Malam!
.
.
.“Eh Moy aku mau nonton kartun.” Aku yang akan mengambil remote televisi di meja karena ingin menonton siaran gosip bersama Al di ruang keluarga sambil menunggu kedatangan Mas Jeffry yang sedang membeli sarapan, kalah cepat dengan gerakan tangan Aru yang mengambil remotenya lebih dulu. “Sini Alnya sama Abang, kita nonton kartun bareng ya boy.” Aru juga mengambil alih Al dariku, kemudian duduk di sofa menyaksikan kartun dengan Al di dekapannya.
“Ih aku mau nonton gosip Ru,” sebalku. Aku ikut duduk di samping Aru, akan merebut remote televisi darinya. Tapi Aru menjauhkannya dari jangkauanku. “Ru please, pagi-pagi gini nontonin gosip seru. Kamu ke meja makan sana, tunggu Papa. Dia lagi beli bubur di depan.”
“Gak gak, aku mau nonton kartun di sini. Mamoy aja sana tunggu di dapur,” balas Aru tanpa melihatku. Kupukul pundak Aru yang membuatnya meringis. “Anjir ini emak tiri gue ganas banget,” keluh Aru.
“Makanya pindahin chanelnya. Gue mau tau perkembangan dunia di luar sana.”
“Mamoy dengerin Abang yang paling ganteng ini ya, ada Al di sini, gak bagus anak segede dia dengerin gosip-gosip gak bermanfaat gitu. Al harus tumbuh dengan imajinasi yang luas, dia calon penerus bangsa Moy,” jelas Aru panjang lebar. Gayanya sudah seperti pembicara handal. Aku berdecih, kemudian duduk di samping Aru dan ikut menonton kartun yang sedang ditayangkan dengan terpaksa. Aru tersenyum, dia membelai rambutku. “Duduk sampingan gini berasa suami istri,” celetuk Aru.
“Move on Arundaya. Aku Mamamu, bukan istrimu,” sahutku.
Aru terkekeh. “Iya santuy.”
Aku tersenyum, lalu beralih pada Al yang berada di dekapan Aru. Kuusap pipi Al yang semakin hari semakin bertambah gembul karena banyak menyusu. “Soal kemo kamu gimana?” tanyaku pada Aru.
“Kemo pertama lancar. Tapi dokter nyuruh aku rutin ke rumah sakit buat check up perkembangan sel kankernya.”
Aku menatap Aru. Baru menyadari jika cekungan matanya terlihat lebih jelas. “Maaf Ru,” ucapku.
“Buat apa? Lebih milih Papa dibanding gue?” tanya Aru. Bahasa yang kami gunakan terkadang masih campur-campur. Aku dan Aru belum bisa sepenuhnya menggunakan bahasa yang biasanya digunakan oleh ibu dan anak.
Aku menggeleng. “Gue serius. Lo sakit, harusnya gue bisa ngasih perhatian lebih ke lo sebagai orang tua. Tapi gue belum bisa ngelakuin itu karena gue terlalu sibuk sama Al. Maaf kalau lo ngerasa gak adil sama kasih sayang yang gue kasih ke Al dan lo, gue masih belajar untuk jadi orang tua yang baik. Dan kalau misalnya lo ngerasa keberatan sama sikap gue, tolong tegur gue.”
Aru tersenyum. Dia memandangiku selama beberapa detik sebelum menjawab. “Iya Moy, gak apa-apa. Gue juga paham, Al masih kecil, dia butuh kasih sayang dan perhatian lebih dibanding gue yang udah mau dua puluh satu. Dengerin gue ya, gue gak masalah lo gak bisa sayang sama gue layaknya anak sendiri. Yang penting Al dapet kasih sayang yang cukup dari lo dan Papa. Gue gak mau Al ngerasain hal yang sama kayak yang pernah gue alamin dulu pas kecil. Papa sibuk, Mama sibuk, gue cuma sama baby sitter, itu gak enak banget Ra asli. Makanya gue minta sangat-sangat sama lo, jangan sia-siain waktu lo sama Al.”
“Lo sebegitu takutnya kalau Al ngalamin hal yang sama kayak lo?” tanyaku.
Aru mengangguk, tak ada sedikitpun keraguan yang kulihat di wajahnya. “Cukup gue aja yang ngalamin masa-masa kurang mengenakan begitu. Jangan sampai ada Aru-Aru lain di luar sana, apalagi adek gue sendiri.” Aku mengulas senyum seraya mengangguk-angguk kecil, memberitahu Aru secara tak langsung bahwa aku akan berusaha untuk melakukan apa yang dia katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."