67. Kabira

984 206 71
                                    

MALAM!
.
.
.

(ARUNDAYA POV)

Aku yang sedang bermain game di ponsel, menghela napas saat seseorang mengetuk pintu kamarku. “Siapa?” tanyaku tanpa beranjak dari ranjang.

“Manusia,” sahut orang itu. Dari suaranya aku bisa mengenal siapa dia. Aku menyibak selimut, lalu turun dan membukakan si tamu pintu. Gladis masuk ke dalam kamarku begitu saja sebelum aku mengizinkannya. Wanita itu menaruh kantung plastik putih yang dibawanya ke atas nakas. “Buah tuh buat lo,” kata Gladis.

Aku menghampirinya. “Buat apa bawain gue buah?” tanyaku. “Oh, Bira ya yang ngasih tau lo gue sakit?”

“Udah berobat?” tanya Gladis tanpa menghiraukan pertanyaanku sebelumnya.

Aku menggeleng. “Belum,” balasku kemudian kembali naik ke atas ranjang, melanjutkan bermain game di ponsel. Gladis tiba-tiba merebut ponselku. “Balikin by,” pintaku.

“Enggak sebelum lo ikut gue. Pake jaket lo sekarang, kita ke rumah sakit. Bira barusan berangkat sama Al.”

“Ya biarin lah, Al sakit dia emang harus berobat.”

“Terus gimana sama lo? Lo sakit, dan lo juga butuh berobat Ru. Jangan keras kepala, gue gak mau lo kenapa-napa.” Gladis duduk di sampingku, dia menaruh telapak tangannya ke keningku. “Panas badan lo ini udah gak normal, kita berobat ya?” bujuknya. Gladis menatapku penuh harap, yang membuatku tidak bisa berkutik dan akhirnya pasrah pada keinginannya. Gladis membawaku ke rumah sakit, sesampainya di sana aku melihat Bira yang duduk di kursi tunggu bersama Al, sepertinya dia sedang menunggu nomor antrian. Bira nampak kewalahan ketika menenangkan Al yang terus menangis. Seorang Ibu bahkan menegur Bira karena tidak bisa membuat Al diam, dengan jelas Ibu itu mengatakan jika Bira tidak becus mengurus bayi. Aku kesal mendengarnya. “Ru, lo mau ke mana? Ikut gue ketemu dokter Gustaf, Bira udah kontak dia sebelumnya. Katanya itu dokter yang biasa nanganin lo.” Gladis menahan tanganku yang akan menghampiri Bira.

Aku melepaskan tangan Gladis pelan. “Gue mau nemenin Bira dulu.” Aku lantas menghampiri Bira.

“Maaf Bu, anak saya rewel karena ada sakit yang dirasa.” Bira meminta maaf pada Ibu itu.

“Kamu pikir anak saya gak sakit? Anak saya juga sakit. Tapi dia gak rewel kayak anak kamu. Karena apa? Karena saya becus ngurusnya,” sahut Ibu itu.

“Bu jaga ya omongannya,” ujarku. “Wajar kalau anak sakit itu rewel. Apalagi masih bayi kayak adek saya ini, dia belum bisa ngomong apa-apa, cara dia ngutarain apa yang di rasa ya dengan nangis. Kalau anak Ibu? Liat.” Aku menunjuk anak kecil yang berdiri di samping Ibu itu. “Dia jauh lebih besar dari adek saya, saya yakin dia sudah pintar berbicara dan mengungkapkan apa yang dia rasa dengan kata-kata.”

“Aru udah.” Bira mencoba menarik tanganku, tapi aku menahannya.

“Apanya yang udah Bir? Ibu ini keterlaluan, dia udah ngatain lo gak becus jadi orang tua. Emangnya lo gak marah apa di katain gitu?” tanyaku menggebu-gebu.

“Jelas dia gak marah, karena saya bener. Masa anak nangis aja gak bisa nenangin? Gak ada sifat keibuannya sama sekali,” ujar Ibu itu.

“Bu cukup!” Aku membentak. Kumajukan langkahku semakin dekat dengan si Ibu. “Ibu tau siapa pemilik rumah sakit ini? Dia Kakek saya, mertua dari orang yang udah Ibu jelek-jelekin. Kalau sampai Ibu mengatakan hal yang keterlaluan lagi mengenai Bira, saya pastikan Ibu dan keluarga gak akan pernah di terima di rumah sakit ini sampai kapanpun,” ancamku.

“Aru!” Bira bersuara. Dia menatapku tajam. “Berhenti ngancem orang kayak gini cuma karena gue. Lo gak usah ikut campur urusan gue sama Al. Sekarang mending lo ikut Gladis, pergi temuin dokter Gustaf. Gue udah kontak dia tadi.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang