23. Jangan sampai menyesal

1.3K 239 132
                                    

Sianggg, minta doanya supaya asem cepet fit lagi yaww!!!
.
.
.

Tiga minggu setelah kepulangan Ayah dari Semarang, Aru baru sempat datang ke rumah. Padahal aku sudah mengabari lelaki itu begitu Ayah pulang ke rumah, tapi Aru bilang dia akan mencari waktu yang tepat karena dirinya sedang sibuk mengurus sesuatu, entah mengurus apa akupun tidak tahu, Aru tidak menceritakannya secara jelas. Dan hari ini Aru sudah duduk di ruang tamu dengan Ayah dan diriku. Dia baru saja datang beberapa menit yang lalu.

“Lama gak keliatan Ru, kemana aja?” tanya Ayah.

Aru menyunggingkan senyum. “Iya nih Om lagi sedikit sibuk. Soalnya saya baru merintis usaha sendiri,” kata Aru. Aku melihatnya dengan tatapan bertanya, usaha apa?

“Usaha apa?” Ayah kembali bertanya.

“Ada Om, nanti kalau udah berhasil saya pasti kasih tau,” kata Aru. “Oh iya Om, sebenarnya kedatangan saya kemari ingin membicarakan perihal perjodohan saya dan Bira pada Om.”

“Apa itu? Kalian udah siap menikah?” tanya Ayah dengan nada bicara yang antusias. Aku menggelengkan kepala kecil, Ayah sepertinya benar-benar ingin aku menikah dengan Aru. Tapi hal itu tidak akan mungkin terjadi, aku mencintai papa Aru, bukan Aru sendiri.

“Bukan Om, saya ingin mundur dari perjodohan ini. Saya tidak ingin menikah dengan Bira,” jelas Aru.

“Hah kenapa?” tanya Ayah kaget. “Apa Bira melakukan kesalahan sampai kamu ingin membatalkan perjodohan ini?”

Aru menggeleng. “Kesalahan bukan ada sama Bira Om, Bira baik, tapi saya yang gak baik. Saya sudah memiliki wanita lain yang saya cintai, dan dia bukan Bira. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada Om dan sekeluarga, terutama Bira kalau saya gak bisa melanjutkan perjodohan ini.”

“Harusnya dari awal kamu bilang kalau udah punya wanita lain. Om kecewa sama kamu Ru,” kata Ayah lalu pergi meninggalkanku dan Aru.

“Maafin bokap gue ya Ru,” ujarku. Tidak enak hati pada Aru.

Aru menggeleng. “Harusnya gue yang minta maaf. Bokap lo keliatan banget kecewa sama gue.”

“Jelas kecewa sih. Ayah pengen banget ngeliat kita berdua menikah. Tapi kita gak ditakdirkan untuk melangkah ke sana.”

“Gue ditakdirinnya buat jadi anak lo,” celetuk Aru dan terkekeh di akhir.

“Apaansih,” sangkalku sedikit malu. Benar juga, jika aku dan Mas Jeffry menikah nanti, maka otomatis Aru akan menjadi anakku juga. “Oh ya, gue penasaran nih. Tadi lo sempet bilang kalau lo lagi merintis usaha. Boleh gue tau usaha apa?” tanyaku penasaran.

“Bengkel hehe,” balasnya. “Udah dua minggu ini gue buka bengkel sendiri. Gue nyewa kios gitu, gak gede sih. Tapi cukuplah.”

“Keren. Semoga usaha lo makin maju ya. Eum ngomong-ngomong lo belum pulang ke rumah sampai sekarang?”

Aru menggeleng.

“Kenapa? Lo tau gak Ru? Papa lo kangen sama lo. Mas Jeffry kelihatannya aja gak perduli sama lo, tapi gue tau kalau dia bener-bener perduli sama lo. Please, lo pulang ya? Kalaupun lo gak mau, aktifin hp lo dan kabarin Mas Jeffry tentang kondisi lo saat ini. Jangan bikin khawatir bokap lo terus-terusan.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang