SIANG SEMUAAA!!!
.
.
.Bohong jika aku baik-baik saja, bohong jika aku tidak sakit hati ketika orang-orang mengatakan jika aku ibu yang tidak becus mengurus anak-anaknya, bohong jika aku tidak menangis karena alasan tersebut. Aku menangis, sendirian, tanpa suara. Aku duduk di atas closet sambil menutup mulutku agar tak ada orang lain yang mendengar, biar mereka hanya tahu kalau aku orang yang tegar, meski sebenarnya cengeng. Aku selalu berpikir kalau aku orang yang kuat, tapi setelah hari ini aku sadar bahwa aku tidak sekuat itu. Aku belum mampu menjadi orang tua yang baik, aku belum bisa memberikan yang tebaik untuk anak-anakku. Aku masih harus banyak belajar, dan aku butuh Ibu di sampingku untuk saat ini. Aku ingin mengadu padanya, kalau jadi orang tua tidak mudah, aku ingin menangis dipelukannya seperti dulu yang biasa kulakukan saat aku ingin sesuatu namun Ayah melarangku, Ibu akan datang menghampiriku, lalu memelukku dan menenangkanku dengan ucapannya.
Gak apa-apa Bira, nanti Ibu yang beliin buat Bira.
Bira jangan nangis dong, kan ada Ibu.
Bira sama Mairin anak kesayangan Ibu.
Kalau ada yang nakal sama Bira, bilang Ibu.
Sebelum menikah dengan Mas Jeffry, aku masih bisa mengadu semauku pada Ibu. Tapi sekarang tidak. Jangankan mengadu, berkomunikasipun kami tidak setiap hari. Ayah hanya mengizinkan Ibu datang ke rumah Aru satu minggu sekali. Ibu sebenarnya tidak mau menuruti perkataan Ayah yang satu itu, Ibu ingin geraknya tidak dibatasi oleh Ayah. Tapi aku bilang pada Ibu, kalau Ayah masih suaminya, Ibu masih tanggung jawab Ayah, mau tidak mau Ibu harus menuruti Ayah walau itu berat untuk kami berdua, terutama aku. Aku sadar, aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Ibu. Dan sekarang, rasa ingin kembali ke masa lalu begitu besar kurasakan. Bukan berarti aku tidak suka dengan masa sekarang, aku suka. Aku suka karena bisa bertemu dengan Mas Jeffry, aku suka karena ada bayi lucu seperti Al, aku suka ada orang baik seperti Aru di sisiku, aku suka bisa memiliki teman-teman baru seperti dream. Tapi aku merasa belum siap untuk melewati ujian-ujian selanjutnya.
Aku jadi membayangkan, bagaimana jika hari itu aku dan Mas Jeffry bisa sama-sama mengendalikan diri kami, mungkin hari berat ini tidak akan pernah menimpa hidupku. Tidak akan ada orang yang mengataiku tidak becus mengurus anak, tidak akan ada Ayah yang mengusirku dari rumah, dan ya, aku pasti tidak akan putus kuliah, jika masih berkuliah aku pasti sedang pusing memikirkan judul skripsi saat ini, bukan pusing memikirkan soal suami dan anak. Ternyata benar, penyesalan selalu datang di akhir. Aku bukan menyesal karena hadirnya Ragnala, tapi menyesal pada diriku sendiri yang sebetulnya belum siap secara mental dan fisik untuk berkeluarga.
“Bira?” Aku menghapus air mataku saat seseorang mengetuk pintu kamar mandi. Dari suaranya itu jelas Aru. Laki-laki yang kemarin sempat mengatakan jika aku hanya sebatas ibu sambungnya dan tidak berhak menyuruh-nyuruhnya. Padahal aku hanya ingin Aru pergi ke rumah sakit. Tapi tidak apa-apa, Aru mungkin belum bisa menerimaku sepenuhnya sebagai ibunya.
“Sebentar.” Aku membasuh wajahku lebih dulu sebelum keluar kamar mandi, dan memastikan penampilanku tidak terlihat kacau. “Kenapa?” tanyaku begitu berdiri di hadapan Aru.
“Soal Mama gue yang tadi, maaf kalau omongan Mama nyakitin lo,” kata Aru.
“Ngapain lo minta maaf? Mbak Bianca gak salah, dia bener. Gue malah jadi sadar diri kalau selama ini gue belum bisa ngelakuin tugas gue dengan baik.”
“Enggak Bir, Mama salah. Lo udah jadi orang tua yang baik buat gue. Lo bahkan nemenin gue pas gue sakit, sedangkan Mama gak pernah.”
Aku menghela napas. “Tadi dokter Gustaf bilang apa aja?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Maaf...” lirih Aru.
“Maaf? Dokter Gustaf minta maaf?”
Aru menggeleng. “Gue yang mau minta maaf.”
“Ru lo ngapain sih minta maaf terus? Yang barusan apa?”
“Yang tadi gue minta maaf atas nama Mama, kalau sekarang gue sendiri yang mau minta maaf.” Aru menatapku dengan sendu. “Kemarin gue udah bentak lo, gara-gara gue juga lo gak tidur dan akhirnya asam lambung lo kambuh, maaf gue udah bikin lo malu di rumah sakit tadi, maaf kalau lo ngerasa gue terlalu ikut campur urusan lo. Tapi gue begitu karena punya alasan, gue berusaha nyari perhatian lo.”
“I still love you, Kabira...” Napasku mendadak tercekat mendengar pengakuan Aru.
“G-gladis? Gimana dengan dia?”
“Gue gak mau bahas Gladis dulu. Gue tau ini kurang ajar, apalagi lo sama Papa gue udah menikah, kalian udah punya anak, tapi perasaan gue gak bisa bohong. Gue masih mencintai lo sampai detik ini, gue gagal ngelupain rasa ini,” kata Aru. “Gue benci setiap lo ngasih perhatian ke gue. Tau kenapa? Karena gue membayangkan perhatian itu di kasih sama pasangan yang mencintai gue. Tapi nyatanya? Lo ngasih perhatian itu karena merasa punya tanggung jawab sebagai ibu.”
“Gue sakit Bir, gue sakit tiap liat lo beradu pandang sama Papa, gue sakit ngeliat betapa romantisnya lo dan Papa. Gue juga mau ada di posisi itu.” Air mata Aru menetes. “Tapi gue gak bisa, gue kalah. Selama ini gue senyum, ketawa, pura-pura bahagia liat lo dan Papa, tapi sebenernya gue berusaha menutup luka. Gue cinta sama lo Bira!” Aru tiba-tiba berteriak, dia meremas-remas rambutnya sendiri. Al yang berada di bassinetnya ikut terbangun, namun tidak menangis.
“Gue cinta sama lo!”
“Gue sayang sama lo!”
Aru mulai melemparkan barang-barang yang berada di sekitarnya sambil meneriakkan hal yang sama berulang kali. Aku yang melihatnya ikut menangis. Aku mencoba menenangkan Aru, menahan tangannya agar berhenti melemparkan barang-barang. “Aru tenang.”
“Gue cinta lo! Gue sayang sama lo!”
“Iya, gue denger. Tapi berhenti lemparin barang begini.” Aru masih saja mengamuk. Dia memecahkan vas-vas bunga yang berada di kamarku.
“Stop Arundaya!” Aku berteriak saat Aru akan melemparkan botol parfum ke kaca yang posisinya tidak jauh dari bassinet Al. Jika aku telat menahannya, Al pasti sudah terkena pecahan kaca. Aku mendekati Aru, kemudian merebut botol parfum dari tangannya. “Lo pikir dengan lo ngancurin barang-barang gini gue bakal cinta sama lo hah?!”
“Bir gue nyaris gila karena rasa ini,” kata Aru.
“Gue juga nyaris gila! Gue stress! Tapi gue gak ngamuk-ngamuk kayak gini, karena itu gak ada gunanya Ru...” Aku melemparkan botol parfumku ke kasur, lalu menarik Aru ke dalam pelukanku.
“Bira...” Aru menangis di pelukanku, begitupun sebaliknya.
“Kalau aja hari itu gue nerima perjodohan kita, apa yang bakal terjadi sekarang?” tanyaku terisak.
“Belum tentu terjadi hal yang lebih baik dari hari ini,” sahut lelaki yang berdiri di ambang pintu kamar. Mas Jeffry sudah pulang, dia menatapku dan Aru bergantian, lalu menghela napas panjang. Aku dan Aru mengurai pelukan kami. “Papa rasa udah saatnya kita tinggal terpisah Ru, Papa akan bawa Bira dan Al tinggal di Milan.”
“Mas...” lirihku.
“Sampai kapan?” tanya Aru.
“Sampai nama Bira menghilang.” Mas Jeffry mendekat ke arah kami berdua, lalu menunjuk dada Aru. “Dari sini.”
Jangan lupa komennya!
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."