15. Rumah

1.3K 221 72
                                    

Double updatee!!! Rajin komen makanya ya!!!
.
.
.

“Gak kapok masih ngelanggar ucapan Ayah?” Ayah bersuara di tengah makan malam bersama. Ada Mairin, dan suaminya, Mas Andra juga turut hadir malam ini. Mereka datang bersamaan denganku yang baru pulang dari restoran beberapa menit yang lalu. Aku menelan bakwan jagung buatan Ibu terlebih dahulu sebelum menyahut.

“Macet. Tanya aja sama Gladis kalau gak percaya,” kataku.

Ayah menggelengkan kepala sambil menatapku. “Liat Mairin, Ayah suruh dateng dia langsung dateng. Gak kayak kamu.” Aku merotasikan bola mata malas. Mairin lagi Mairin lagi.

“Udahlah Yah, yang penting Bira pulang dengan selamat,” ujar Ibu. Aku tersenyum ke arahnya, dibanding Ayah, Ibu lebih santai terhadapku. Ibu juga tidak pernah membandingkanku dengan Mairin. Menurutnya, aku dan Mairin tidak bisa dibandingkan karena kami memiliki kelebihan masing-masing.

“Bu, i love you,” cengirku yang dibalas kekehan oleh Ibu.

“Anakmu itu salah. Jangan dibela,” kata Ayah.

“Aku juga anak Ayah kali, bukan Mairin doang yang anak Ayah,” balasku.

Mairin melihatku. “Apa lo liat-liat gue?” tanyaku.

Ayah membanting sendoknya sedikit keras, membuatku tersentak kaget. Begitupula dengan Mas Andra yang langsung tersedak saat sedang minum. “Ayah gak punya anak yang membangkang dan selalu melawan kayak kamu Ra. Kalau kamu mau Ayah perlakukan seperti Mairin, perbaiki dulu tingkah kamu. Belajar yang bener, main aja kerjaannya.”

“Yah, apa gak keterlaluan bilang kayak gitu sama Bira?” Mairin berujar.

Aku bangun dari dudukku. “Bu, aku makannya udah ya. Lagi males nyari ribut,” kataku lalu pergi meninggalkan meja makan. Aku naik ke lantai atas, di mana kamarku berada. Aku mengunci diri di sana, merebahkan tubuhku yang masih terasa lemas karena asam lambung di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar sambil mengharapkan jika Ayah akan berhenti membandingkanku dengan Mairin. Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin terjadi. Di mata Ayah, aku selalu salah dan Mairin selalu benar. “Ngapain lo masuk?” tanyaku mendengar suara pintu yang berderak di susul dengan kedatangan Mairin.

“Ada cowok yang mau di jodohin sama lo itu. Siapa tadi namanya? Aru ya?”

Aku langsung merubah posisiku menjadi duduk. “Ngapain coba itu orang ke sini,” gumamku.

“Ra,” panggil Mairin.

“Hm,” sahutku.

“Maafin soal yang tadi kalau lo kesinggung. Gue juga gak mau kita dibanding-bandingin terus gini sama Ayah,” katanya.

Aku menghela napas. “Bukan salah lo juga. Salah gue yang bodoh. Salah Ayah juga yang gak mau menerima kebodohan gue. Gue turun dulu,” ujarku lalu pergi meninggalkan Mairin. Aku turun ke lantai bawah, kulihat Aru sedang mengobrol dengan Ayah di ruang tamu. Berbeda sekali saat berbicara denganku tadi, Ayah tampak ramah ketika Aru yang mengajaknya berbicara. Sebetulnya aku malas menghampiri Aru, tapi jika aku tidak menghampiri lelaki itu, Ayah pasti akan mengoceh panjang lebar kepadaku. Aku tidak tahan mendengarnya.

“Ra,” panggil Aru. Dia tersenyum ke arahku. Kuputuskan untuk menghampirinya.

“Bira udah dateng, Om tinggal dulu ya Ru. Kalau mau ngajak Bira keluar gak apa-apa, asal sebelum jam sepuluh udah pulang.” Ayah berpesan kemudian pergi dari ruang tamu, meninggalkanku berdua dengan Aru. Ayah benar-benar menjadi sosok yang berbeda ketika bersama Aru. Heran.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang