20. Piama

1.5K 242 137
                                    

Waduh udh 20 chapt aja ni. Perasaan baru kemarin di publish

Btw hari ini Chengxiao ulang tahun, happy birthday boneka barbie!!

Btw hari ini Chengxiao ulang tahun, happy birthday boneka barbie!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter ini rada🔞
.
.
.

Sudah satu minggu berlalu sejak perginya Aru dari rumah Mas Jeffry, sampai saat ini lelaki itu tak pernah memberikan kabar apapun padaku, Mas Jeffry, bahkan Mbak Bianca. Setiap kali aku pergi ke kampus, aku selalu menyempatkan diri pergi ke fakultas Aru, sekedar memastikan apakah Aru datang ke kampus. Ternyata tidak, Aru tidak pernah masuk kelas, begitu kabar yang kutahu dari teman-temannya. Ponsel Arupun tidak bisa dihubungi, membuatku tidak bisa berhenti mengkhawatirkan kondisinya. Aru pergi dari rumah dengan kondisi yang tidak baik-baik saja. Aku takut jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Dan di sisi lain, aku juga merasa bersalah pada Aru, karena diriku, Mas Jeffry sampai berani melepaskan Aru.

“Kenapa bengong?” Pertanyaan Mas Jeffry membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya yang sedang menyetir mobil. Kami berdua sedang dalam perjalanan menuju restoran. Mas Jeffry menjemputku dari kampus beberapa menit yang lalu karena aku tidak membawa mobil. Saat berangkat saja aku menumpang Gladis tadi. Rasanya terlalu malas untuk menyetir disaat pikiranku tidak bisa fokus.

“Kamu udah dapet kabar dari Aru?” tanyaku.

Mas Jeffry menghela napasnya. Pandangannya kembali fokus pada jalanan di depan. “Gak ada. Hari ini kita gak usah bahas soal Aru ya Ra?”

“Tapi aku khawatir,” balasku.

“Aku juga khawatir. Tapi aku percaya, Aru bisa bertanggung jawab dengan pilihannya.”

“Harusnya dari awal aku gak kenal kamu atau Aru, supaya akhirnya gak begini. Mungkin kalau gak ada aku, kamu dan Aru masih bisa tinggal satu rumah. Bahkan balikan sama Mbak Bianca.” Suaraku memelan di akhir kalimat. Aku merasa seperti pengacau di keluarga Baruna, memisahkan seorang anak dari ayahnya. Rasa bersalah itu begitu besar, sampai setiap malam aku kesulitan tidur karena memikirkannya.

“Hush, jangan ngomong gitu. Ini udah takdirnya. Ada atau enggaknya kamu, aku gak akan mungkin balikan sama Bianca,” katanya. Mas Jeffry meraih tangan kananku, dia menggenggamnya. “Jangan ngerasa bersalah. Aku dan Aru yang ngambil keputusan begini. Eum gimana kalau sekarang kita jalan aja? Supaya kamu gak sedih terus.”

“Jalan di saat kita gak tau kondisi Aru di luar sana?”

“Ra, please lah, aku udah minta kamu untuk gak bahas Aru dulu hari ini.”

Aku menghela napas. “Terserah kamu aja.”

Mas Jeffry akhirnya membawaku ke salah satu taman yang masih berada di wilayah Jakarta. Tempatnya asri, disekitar taman juga terdapat banyak kafe, dan aku rasa daya tarik taman ini ada pada danaunya yang bisa disusuri menggunakan perahu kecil yang telah disediakan. Mas Jeffry menawarkanku untuk menaiki perahu, katanya biar dia saja yang mendayungnya. Alhasil aku bisa menikmati pemandangan di danau tanpa harus capek-capek mendayung. Berada di atas perahu seperti ini, mengingatkanku pada salah satu adegan di film yang pernah kutonton saat kecil dulu. Seingatku judulnya My Heart. Farel dan Luna berada di atas perahu menghabiskan waktu mereka bersama, sedangkan Rachel berpura-pura tidak perduli dengan apa yang keduanya lakukan. Walau sebenarnya Rachel sangat perduli.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang