9. Jangan Ikut Campur

1.6K 267 75
                                    

.
.
.

Ketika sampai di taman yang berada tak jauh dari kampus, aku melihat Aru sedang bersandar di motor besarnya sambil menghisap rokok. Tatapan kami bertemu, Aru melambai ke arahku lengkap dengan senyumannya. Melihat wajah Aru yang sepertinya dipenuhi kegembiraan itu membuat rasa kesalku semakin bertambah terhadapnya. Aku menghampiri Aru dengan tergesa. “Wah ternyata aduan gue manjur juga ya, lo langsung balik. Om Vino keren banget emang,” kata Aru begitu aku berdiri di hadapannya. Dia mengambil helm yang berada di atas motornya, dan memberikannya padaku. “Yuk jalan, gue laper.”

Aku melemparkan helm itu, membuat Aru sedikit terkesiap. “Kok lo lempar sih? Mahal tau ini helm,” kesal Aru kembali mengambil helmnya.

“Gue gak perduli. Mau mahal, murah, bukan urusan gue,” balasku.

“Kok lo nyolot?” tanya Aru. Dia memandangiku. “Bentar deh Bir, ini pipi lo kenapa merah?” Aru hampir menyentuh pipiku yang tadi mendapat tamparan dari Ayah, namun dengan cepat aku menepis tangan lelaki itu hingga membuat rokoknya terjatuh.

“Lo gak usah pura-pura perduli sama gue! Ini semua gara-gara lo dan mulut ember lo itu! Kenapa lo harus ngadu ke Ayah soal gue? Kenapa lo harus ikut campur urusan gue padahal lo bukan siapa-siapa gue? Gue benci banget sama lo Ru. Bisa-bisanya lo masih ketawa di saat gue harus nerima sakitnya tamparan Ayah.” Napasku memburu. Rasa kesal dan benciku tidak terbendung lagi. Saking kesalnya, aku sampai meneteskan air mata. “Gue peringatkan sama lo untuk pertama dan terakhir kalinya, jangan pernah ikut campur urusan gue lagi. Kalau sampai lo campur tangan, gue gak akan pernah mau untuk ketemu lo lagi. Paham?”

“Om Vino nampar lo?” tanya Aru. Aku tak menggubrisnya, dan memilih pergi, karena sudah cukup untukku memberitahu Aru apa yang harus lelaki itu tahu. Tapi belum setengah jalan, Aru menahan lenganku. “Bira, jawab gue. Om Vino beneran nampar lo?”

“Menurut lo gimana?” tanyaku datar. Aku menyingkirkan tangan Aru. “Kalau lo mau ketawain gue, terserah. Gue gak perduli lagi.”

“Sumpah Bir, gue gak tau kalau akhirnya bakal begini. Gue gak nyangka kalau Om Vino sampai nampar lo. Maafin gue ya?” pinta Aru.

Aku tak menjawab Aru, dan kembali meninggalkannya. Aru terus berteriak, berulang kali memanggil namaku. Tapi aku mengacuhkannya. Karena Aru, aku kembali mendengar hal yang paling kubenci, Ayah yang membandingkanku dengan Mairin. Sepanjang jalan, air mataku turun membasahi pipi. Beberapa kali aku terisak. Rasanya sakit, sejak kecil aku selalu dijadikan nomor sekian di keluargaku, aku hanya tahu rasanya dibandingkan, bukan dibanggakan. Karena terlalu sibuk menangis dan tidak terlalu memperhatikan jalan, aku merasa telah menabrak sesuatu. Aku mendongak, menemukan Mas Jeffry di hadapanku.

“Bira,” panggilan lembutnya berhasil membuat tangisku semakin deras. Mas Jeffry membawaku ke dalam pelukannya, mengusap-ngusap punggungku agar lebih tenang. “Dari kemarin kamu belum makan apa-apa. Kita ke restoran aku mau?” tawar Mas Jeffry. Aku mengangguk sebagai jawaban. Ke mana saja, asal tidak pulang ke rumah. Aku belum siap.

Mas Jeffry membawaku ke restorannya, tepatnya ke ruangan pribadi Mas Jeffry yang berada di sana. Dia menyuruhku duduk di sofa, sementara dirinya pergi keluar entah untuk apa. Tak berselang lama lelaki itu kembali dengan membawa segelas minuman dingin. “Minum dulu,” kata Mas Jeffry seraya duduk di sampingku.

Aku menyeruput sedikit minuman yang dibawanya. Lumayan segar, cukup memuaskan dahagaku akibat terlalu banyak menangis. “Makasih Mas,” ucapku.

Mas Jeffry memperhatikan wajahku. Tangannya bergerak mengusap pelan pipiku. “Sakit ya? Aku gak sengaja denger obrolan kamu sama Aru tadi. Maafin Aru ya Ra, aku yakin dia sama sekali gak tau apa dampaknya kalau ngaduin kamu ke Pak Vino.”

“Iya,” balasku setengah hati. Meski aku sudah memaafkan Aru, tapi rasa kesalku kepada satu-satunya putra Mas Jeffry itu belum menghilang.

“Aku udah minta waitress, buat bawain makanan ke sini. Tunggu sebentar ya,” kata Mas Jeffry. Dia beralih merapihkan rambutku. Aku tidak tahu bagaimana penampilanku saat ini. Tapi sepertinya kacau. Belum lagi mataku mudah sembab walau menangis hanya sebentar. “Sebenernya semua ini terjadi karena aku. Sepenuhnya salah aku. Gak seharusnya aku ngajak kamu ke Milan. Gara-gara aku, Pak Vino jadi nampar kamu. Maafin aku Ra,” ucapan Mas Jeffry terdengar menyesal.

Aku menggeleng. “Gak sepenuhnya salah kamu. Aku juga salah Mas karena gak jujur sama Ayah.”

“Ini pertama kalinya kamu di tampar Ayah?” tanya Mas Jeffry.

“Iya.” Aku tersenyum miris. “Tapi menurut aku jauh lebih sakit waktu Ayah nyebut aku bodoh dan gak ada apa-apanya dibanding Mairin. Sakitnya beneran sakit, sampai dada aku rasanya sesek. Apalagi kalau dibandinginnya di depan keluarga besar, rasanya aku mau hilang aja dari bumi detik itu juga. Aku harus gimana ya Mas supaya Ayah berhenti bandingin aku sama Mairin?”

“Bira...”

Air mataku kembali turun. “Jujur aku capek banget kayak gini. Dua puluh tahun hidup, aku cuma di anggap beban sama Ayah. Harusnya aku gak usah di lahirin sekalian.”

“Jangan ngomong gitu. Lahirnya kamu ke dunia itu udah jadi kehendak yang di atas. Dan mungkin salah satu alasan kenapa kamu dilahirkan ada hubungannya dengan aku.” Mas Jeffry menghapus air mataku dengan ibu jarinya. “Gak usah nangis lagi ya sayang, aku yakin suatu hari nanti Ayah pasti bakal menyebut kamu sebagai anak kebanggaannya, gak cuma Mairin doang. Tapi kalian berdua.”

Aku memeluk Mas Jeffry. Hanya dia yang memahami bagaimana perasaanku saat ini. Aku menghabiskan waktuku hingga petang di restoran Mas Jeffry, aku bahkan tidur siang di ruangannya. “Udah sore Ra, kamu masih gak mau pulang?” tanya Mas Jeffry.

Aku menggeleng. “Aku nginep di sini boleh Mas?”

“Di sini?” tanya Mas Jeffry seperti tak percaya dengan ucapanku. “Gak boleh. Masa kamu mau tidur di sofa? Pulang aja ya, aku anterin. Ayah sama Ibu pasti khawatirin kamu.”

“Ayah gak perduli sama aku,” sahutku.

“Kalau Ayah gak perduli, dia gak bakal nyuruh kamu pulang dari Milan. Ayo aku anter pulang, gak ada alesan.” Mas Jeffry meraih tangan kananku, tapi aku masih bergeming di sofa. Aku mengerucutkan bibir, memberinya isyarat penolakan dengan menggelengkan kepala.

“Di sini aja ya? Ya?” Aku memohon.

Mas Jeffry menghela napasnya. “Enggak. Nanti kalau tidur di sini kamu di nyamukin. Emangnya mau?”

“Nyamuk doang gak masalah.”

“Bira...” Mas Jeffry menekan katanya.

Aku menghembuskan napas.

“Pulang ya, kalau kamu gak pulang, masalah bakal semakin rumit. Bisa jadi Ayah benar-benar menganggap kamu sebagai beban keluarga karena udah bikin khawatir terus. Tolong, demi kebaikan kamu juga,” bujuk Mas Jeffry.

Aku akhirnya pasrah menuruti permintaan Mas Jeffry. Lelaki itu mengantarku pulang. Tidak hanya sampai depan rumah, tetapi dalam rumah. Mas Jeffry menyapa kedua orang tuaku. Memberitahu mereka bahwa dia tidak sengaja bertemu denganku di jalan. “Tadi saya gak sengaja ketemu Bira di jalan Pak, dia kelihatan sedih. Karena khawatir, saya ajak dia pulang,” jelas Mas Jeffry.

“Makasih ya Pak Jeff dan maaf sudah merepotkan, Bira memang seperti itu. Dia susah di atur,” kata Ayah.

Mas Jeffry melirikku. Dia tersenyum. “Tapi Bira anak yang baik Pak. Eum kalau gitu saya pamit pulang dulu ya, sudah sore. Aru pasti nunggu saya di rumah,” pamit Mas Jeffry.

“Oh iya Pak Jeff, mari saya antar ke depan,” ujar Ayah.

Mas Jeffry mengangguk. “Bira, Om pulang dulu ya.” Aku tersenyum kecil. Mas Jeffry ternyata pintar bersandiwara. Om katanya? Padahal dia selalu memanggilku sayang berulang kali. Andai Ayah tahu yang sebenarnya, pasti aku sudah di tendang dari rumah ini.

Aru : Ra...lo masih marah sama gue?














JANGAN LUPA KOMENNYA!!

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang