36. Jeffry Pov

1.4K 252 145
                                    

Yang ga komen awas aja!
.
.
.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, berkutat di dapur dengan bahan-bahan masakan. Aku berniat memasak pagi ini. Tidak ada acara khusus, hanya saja aku ingin memasak makanan kesukaan Aru dan Bira dengan tanganku sendiri. Sudah lama aku tidak memasak untuk orang lain walau aku memiliki restoran. Berbicara soal makanan, Aru tidak terlalu pemilih, dia selalu memakan apa yang aku masak untuknya. Bira juga memiliki selera yang mirip dengan Aru, hanya saja wanita itu tidak bisa memakan makanan yang berbahan dasar seafood. Jadi pagi ini aku akan membuatkan keduanya sarapan yang simple, yaitu telur orak arik, sosis goreng, dan pancake kentang. Biasanya menu sarapan seperti ini sering ditemukan di Polandia.

Aku tersenyum bangga melihat hasil masakanku yang sudah matang dan tertata rapih di meja. Tak lupa, aku membuatkan segelas susu hamil untuk Bira dan menuangkan susu vanila untuk Aru. Selesai menyiapkan sarapan, tempat yang kutuju selanjutnya adalah kamar tamu, di mana Bira berada. Belum sempat pintu kamar kuketuk, Bira sudah lebih dulu keluar. Calon istriku terlihat sangat cantik pagi ini dengan dress hamilnya yang berwarna merah muda. Rambut Bira yang semakin panjang, memberikan kesan lebih dewasa pada wanita itu. Bira benar, rambut panjang adalah yang terbaik. Aku sampai dibuat terpana karena penampilannya. “Apaan sih liat-liat?” tanya Bira yang membuatku seketika tersadar.

Aku tersenyum. “Aku udah buat sarapan lho cantik. Makan yuk?” ajakku. “Sama Aru juga.”

“Yaudah aku nyusul. Mau ke kamar mandi dulu,” kata Bira.

Aku mengangguk, membiarkan Bira pergi. Lalu aku menuju ke lantai dua untuk membangunkan Aru. Tanpa mengetuk pintu, aku langsung menerobos masuk ke dalam kamar anakku. Aru tidak berada di ranjangnya, tapi aku bisa mendengar suara air yang mengalir dari kamar mandi yang berada di kamar Aru. “Ru,” panggilku seraya mengetuk pintu kamar mandinya.

“Iya Pa,” sahutnya dari dalam.

“Turun, kita sarapan bareng.” Tak berselang lama Aru membuka pintu kamar mandi. Aku sedikit kaget melihat wajah Aru yang terlihat lebih pucat dari biasanya. “Kamu gak apa-apa?” tanyaku.

“Gak apa-apa. Nanti aku turun. Papa duluan aja.”

Aku memegang pundak Aru. “Mama udah bawa kamu ke sana 'kan?”

“Jangan-jangan selama ini Papa pergi karena itu?” tanya Aru.

Aku terdiam tak bisa menjawab.

“Pa jawab aku,” pinta Aru.

Aku menghela napas. “Masih pagi, kita bahas nanti aja,” kataku, berniat untuk menyudahi topik yang seharusnya tidak pernah aku mulai.

“Nanti gimana? Ada orang yang tersiksa dan menderita gara-gara aku Pa! Kenapa Papa ngambil keputusan begini sih? Kenapa gak langsung ngomong ke aku?”

“Aru.”

“Apa?! Papa pikir aku bakal bahagia dengan keputusan yang Papa ambil? Engga! Yang ada aku malah makin kesiksa,” sahut Aru.

“Waktu itu Papa gak bisa berpikir panjang. Papa cuma mau liat kamu bahagia,” kataku.

“Dengan cara ninggalin perempuan yang udah jelas-jelas nolak aku dan mencintai Papa? Di mana letak bahagianya Pa? Itu malah makin nyiksa tau gak? Bukan cuma nyiksa aku. Tapi Bira dan anaknya juga.”

“Aru? Mas Jeffry?” Suara Bira terdengar. Pasti dia sedang mencari-cariku dan Aru karena tidak kunjung turun ke ruang makan.

“Maafin Papa Ru, tapi kita bisa bahas soal ini lagi nanti. Sekarang kamu turun, kita sarapan bareng.” Aku berusaha merangkul Aru, namun dia menepisnya dan berjalan mendahuluiku. Aru pasti marah dan kecewa padaku setelah mengetahui alasanku pergi selama tujuh bulan ini. Aku bisa memahaminya, jika aku berada di posisi Aru, mungkin aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Aku turun menyusul Aru, kulihat dia dan Bira sudah duduk di kursi meja makan. “Kenapa gak pada di makan?” tanyaku begitu sampai di meja makan dan melihat sarapan yang kubuat masih utuh belum disentuh.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang