29. Penyesalan Bira

1.3K 227 84
                                    

JANGAN LUPA KOMENNYA! KALAU LUPA, ASEM JUGA BAKAL LUPA UPDATE HEHEEHE
.
.
.

Sepertinya Mas Jeffry sudah benar-benar meninggalkanku sendiri, tanpa bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Terbukti dia tidak pernah menghubungiku lagi hingga saat ini. Terakhir Mas Jeffry menghubungiku adalah dua minggu yang lalu, itupun dia hanya memanggil namaku, setelah itu sambungan telepon terputus. Berbagai upaya telah aku dan Aru lakukan untuk mencari keberadaan Mas Jeffry, Aru bahkan sampai datang ke rumah Kakeknya untuk meminta bantuan mencari papanya. Dan sampai detik ini belum ada kabar yang kami terima. Aku sendiri sudah berada di ambang keputusasaan, rasa percayaku terhadap Mas Jeffry semakin hari semakin lemah bersamaan dengan hilangnya lelaki itu. Pada awalnya aku sangat yakin jika Mas Jeffry adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab. Tapi aku rasa Mas Jeffry tidak jauh berbeda dengan lelaki buaya di luar sana yang hanya ingin memanfaatkan tubuhku, dan setelah bosan dia membuangnya.

Aku dibuang, ditinggalkan begitu saja bersama calon bayinya. Aku akui, semua ini terjadi karena kebodohanku juga. Aku terlalu mempercayai dan mencintai Mas Jeffry sampai aku rela membiarkan lelaki itu mengambil kendali atas tubuhku. Padahal saat itu aku belum terlalu mengenal Mas Jeffry. Banyak hal yang harus kulepaskan karena kehamilan ini. Salah satunya, aku tidak lagi pergi ke kampus, alasannya bukan karena malu untuk pergi ke sana, tetapi Ayah sudah berhenti membiayai kuliahku. Aku sudah mendapat surat peringatan dari kampus, jika aku tak segera membayarnya, maka aku akan dikeluarkan. Bukan hanya itu, saat menghadapi kenyataan bahwa Mas Jeffry meninggalkanku dalam kondisi hamil seperti ini, aku merasa tidak lagi memiliki masa depan yang cerah. Aku terpuruk, karena kebodohanku sendiri. Dan setelah melalui kejadian ini, aku menyadari sesuatu, bahwa satu-satunya hal yang aku sesali dalam hidup ini adalah terlalu mempercayai laki-laki.

“Moy, ayo makan siang dulu.” Aku yang semula sedang melamun di kamar sambil memandang ke arah jendela, menoleh ke belakang. Aru datang ke kamar dengan tangan yang membawa nampan. Aku memang masih tinggal di rumah Aru, tapi sepertinya aku akan segera meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin untukku tetap tinggal di sini, sementara aku bukan siapa-siapa dan Mas Jeffry tidak menunjukkan tanda-tanda akan kembali.

Aru meletakkan makanan yang dibawanya di meja, lalu menepuk-nepuk sofa kosong di sebelahnya. “Sini makan dulu,” katanya.

Aku menghampiri Aru, mengambil tempat di sebelahnya. “Kakek lo belum ngasih kabar lagi?” tanyaku.

“Belum. Mereka masih berusaha cari Papa. Lo tenang aja, Papa pasti ketemu,” ujarnya. “Sekarang lo makan dulu aja ya, tadi pagi lo 'kan gak makan apa-apa gara-gara mual.” Aru benar, aku belum makan apa-apa bahkan sejak kemarin malam. Rasa mual yang mendera, membuatku tak bisa menelan makanan.

“Lo aja yang makan,” kataku.

Aru menghela napasnya. “Ra, entah ini udah kali keberapa gue bilang sama lo, kalau lo tuh lagi bawa nyawa lain di perut lo. Anak lo butuh makan, dia butuh nutrisi. Jangan egois, anak lo belum lahir aja udah di susahin Ibunya, gimana kalau dia udah lahir nanti coba?” Nada bicara Aru tidak tinggi, tapi cukup menusuk untukku. Tanganku bergerak mengusap perutku sendiri, mendadak merasa bersalah pada si jabang bayi. Selama ini aku terlalu fokus mencari Mas Jeffry, sampai lupa kalau ada hal yang jauh lebih berharga dari itu. “Makan ya? Gue suapin,” bujuk Aru.

Aku tak menjawab, tapi Aru mulai menyuapiku. Sampai di suapan ke lima, aku memintanya untuk berhenti karena perutku kembali merasakan mual. “Udah, gue gak bisa nelen lagi,” kataku.

Aru mengangguk paham. “Habis ini lo langsung istirahat aja, gak usah mikirin hal yang gak penting.”

“Lo mau ke mana?” tanyaku.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang