50. Terakhir Kali

1.3K 228 114
                                    

JANGAN LUPA KOMENNYA!!
.
.
.

(ARUNDAYA POV)

“Masih ngerokok Pa? Aku kira udah enggak.” Aku menghampiri Papa yang sedang duduk di teras sendirian malam-malam begini lalu duduk di kursi kosong sebelahnya.

Papa tersenyum sebentar. “Iya, terakhir kali sebelum besok Bira tinggal sama Papa. Calon Mama kamu itu sebenernya gak suka Papa ngerokok, cuma dia gak mau bilang langsung.” Benar, mulai besok Bira akan tinggal bersama Papa karena status mereka yang akan berubah menjadi suami istri, yang artinya dalam beberapa jam lagi, aku juga harus melepaskan wanita yang beberapa bulan ini mengisi hatiku. “Kamu mau ke mana Ru? Udah rapih,” tanya Papa.

“Pa,” panggilku.

“Iya, Papa denger,” balas Papa. Rokok miliknya yang masih tersisa setengah itu dia matikan dengan menekannya ke dalam asbak. “Maaf, Papa lupa kamu juga gak boleh hirup asap rokok. Kamu mau bilang apa tadi?”

“Soal Bira,” kataku. “Boleh aku ajak Bira jalan malam ini? Bukan sebagai anak dan calon ibunya, tapi sebagai laki-laki dan perempuan dewasa.” Papa diam. Dia tak langsung menjawab. “Kalau gak boleh gak apa-apa Pa. Tapi aku merasa perlu untuk menyelesaikan yang terjadi antara aku dan Bira.”

“Ambil kunci mobil Papa di kamar sana, jangan pergi pakai motor kamu. Udah malam, gak mungkin 'kan kamu ngajak Bira naik motor malam-malam begini?” Aku tersenyum, Papa mengizinkanku. Dengan segera aku mengambil kunci mobil milik Papa. Saat aku akan pergi, Papa berpesan satu hal padaku. “Kalau sama Bira udah selesai urusannya, langsung pulang ya. Papa juga mau ngomong sama kamu.”

Sesampainya di rumah Bira, kebetulan yang membukakan pintu rumah adalah Bira sendiri. “Eh Ru, lo sendiri?” tanya Bira, dia celingukan seperti mencari sesuatu.

“Iya, kalau lo nyari Papa gak bakal ada Ra, dia lagi tidur di rumah. Takut kesiangan besok mau nikah,” candaku.

Bira kelihatan malu-malu. “Apaan sih, jangan bikin gue malu,” katanya. “Yaudah ayo masuk dulu, biar gue buatin minum.”

Aku menggeleng. “Gue mau ngajak lo keluar Ra, mau? Kita muter-muter aja. Gue bawa mobil Papa kok, gak naik motor.”

“Eum ayo kalau gitu. Tapi jangan lama-lama ya, kata Ibu orang hamil gak boleh keliaran malam-malam.”

“Iya tuan putri. Ayo.”

“Sebentar dong, gue ganti baju dulu. Masa mau pakai daster gini?”

“Perlu gue gantiin gak?” tanyaku bermaksud bercanda.

“Perlu gue laporin bapak lo gak?” balas Bira yang membuat kami berdua tertawa. Selepas Bira mengganti pakaiannya, kami langsung berangkat. Aku tidak memiliki tujuan yang jelas akan membawa Bira ke mana. Aku hanya mengikuti kata hatiku, sampai akhirnya mobil yang kubawa berhenti di jembatan yang sering sekali aku datangi jika ingin menenangkan diri. Bira juga pernah kubawa kemari, dan setelah kuingat-ingat, jembatan ini menjadi saksi bisu ketika aku memeluk Bira untuk pertama kalinya dan menangis dipelukannya. Kala itu aku menumpahkan segala keluh kesahku mengenai Papa dan Mama pada Bira di sini, bersyukur sekali dia mau mendengarkanku tanpa menghakimiku. “Udah lama gue gak ke sini, terakhir kali pas nyuruh lo supaya balik dan gak kabur dari rumah,” ujar Bira begitu turun dari mobil. Wanita itu kemudian berdiri di bahu jembatan, berpegangan pada pagar dan mengamati sungai.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang