73. Rumah Orang Ganteng

979 209 120
                                    

Disarankan bacanya sambil denger mulmednya
.
.
.

Kakiku melemas melihat tubuh Aru yang terbujur kaku dengan wajah tertutup kain putih. Di sekelilingnya, orang-orang menangis. Aku seperti linglung mendapati hal ini, bertanya-tanya dalam hati apakah ini nyata? Apa penglihatanku tidak salah? Dan pertanyaan itu terjawab saat Mas Jeffry berlari menghampiri Aru, menyingkap kain putih di wajahnya, dan mulai menangis kencang sambil meneriakkan nama Aru berulang kali. Ini nyata, Aru benar-benar telah pergi meninggalkan dunia. Kulepaskan gagang koper yang semula kupegang dan menghampiri Mas Jeffry. Air mataku jatuh ketika dapat melihat wajah Aru dengan jelas, bibirnya tak lagi merah, kulitnya semakin memucat, tulang-tulang pipinya nampak menonjol, Aru kehilangan banyak berat badan dibanding tiga bulan yang lalu.

“Ru bangun Ru, Papa udah pulang.” Mas Jeffry memindahkan kepala Aru ke pangkuannya. “Jangan tinggalin Papa kayak gini.” Nyeri, dadaku mendadak sesak melihat pemandangan ini. Aku ingin menguatkan Mas Jeffry, tapi aku bahkan tidak bisa menguatkan diri sendiri. Aku ikut menangis kala mendengar permohonan Mas Jeffry yang putus asa.

“Bangun Bang, kamu yang bilang sendiri ke Papa kalau kamu bakal bertahan, kamu udah janji sama Al buat servisin motor dia nanti. Kamu harus tepatin janji kamu,” kata Mas Jeffry terisak. “Arundaya, bangun!”

“Mas...” Aku mengusap-usap pundak Mas Jeffry. Dia menatapku.

“Ra, Aru pasti bangun 'kan? Atau kita bawa dia ke rumah sakit terbaik di dunia? Supaya Aru sembuh dan mau buka matanya. Ayah! Ayah!” Mas Jeffry memanggil mertuaku yang duduk di seberang kami. “Ayah, aku tau Ayah sayang banget sama Aru, Ayah juga punya banyak koneksi. Kita bawa Aru ke rumah sakit lain ya?”

“Jeff, ikhlaskan Aru,” kata mertuaku.

“Apa yang perlu di ikhlaskan?! Aru gak akan ke mana-mana.” Mas Jeffry memeluk tubuh Aru semakin erat.

“Lepasin Aru Jeff, kasian dia,” ujar Mbak Bianca di tengah isakannya. Dia mencoba melepaskan Aru dari Mas Jeffry, tapi suamiku menahannya dan mendorong Mbak Bianca.

“Jangan pegang Aru! Ini gara-gara kamu yang gak bisa jaga Aru. Kamu bawa Aru ke Jepang tanpa sepengetahuan aku, dan sekarang Aru pulang ke Indonesia dengan keadaan kayak gini.”

“Kamu menyalahkan aku?!” tanya Mbak Bianca tidak terima. “Aku bawa Aru ke Jepang itu justru untuk kebaikan dia, untuk kesembuhan Aru! Kamu yang salah di sini. Kamu pergi ninggalin Aru di saat dia butuh dan lebih memilih pindah keluar negeri sama istri dan anak kamu yang baru. Kamu cuma kasih aku uang, nyuruh-nyuruh aku tanpa tau separah apa kondisi Aru.”

“Stop meributkan hal yang gak perlu!” Aku berteriak. “Bahkan sampai tubuh Aru udah sekaku ini, kalian masih ribut dan menyalahkan satu sama lain? Kalau kalian berdua mau tau siapa yang paling salah di sini, itu kita. Bukan cuma Mas Jeffry atau Mbak Bianca, tapi kita sebagai orang tua yang gagal menurunkan egonya untuk anak kita.” Kupandangi wajah Aru, mata indahnya yang selalu berbinar setiap kali terbuka, kini tertutup rapat. Bahkan luasnya duniapun kalah luas dibanding rasa bersalahku pada Aru. Dia, Arundaya pergi tanpa pernah merasakan kebahagiaan karena keserakahan yang dimiliki oleh para orang tuanya.

Kuraih tangan Aru yang dingin, lalu kuusap punggung tangan itu pelan karena takut Aru merasa sakit. “Maafin gue Ru, maaf.” Hanya itu yang mampu aku katakan.

“Ru bangun...” Mas Jeffry kembali memanggil-manggil Aru.

“Bangun, Papa janji gak akan ninggalin kamu lagi. Papa akan selalu luangin waktu untuk kamu.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang