Jangan lupa komennya!!
.
.
.(JEFFRY POV)
Aku melihat sekeliling kamar Aru yang sudah ditinggal pemiliknya sejak satu minggu yang lalu. Bau mint khas Aru, masih tercium jelas di sini. Barang-barangnya seperti komik, komputer, dan lainnya masih tersusun rapih di tempatnya masing-masing. Aku berjalan mendekati meja belajar Aru, mengambil sebuah foto di sana. Foto saat Aru berulang tahun yang ke enam, di mana ada aku dan Bianca di sisinya saat itu. Aku ingat jelas, foto ini diambil secara terburu-buru di pesta ulang tahun Aru karena aku harus menghadiri sebuah acara bersama rekan kerjaku. Bodoh memang, aku lebih memilih pekerjaanku dibanding Aru yang sangat menginginkan aku berada di sisinya saat itu. Padahal Aru sudah memohon sampai menangis di hadapanku agar aku tidak meninggalkannya.
Setelah Aru meninggal, aku baru menyesali semua perbuatan yang telah kulakukan padanya. Kenapa dulu aku tak lebih memperhatikan Aru? Kenapa aku tidak meluangkan sedikit waktuku untuk Aru? Kenapa Aru harus pergi di saat aku jauh darinya dan belum sempat memperbaiki semuanya?
“Aruu!” Aku berteriak sejadinya, tubuhku jatuh ke lantai. Air mataku lagi-lagi turun. “Maafin Papa nak, maaf...” gumamku sambil memeluk erat foto tersebut.
“Lo goblok Jeff, keinginan terakhir Aru itu mau ketemu sama lo, tapi lo malah ninggalin dia.” Aku memaki diri sendiri. Rekaman suara Aru terus berputar di otakku. Dia hanya ingin aku kembali kepadanya, tapi sayangnya aku gagal memenuhi keinginan terakhir Aru tersebut. Aku hanya menjanjikannya akan memberikan yang terbaik, tanpa pernah menepatinya.
“Jeff..” Aku mendengar suara Bianca. Dia masuk ke dalam kamar Aru, lalu berjongkok di hadapanku dan mengambil fotonya dari tanganku. Bianca ikut menangis setelah melihat foto tersebut. Aku sangat paham bagaimana perasaan Bianca, kami berdua sama-sama merasa gagal menjadi orang tua untuk Aru. Kuusap pundak Bianca, berusaha menenangkannya walau aku sendiri tidak bisa menghentikan air mata yang terus turun. “Aku gagal Jeff, aku gagal jadi orang tua yang baik untuk Aru.”
“Kamu gak sendiri, aku juga Bi. Dari awal pernikahan, kita emang gak saling cinta. Tapi harusnya kita bisa menurunkan ego masing-masing demi Aru. Tapi apa yang kita lakuin ke dia? Kita mengacuhkan Aru secara terang-terangan.”
“Aru pasti menderita ya Jeff, punya orang tua kayak kita,” isak Bianca. “Dari kecil dia gak mendapatkan kasih sayang dari kita secara layak. Kita emang sering ngasih mainan yang Aru mau, kita sering beliin dia barang-barang mahal, sampai aku pernah mikir kalau kita berhasil jadi orang tua yang baik karena kita bisa ngasih materi yang cukup untuk Aru. Nyatanya itu semua sia-sia, yang lebih Aru butuhkan adalah waktu dari kita.”
“Kamu bener Bi, dan sekarang aku menyesali perbuatan aku sama Aru. Dia pergi sebelum mengenal kebahagiaan. Dan itu gara-gara kita.” Kepergian Aru yang mendadak membuatku sangat terpukul. Sesaat setelah mendapat telepon dari Maga yang bilang jika Aru sudah tidak ada, aku seperti tersambar petir di siang bolong. Aku tak percaya, Aru pergi secepat ini, meninggalkanku dengan rasa penuh penyesalan karena belum sempat membahagiakannya. Lebih dari itu, hal yang memilukan adalah aku ayah dari Aru sendiri, tidak ada di sisi putraku menjelang kematiannya. “Di rekaman terakhir Aru, dia bilang kalau dia takut lebih dulu pergi sebelum sempat minta maaf sama aku. Padahal aku yang harusnya minta maaf secara langsung ke Aru.”
“Aru emang anak yang baik Mas.” Bira datang sambil membawa Al di gendongannya. Dia ikut duduk di lantai bersamaku dan Bianca. “Saking baiknya Aru, dia gak mau liat Papa, Mamanya sedih atas kematian dia.”
“Kepergian Aru adalah hal yang berat untuk banyak orang, terutama kita sebagai orang tuanya. Mungkin kita gagal jadi orang tua yang baik dan bertanggung jawab untuk Aru, tapi bukan berarti kita kehilangan kesempatan untuk memperbaikinya. Kamu inget Mas hal terakhir yang Aru bilang di rekamannya?” tanya Bira. Aku ingat, tapi aku tak menjawab pertanyaan Bira. “Aru minta kamu untuk jangan sedih. Mas, Mbak, dua puluh tahun ini Aru udah melakukan yang terbaik sebagai seorang anak, dia juga udah berjuang sekuat tenaga untuk sembuh, sekarang ini giliran kita yang berjuang untuk Aru, kita harus berjuang mengikhlaskannya.”
“Bukan maksud aku maksa kalian buat melupakan Aru, tapi kalau rasa sedih ini gak berujung, rasanya sia-sia aja perjuangan yang udah Aru lakuin buat kita,” sambung Bira. Aku dan Bianca hanya diam, merenungi perkataannya. “Kita nangis boleh, sedih boleh, tapi jangan berlarut. Kasian Aru juga.”
“Kamu gak tau gimana rasanya kehilangan seorang anak Ra,” ujar Bianca.
“Aku? Gak tau? Aku tau Mbak, sangat tau. Aru anak aku juga walau bukan lahir dari rahim aku sendiri. Tiap malem aku nangisin dia, tiap malem aku nyalahin diri sendiri, sama kayak kalian. Cuma aku sadar, kalau udah saatnya kita bangkit dari keterpurukan ini,” balas Bira.
“Bira bener,” kataku. Kutatap mata Bianca. “Aru sendiri yang minta aku untuk gak menyalahkan diri sendiri atas kematiannya dan berlarut dalam kesedihan. Bi, selama ini kita belum pernah mengabulkan hal yang bener-bener Aru inginkan, dan aku rasa udah waktunya kita mengabulkan keinginan terakhir Aru. Kita harus mengikhlaskan dia.”
Kepala Bianca tertunduk, dia kembali menangis. Bira menaruh Al di pangkuanku, kemudian dia memeluk Bianca. “Kita berusaha sama-sama ya Mbak, gak perlu terburu-buru,” kata Bira menenangkan Bianca.
“Bantu aku Bir...” balas Bianca.
“Pasti Mbak,” sahut Bira.
Aku menyeka air mataku dan berjanji kepada diri sendiri juga Aru, bahwa mulai hari ini aku harus belajar mengikhlaskan putraku, Arundaya Niscala Baruna. Dan aku harap, Aru bisa melihatnya dari atas sana jika permintaannya kali ini akan ditepati. Di pangkuanku, Al tiba-tiba saja merengek. Bira dan Bianca spontan melepaskan pelukan mereka mendengar rengekkan Al. “Aku yang gendong Al boleh Bir?” tanya Bianca.
“Boleh,” sahut Bira.
Bianca mengambil alih Al, dia lantas membawanya ke dekat jendela.
“Ayo Mas bangun.” Bira mengulurkan tangannya untukku. Kuraih tangan hangat itu dan menggenggamnya.
“Jeff, Bir, aku gak tau kalau Al semirip itu sama Aru,” ujar Bianca.
“Mungkin Tuhan sengaja bikin mereka mirip, supaya kita selalu inget Aru, Bi,” kataku.
Bianca tersenyum. “Mungkin. Dan Jeff, satu hari sebelum Aru meninggal, dia minta aku menyampaikan sesuatu ke kamu.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Aru bilang, walau matahari kamu udah tenggelam satu, kamu masih punya yang lain, dan dia adalah Al.”
Abang sayang banget ya Bang sama Al🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."