11. I'm Yours

2.2K 270 105
                                    

🔞🔞🔞
.
.
.


“Gue bilang juga apa Ra, gak ada cewek cowok pergi berdua, gak ngapa-ngapain. Apalagi jauh dan sampai berhari-hari kayak lo sama Om Jeffry, gak mungkin banget.” Aku menutup mulut Gladis dengan tangan. Dia tidak tahu tempat sama sekali. Padahal kami sedang di toilet kampus, bisa saja ada orang yang mendengar. Aku belum siap mempublikasikan hubunganku dengan Mas Jeffry. Selain karena takut ketahuan Ayah, aku juga ingat pekerjaan Mas Jeffry yang merupakan publik figur dan cukup dikenal oleh banyak orang. Kecuali aku, tapi itu kemarin-kemarin hehe. Sekarang, aku mungkin jadi orang yang paling mengenal Mas Jeffry luar dan dalam.

“Pelan-pelan, gue gak mau ada yang denger,” kataku seraya menarik tanganku kembali.

Gladis mengangguk paham. “Gimana? Dia 'kan udah om-om, masih kuat?” tanya Gladis dengan suara yang lebih pelan. Dia tidak akan berhenti bertanya sampai aku menceritakan semuanya.

“Hm, lo gak akan pernah nyangka kalau umur dia nyaris empat puluh.” Ingatanku kembali melayang pada malam pertamaku dan Mas Jeffry di Milan. Aku tersenyum setiap kali mengingatnya. Memang benar, Mas Jeffry sama sekali tidak kelihatan seperti laki-laki yang akan memasuki usia empat puluh tahun. Wajahnya benar-benar definisi baby face, apalagi ketika dia sedang tidur. Ditambah bentuk tubuh atletis Mas Jeffry dan otot-otot lengannya yang kekar, selalu berhasil membuatku meneguk ludah sendiri. Ah ya, jangan lupakan rambut lebatnya yang menjadi langganan remasanku saat di Milan.

Di mataku, Mas Jeffry lelaki sempurna.

“Ra kok lo bengong sih? Itu ada telepon,” ujar Gladis yang membuatku tersadar dari lamunan singkat. Karena memikirkan Mas Jeffry aku sampai tidak menyadari dering teleponku yang berbunyi. Aku merotasikan bola mata malas ketika membaca nama kontak yang menghubungiku. Aru. Kenapa dia harus meneleponku? Padahal aku sudah cukup tenang karena satu minggu belakangan ini Aru tidak menghubungiku. Aku menolak panggilannya, dan menyimpan kembali ponselku di tas. “Gak lo angkat?” tanya Gladis.

Aku menggeleng. “Enggak. Dis, gue balik duluan gak apa-apa ya? Mau ketemu Jeffry,” kataku pelan. Aku merindukan lelaki itu dan berniat menemuinya di restoran. Tapi aku belum memberitahu Mas Jeffry sebelumnya.

Gladis tersenyum meremehkan. “Kali ini mau main di mana?” tanyanya yang langsung mendapat pukulan dariku. Gladis kurang ajar.

Aku pergi ke parkiran setelah kelas usai. Saat sampai di sana, aku menemukan Aru tengah berjongkok di depan mobilku dengan tas yang dia taruh di atas kepala. “Bira lo ke mana aja sih? Ayo balik, gue udah nunggu dari tadi. Mana panas banget lagi,” cerocosnya begitu melihatku.

“Dih ngapain balik ngajak gue? Balik sendiri sana,” balasku. Tanganku yang hampir membuka pintu mobil, ditahan Aru. “Ru lepas gak?”

“Bareng dong, motor gue mati. Tuh gue tinggal di parkiran. Boleh ya?” pinta Aru. Aku memandangi lelaki itu dari ujung kepala hingga kaki. Wajah Aru berkeringat, pakaiannya sudah kusut dan basah. Hari ini matahari memang lebih menyengat dari biasanya. Aku tidak ingin memberi tumpangan pada Aru, meski satu minggu sudah berlalu sejak penamparan Ayah kepadaku, aku masih sedikit kesal pada Aru. Tapi aku juga tidak tega jika harus meninggalkan Aru sendiri. Mau bagaimanapun juga Aru calon anakku. Astaga, menyebutnya sebagai calon anak terlalu menggelikan. “Bira sayangku. Boleh ya?” tanya Aru lagi.

Kupukul perutnya pelan. “Sayang pala lo sembilan. Yaudah nih, lo yang nyetir.” Aku memberikan kunci mobil pada Aru.

Lelaki itu menunjukkan deretan giginya. “Makasih. Ayo masuk.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang