77. Rekaman 3

831 174 73
                                    

Hari minggunya di temenin Baruna aja kuy!
.
.
.

Aku menghela napas panjang lalu menghembuskannya saat melihat Mas Jeffry yang berdiri di dekat jendela kamar. Terhitung sudah sepuluh menit dia berdiri di sana tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel Aru yang berada di genggamannya. Mas Jeffry hanya menatap benda itu tanpa menyalakannya. Kuhampiri suamiku kemudian memeluknya dari belakang. Punggungnya yang biasa tegap, kini terasa lebih turun. “Udah dua hari,” kataku. Dua hari sudah Aru meninggalkan kami. Meski begitu, kami sekeluarga terutama aku, dan Mas Jeffry masih belum percaya akan takdir ini. “Kamu belum mau lanjutin rekaman ini?” tanyaku.

Mas Jeffry menggeleng. “Hati aku belum siap. Aku takut, kalau aku dengerin rekaman Aru, akan semakin banyak penyesalan yang menghampiri aku.” Mas Jeffry melepaskan pelukannya, dia berbalik menghadapku dan memberikan ponsel Aru padaku. “Simpen hp ini baik-baik. Aku mau keluar dulu.” Aku menahan tangan Mas Jeffry yang akan melangkah pergi.

“Aku gak ngizinin kamu keluar sendiri.” Aku hapal betul dengan sikap Mas Jeffry, jika dia sedang stress atau sedih, Mas Jeffry akan melampiaskannya kepada hal-hal yang kurang bagus. Dia merokok, bahkan aku pernah memergokinya meminum-minuman keras ketika dia frustasi karena aku yang tak kunjung memberikannya kepastian dulu. “Kalau kamu mau keluar, aku ikut.”

“Ra...” lirih Mas Jeffry. Matanya menatapku sendu.

“Aku gak mau kamu ngelakuin hal yang aneh-aneh Mas. Ini baru dua hari pasca meninggalnya Aru, kamu gak kasian sama anak kita? Harus ngeliat Papanya yang enggak-enggak dari atas sana? Jangan buat Aru makin sedih karena sikap kita Mas. Aru harus bahagia di sana, selama di dunia kita udah terlalu banyak ngasih penderitaan ke dia.”

Air mata Mas Jeffry turun, membasahi pipinya yang sedikit tirus. Suamiku kehilangan banyak berat badan hanya dalam waktu dua hari. Jelas saja, Mas Jeffry tidak pernah mau makan walau aku memaksanya, tidurnya pun tidak pernah lelap. Mas Jeffry lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di kamar atau memandangi ponsel Aru seperti tadi. “Aku mau Aru kembali,” ujarnya. Segera kubawa Mas Jeffry ke dalam pelukanku sambil mengusap-usap punggungnya yang bergetar. “Kalau Aru gak mau kembali karena aku, Aru harus kembali demi menepati janjinya sama Al.”

“Mas, Aru udah tenang,” bisikku. “Aru udah gak kesakitan lagi, dia juga udah berjuang semampu yang dia bisa untuk bertahan. Tapi kematian itu emang gak bisa dihindari. Sekarang giliran kita yang berjuang untuk mengikhlaskannya.”

Mas Jeffry tak menjawab, dia hanya menangis dipelukanku. Setelah kematian Aru, aku benar-benar menyadari bahwa Mas Jeffry adalah orang yang sangat rapuh. Selama ini dia kelihatan garang apalagi kepada orang-orang yang menghina keluarganya, padahal kenyataannya Mas Jeffry orang yang lemah, dia berusaha kuat agar orang-orang tak tahu seberapa rapuhnya dia. “Aku mau denger rekamannya,” lirih Mas Jeffry.

Kulepaskan pelukan itu lalu menatap suamiku. “Kamu udah siap?”

Mas Jeffry mengangguk. Akhirnya kubimbing Mas Jeffry agar duduk di tepi ranjang, kunyalakan ponsel Aru dan membuka folder yang berisi rekaman-rekaman suaranya. Aku memejamkan mata sebentar sebelum memutar rekaman tersebut. “Kabira.” Aru menyebut namaku di detik pertama. Aku dan Mas Jeffry saling beradu pandang. Mendadak aku yang tidak siap mendengar rekaman ini. Perasaanku tidak enak saat Aru menyebut namaku.

Kabira Ailyn Narendra, kira-kira lo bisa nebak gak gue rekam ini di mana?” Aru diam sejenak, seperti memberikanku waktu untuk menjawab tebakannya. Selagi Aru diam, aku bisa mendengar suara arus air, klakson kendaraan, dan angin yang cukup kencang.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang