27. Mamoy

1.2K 236 128
                                    

SIANG SEMUAAA!!!
.
.
.

(ARU POV)

Aku membawa Bira masuk ke dalam rumah, kuminta dirinya duduk di sofa sementara aku pergi ke kamar untuk mengambilkannya selimut. Di luar tadi, Bira tampak kedinginan, tubuhnya sedikit menggigil. Aku kembali ke ruang tamu begitu menemukan selimut baru. Kusampirkan selimut berbulu itu pada tubuh Bira. “Tunggu sebentar ya, gue bikinin teh anget buat lo,” kataku.

Bira tak menjawab, dia hanya diam dengan pandangan kosong. Aku tahu, Bira pasti sangat terkejut dengan ucapanku mengenai perginya Papa. Aku sendiri tidak tahu ke mana Papa pergi, satu jam yang lalu tiba-tiba saja anak buah Papa datang ke bengkel, memberikanku dokumen dan kunci rumah, dia mengatakan jika Papa tidak lagi tinggal di rumah ini, karena rumah ini sudah menjadi milikku. Awalnya aku tidak ingin datang kemari, karena aku sudah memutuskan akan hidup dengan hasil jerih payahku sendiri, aku tidak ingin menggunakan barang-barang pemberian Papa atau Mama sekalipun. Tapi rasanya hatiku tidak tenang, kuputuskan untuk datang kemari. Dan saat melihat Bira yang sedang menangis sendirian di depan gerbang, aku jadi paham kenapa tubuhku sudi untuk kembali ke rumah ini.

Aku duduk di samping Bira setelah membuatkannya teh hangat. Kubantu dirinya untuk minum agar lebih tenang. “Pelan-pelan aja,” kataku saat Bira menyeruput tehnya.

“Makasih Ru,” ucapnya setelah minum.

Aku mengangguk. “Laper gak?” tanyaku.

Bira menggeleng. “Ru, lo bisa hubungin bokap lo? Dia gak bisa pergi gini aja. Gue hamil anak dia. Mas Jeffry harus tanggung jawab,” kata Bira.

“Sebentar, gue coba hubungin Papa.” Aku bangun, sedikit menjauh dari Bira. Aku mencoba menghubungi nomor Papa, tapi nomornya tidak aktif. Selagi mencoba menelepon Papa, mataku tertuju pada Bira. Wajahnya tak bisa berbohong, dia gelisah. Sebenarnya aku tidak tega melihat Bira dalam keadaan seperti ini. Wanita yang biasanya selalu memakiku dan terlihat angkuh, kini berubah menjadi rapuh. Papa kurang ajar, dia berani meniduri Bira tapi kini meninggalkannya sendiri. Aku berdecak saat Papa tak kunjung menjawab panggilanku. “Papa gak bisa dihubungin.” Aku kembali menghampiri Bira.

Sorot mata Bira menampakkan kekecewaan. Dia mulai menangis kembali. Sungguh, hatiku rasanya ikut tercabik-cabik melihat Bira yang menangis seperti ini. Dulu saja saat Bira ditampar Om Vino, aku merasa sangat bersalah. Bagaimana dengan ini? Bira di usir keluarganya karena ulah orang tuaku sendiri. Aku benar-benar malu. “Bira, jangan nangis,” kataku seraya membawa Bira ke dalam pelukanku.

“Maafin Papa dan gue,” kataku lagi.

“Gue gak butuh maaf, gue butuh Jeffry. Gue butuh dia bertanggung jawab,” ujar Bira dalam isakannya.

“Gue janji, gue bakal bikin Papa bertanggung jawab gimanapun caranya. Gue bakal cari Papa sampai ketemu,” ucapku meyakinkan Bira. “Tapi boleh gue nanya sesuatu?”

Bira mengangguk di pelukanku.

“Lo bener-bener mencintai Papa?” tanyaku.

“Kalau gue gak cinta, gue gak bakal menyerahkan diri gue ke dia sampai hamil gini. Mungkin lo bisa bilang gue murahan, tapi ini cara gue ngungkapin rasa itu ke Jeffry.”

“Kalau seandainya Papa gak ada rasa sama lo dan selama ini cuma manfaatin lo doang gimana?”

“Gue butuh kehadiran dia buat tau itu.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang