99. Bonus 5

929 162 86
                                    

Selamat soree
.
.
.

“Mas belum larut, takut Al sama Aya masih bangun.” Bira menyingkirkan tangan Jeffry yang nyaris melepaskan kancing piamanya. Dia menatap lekat lelaki yang berbaring di sebelahnya itu. “Nanti oke?”

“Aya udah bobo, Al juga. Barusan aku cek sebelum masuk kamar,” balas Jeffry.

“Tumben jam sembilan udah pada bobo?” tanya Bira bingung. Tidak biasa dengan jam tidur anak-anaknya hari ini. Biasanya Aya tidur jam setengah sepuluh, dan Al tidur sedikit lebih larut dari adiknya karena harus belajar. Sementara Genta sudah tidur sejak pukul delapan tadi sehabis bermain bersama sang papa.

Jeffry mengedikkan bahunya. “Pada kecapean sekolah kali.”

“Iya deh kayaknya, apalagi Al tadi latihan baseball rutin.”

“Terus boleh gak nih aku minta disayang?” tanya Jeffry. Bira tersenyum. Meski umur suaminya tak lagi muda, tapi jiwa dan semangatnya tetap muda, Jeffry selalu manja setiap kali hanya berdua dengan Bira. Tanpa membalas pertanyaan Jeffry, Bira melepaskan kancing piamanya sendiri, menampakkan mainan favorit Jeffry yang terbalut kain berwarna merah menyala. Jeffry menyeringai, matanya berbinar melihatnya. “Aku buka ya?”

“Terserah, udah belasan tahun mereka jadi hak milik kamu,” sahut Bira.

Jeffry terkekeh. Tangannya hampir melepaskan kaitan bra sang istri jika seseorang tak menggedor pintu kamarnya bertubi-tubi. Jeffry menggeram kecil, dia gagal bersenang-senang hari ini.

“Mamoy, Papa, ini Aya!” Suara cempreng Aya menggema.

Gegas Bira mengancingkan kembali piamanya, takut sang anak melihat. “Tuh 'kan belum bobo,” kata Bira. Firasatnya benar, tidak mungkin Aya bisa tidur lebih awal. Ada saja tingkah yang dilakukan si gadis kecil sebelum tidur. Sambil berjalan gontai, Jeffry membukakan pintu untuk putrinya. Aya langsung berlari menghampiri Bira. “Mbak kenapa panggil-panggil Mamoy sama Papa?” tanya Bira.

“Jadi gini—”

“Ngomongnya jangan kenceng-kenceng, adek lagi bobo tuh,” sela Jeffry, memperingati Aya agar lebih mengecilkan suaranya.

“Oke oke,” balas Aya. “Jadi gini Moy, aku baru inget kalau tadi siang aku dapet tugas dari sekolah. Aku disuruh bawa tanaman, sama ngerjain buku paket matematika halaman empat belas. Mamoy sama Papa mau gak bantuin aku?”

Jeffry dan Bira kompak menarik napas dan mengeluarkannya bersamaan pula. “Mbak Aya kebiasaan deh, kalau ada tugas ngasih taunya pasti telat gini. Padahal pas makan malam tadi Mamoy udah tanya, kamu dapet tugas apa enggak, kata kamu enggak. Mamoy mau cari tanaman ke mana coba jam segini?” keluh Bira. Aya sudah kelas lima dasar, tapi kebiasaannya yang menggampangkan tugas dan mudah lupa, sulit sekali dihilangkan.

Aya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Lupa Moy. Itu juga ingetnya pas aku lagi eek.”

“Harusnya kamu gak usah inget, biar dihukum guru,” kata Bira.

Aya memanyunkan bibirnya. “Kalau aku dihukum guru, Mamoy juga nanti yang bakal dipanggil ke sekolah,” balas Aya.

“Yaampun Aya Aya, ada aja jawabannya.” Bira geleng-geleng kepala, merasa takjub akan tingkah Aya. “Yaudah Mamoy ganti baju dulu, kita cari tanamannya.”

“Gak usah Moy, biar Papa aja yang cari. Mamoy sama Aya di rumah aja kerjain PR matematika,” saran Jeffry.

“Gak apa-apa Mas?” tanya Bira.

Jeffry mengangguk. “Gak apa-apa dong. Mbak Aya disuruh bawa tanamannya yang spesifik gitu gak? Misal tanaman gantung atau merambat gitu?”

“Disuruhnya bawa tanaman hias, bebas mau yang kayak gimana,” jelas Aya.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang