bangun nanti, dia pasti akan mengejekku habis-habisan karena memulainya lebih dulu. Padahal kemarin-kemarin ketika Mas Jeffry akan melakukannya, aku menolaknya bahkan sampai mengancamnya. Ah sial, gara-gara hormon kehamilan aku sampai tidak bisa menahan diri dan menjatuhkan harga diri yang selama ini aku bangun di depan Mas Jeffry. Tapi terlepas dari itu, aku tidak bisa menampik jika permainan tadi sungguh menggairahkan. Setelah tujuh bulan lamanya, aku baru merasakan kembali kepuasaan itu. Dan ya, seperti sebelum-sebelumnya, Mas Jeffry tidak pernah mengecewakanku setiap kali di ranjang. Semua gerakan yang dia lakukan, tak ada yang gagal dan selalu memabukkan. Sampai aku tidak ingat sudah berapa kali aku meneriakan nama Mas Jeffry, memintanya agar tidak berhenti.

“Bira, gak bobo?” Aku tersadar dari lamunan singkat mendengar suara parau Mas Jeffry. Dia yang semula tertidur tengkurap, kini merubah posisinya menjadi tidur menghadapku. Tangannya masuk ke dalam selimut, mengusap perutku. “Gak ngantuk?” tanyanya lagi.

“Ngantuk, ini baru mau bobo.”

Mas Jeffry tersenyum. Lelaki itu semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku, membuat kulit kami saling bersentuhan tanpa terhalang apapun. “Berarti yang tadi gak secara paksa ya? Soalnya kamu yang mulai.” Benar sudah dugaanku, Mas Jeffry tidak mungkin untuk tidak membahasnya. Pipiku menghangat, kupalingkan wajah dari Mas Jeffry. “Liat sini dong Moy, aku lagi ngomong sama kamu lho.” Mas Jeffry meraih daguku, memaksaku agar melihatnya.

“Apa Mas?” tanyaku.

“Yang tadi, gak secara paksa 'kan?”

Aku menghela napas. “Enggak. Udah ya gak usah dibahas.”

“Kenapa? Malu?” tanya Mas Jeffry beruntun. Dia semakin gencar menggodaku, kali ini tangannya ikut serta menusuk-nusuk pipiku. “Cie malu ya? Mamoy malu nih.”

“Mas ih!” Aku menepis tangan Mas Jeffry. “Bukan aku yang mau, tapi Al yang pengen kenal Papanya.”

“Dih bawa-bawa Al, padahal dia diem aja. Jujur aja sih Moy, aku gak masalah kok. Seneng malah hehe,” cengir Mas Jeffry. “Kamu 'kan tau kalau aku emang mau banget dari kemarin. Tapi kamu nolak terus. Aku sampai mikir, kayaknya kamu gak mau lagi berhubungan sama aku.”

“Kemarin-kemarin aku masih sebel sama kamu,” kataku.

“Berarti sekarang udah enggak dong?” Aku diam, enggan memberi jawaban. “Ra jawab,” desak Mas Jeffry.

“Aku ngantuk Mas, mau bobo.” Aku lalu berbaring memunggungi Mas Jeffry. Lelaki itu tak lagi bertanya, sampai akhirnya kurasakan hal aneh di bawah sana yang memaksa masuk. “Mas?” Tangan Mas Jeffry mendarat di bagian atasku.

“Sekali lagi, kamu miring aja gak apa-apa,” bisiknya.

Aku menghela napas panjang. Harimau satu ini tidak ada kenyangnya.

Keesokan paginya, aku berusaha bersikap biasa saja pada Mas Jeffry, seolah tidak terjadi apa-apa kemarin malam. Aku justru cenderung mengabaikannya. Tadi saja saat akan membeli nasi uduk untuk sarapan, Mas Jeffry mengantarkanku, mengajakku berbicara di sepanjang jalan, namun tak sekalipun aku meresponnya. Sekarang, ketika aku sedang membantu Mbok Arum mengurus taman belakang, Mas Jeffry kembali menghampiriku. Sepertinya Mas Jeffry memiliki banyak waktu untuk menggodaku hari ini karena dia tidak pergi ke restoran atau tempat bisnis lainnya, hari ini adalah hari liburnya. “Siram tanamannya yang bener dong mama gemoy. Gini.” Mas Jeffry memegang tanganku. Tapi aku langsung menyikut perutnya.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang