75. Rekaman 2

937 170 54
                                    

Buat yang udah bosen, gak apa apa kok gais berhenti aja. Asem nulis karena pengen ngeluarin yang ada di otak asem aja mwehehehe
.
.
.

“Mas Aru, ada Mbak Gladis di depan.” Aku lantas menoleh saat mendengar suara Mbok Arum. Aku mengiyakan ucapannya, kemudian mematikan keran dan merapihkan selang air yang awalnya kupegang. Aku sedang menyiram tanaman di taman belakang, salah satu kegiatan yang aku lakukan akhir-akhir ini. Melihat bunga dan pohon-pohon yang rindang, membuat diriku menjadi lebih tenang. Lalu aku pergi ke ruang tamu, tempat Gladis berada. Sebenarnya aku ragu untuk menemui wanita itu setelah percobaan bunuh diri yang sempat aku lakukan. Tapi di satu sisi, aku juga sangat ingin bertemu dengan Gladis.

“Dis?” panggilku seraya duduk di sofa depan Gladis.

Gladis tersenyum. Anehnya aku merasa bersalah saat dia memberikan senyumnya padaku. “Maaf, gue baru sempet dateng ke sini lagi. Di kampus banyak tugas,” kata Gladis.

“Gak apa-apa.”

“Ru?” panggil Gladis.

“Kenapa?”

“Lo pasti bosen di rumah, jalan yuk. Gue bawa mobil.” Gladis menunjukkan kunci mobilnya padaku. Tanpa pikir panjang aku menyetujui ajakan Gladis. “Gue gak tau tempat atau kafe bagus. Lo tau gak?” tanya Gladis di tengah jalan.

“Tau, ada kafe yang bener-bener bagus di sini. Dan kalau lo ke sana, terus pesen menunya atas nama gue, pasti bakal dikasih gratis.” Aku membelokkan mobil Gladis menuju dream kafe. Sampai di kafe, kedatanganku dan Gladis disambut teman-temanku. Mereka bergantian memelukku, katanya rindu. Alay. “Aduh buset Mal, gak usah lama-lama kali peluk guenya. Nanti kita dikira couplean.”

Kamal semakin mengeratkan pelukannya padaku. “Gue kangen banget sama lo supri! Tiap kali gue ke rumah lo, pasti lo gak ada di sana. Mbok Arum selalu bilang lo di rumah sakit.” Kamal mengurai pelukannya. “Gak bosen apa lo bolak-balik rumah sakit mulu? Mending bolak-balik kafe, bantuin gue bikin kopi.”

“Bosenlah gila. Ketemunya obat lagi obat lagi. Serius Mal, mending gue nemenin lo seharian daripada harus tinggal di rumah sakit.”

“Tapi keadaan lo udah baikan 'kan Ru?” tanya Mario.

Aku mengangguk. “Udah, tinggal nunggu kemo kedua aja sih. Rencananya bulan depan.”

Danu mengusap-usap pundakku. “Semangat Bang, kalau lo ngerasa kesulitan, inget ada kita, tapi jangan inget Kamal. Pasti bakal makin sulit,” katanya yang langsung mendapat tendangan di bokong dari Kamal.

“Yee anak kecil ngelunjak lo!” sewot Kamal.

Aku dan Gladis tertawa. Perasaanku jauh lebih baik saat bersama dengan teman-temanku. “Yaudah Ru, lo sama Gladis cari tempat duduk. Biar gue buatin minum, tapi khusus buat lo teh anget aja ya,” ujar Yudis.

“Yah gak enak amat, alkohol aja gimana?” tanyaku.

“Berani minum alkohol, gue tempelin pantat gue ke muka lo,” sahut Kamal.

“Buset, mendadak burik gue nanti,” balasku. Setelah perbincangan ringan itu, aku dan Gladis naik ke lantai dua kafe. Kami memilih meja yang berada di rooftop, karena tempatnya lebih terbuka dan tidak terlalu ramai dibanding di lantai satu. Gladis berdiri di belakang pagar pembatas, dia merentangkan tangannya lebar-lebar. Aku merogoh ponselku yang berada di kantung celana, lagi-lagi hatiku tergerak membuka aplikasi perekam suara. Bukan maksudku untuk merekam Gladis diam-diam, hanya saja aku ingin melakukannya tanpa tahu dengan jelas alasannya. Kuhampiri Gladis dan berdiri di sampingnya. “Pusing ya jadi anak kuliahan,” ujarku.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang