53. Papa Gula

1.3K 235 135
                                    

SIANGGG!!!!
.
.
.

Sudah dua minggu ini aku menyandang status sebagai nyonya Baruna, yang artinya sudah dua minggu pula aku menjadi ibu dari Aru. Meski begitu, aku belum terbiasa memperlakukan Aru seperti anakku sendiri, aku masih sering berkata kasar padanya, begitupun dengan Aru ketika Mas Jeffry tidak berada di dekat kami berdua. “Aru.” Aku membuka pintu kamar Aru, kulihat lelaki itu masih pulas dalam tidurnya. Padahal sekarang sudah pukul delapan pagi, sudah waktunya untuk Aru sarapan. Dia tidak boleh telat makan, kekurangan nutrisi dan gizi. Aku harus benar-benar memperhatikan pola makan Aru, karena lusa dia akan menjalankan kemoterapi pertamanya. Mbak Bianca memberitahuku, katanya sebelum Aru menjalankan kemoterapi, kondisinya tidak boleh drop. “Aru bangun,” kataku lagi.

Aru masih bergeming, dia tidak melakukan gerakan apapun.

“Arundaya.” Kupanggil lagi namanya, tapi Aru masih tak merespon. “Abang Aru, bangun, sarapan udah siap dibawah.”

Aku berdecak sebal. Berulang kali nama Aru kupanggil namun dia tidak kunjung bangun. Akhirnya kutarik selimut yang Aru gunakan dan kupukul bokongnya dengan keras. “Aduh!“ Aru memekik, dia langsung merubah posisinya menjadi duduk. “Lo kenapa mukul pantat gue sih Moy?!”

“Lagian lo susah banget gue bangunin,” balasku tak mau kalah.

“Ya 'kan bisa banguninnya secara halus, dipanggil namanya juga gue langsung bangun kok,” kata Aru.

“Eh Ru, ini mulut gue udah sampe berbusah manggilin nama lo. Tapi lo gak bangun-bangun, yaudah gue tabok aja,” jelasku. “Buruan turun, sarapan.”

“Lo udah sarapan?” tanyanya.

“Belum, gue bangunin lo dulu supaya sarapan bareng-bareng.”

Aru membulatkan mulunya. “Yaudah, gue cuci muka dulu, lo turun duluan sana.”

“Oke.”

“Eh tunggu Moy.” Aru turun dari ranjangnya, dia berdiri di hadapanku dan tiba-tiba saja Aru menghembuskan napasnya di depan wajahku.

“Aru sialan!” Aku hampir saja memukul lelaki itu, tapi Aru sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi dengan tawanya yang meledak. “Mulut lo bau tai kambing anjir. Udah berapa lama gak nyikat gigi sih?!” teriakku.

“Dua hari!” sahutnya dari dalam kamar mandi.

“Pantesan.” Aku menggeleng lelah, tapi terkekeh di akhir. Siapa yang menyangka jika lelaki jahil, tak bisa diam, dan ceria seperti Aru sedang mengidap penyakit yang berat? Semoga saja Aru bisa segera sembuh dan tawa yang kudengar tadi tidak akan pernah hilang. Aku lalu keluar dari kamar Aru, berniat menyusul Mas Jeffry yang sedang menunggu di ruang makan. Tapi ternyata, aku menemukan suamiku sudah berdiri di tangga teratas sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Habislah aku. Mas Jeffry pasti mendengar obrolanku dan Aru tadi karena suara kami berdua yang melebihi toa jika sudah beradu mulut. Aku menyunggingkan senyum ke arah Mas Jeffry, berpura-pura tidak terjadi sesuatu. “Kok kamu ke sini sayang? Aku 'kan udah suruh tunggu di meja makan,” tanyaku pada Mas Jeffry.

“Delapan belas kali,” katanya.

“Hah? Apa yang delapan belas?” tanyaku pura-pura tak paham. “Oh kamu mau nambah sarapan sampai delapan belas kali ya?”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang