26. Tersebar

1.2K 244 219
                                    

Yuk yuk kalian yang mau berspekulasi silahkan, asem suka bacainnya wkwkwkwk
.
.
.

Setengah jam aku mencoba bertahan di rumah meski Ayah terus memintaku untuk pergi. Semua itu hanya karena satu alasan, Mas Jeffry. Aku masih menunggu kedatangannya untuk menemui orang tuaku. Tapi sialnya di saat begini ponsel Mas Jeffry tidak aktif, ratusan panggilan dan pesan kukirimkan padanya, namun tak ada satupun yang terbalas. Sampai akhirnya kulihat Ayah masuk ke dalam kamarku dengan membawa seorang satpam. “Bawa keluar orang ini sekarang Pak,” titah Ayah pada Pak satpam.

“Mas, ini udah malem. Tega kamu ngusir Bira di jam segini hah?!” Ibu yang sejak tadi menemaniku, mengangkat suara.

“Dari pada aku usir dia pagi-pagi? Semua orang bakal tau gimana menjijikannya anak kamu. Bahkan reputasi aku juga bisa hancur!” bentak Ayah. “Bodohnya anak kamu itu luar biasa. Dijodohin sama Aru, malah tidur sama Bapaknya Aru. Pantes kalau Aru membatalkan perjodohan dan milih wanita lain. Sekarang kamu keluar dari rumah Bira, saya gak perduli lagi sama kamu. Terserah mau kamu apakan itu bayi, yang pasti jangan pernah menginjakkan kaki kamu di rumah ini lagi. Dan untuk Jeffry, kalaupun dia datang kemari, saya gak akan pernah merestui kalian. Kamu dan anak kamu, aib untuk keluarga saya.” Detik itu juga aku merasakan sesak yang luar biasa, Ayah tidak lagi menganggapku sebagai anaknya, melainkan aibnya. Bahkan Ayah tak menyebut dirinya Ayah ketika berbicara denganku.

Aku tahu, hal seperti ini pasti akan terjadi. Tapi aku rasa, jika Mas Jeffry datang tepat waktu, aku tidak mungkin sampai diusir seperti ini.

“Maafin aku Yah,” lirihku. “Aku bakal pergi sekarang.” Aku mengemasi barang-barangku ke dalam koper, memasukkan beberapa pakaian ganti di sana. Ibu berusaha mencegah kepergianku, tapi lagi-lagi Ayah tidak bisa dilawan.

“Bira jangan pergi! Bira!” Ibu meneriakiku ketika Pak satpam membawaku keluar dari halaman rumah.

Aku menghentikan langkahku, berbalik menghadap Ibu. Hatiku rasanya hancur melihat Ibu menangis meraung-raung di depan pintu memintaku untuk kembali. Air mataku menetes, aku berlari menghampiri Ibu, memeluknya dengan erat. Tangis kami berdua pecah. “Maafin aku ya Bu,” ucapku. “Selama ini Ibu yang paling sayang sama aku, tapi aku malah ngecewain Ibu gini. Maafin aku.”

Ibu menggeleng. “Jangan pergi ya, kamu tetep di sini, sama Ibu.”

“Jangan harap Bira bisa tinggal di sini lagi. Ayo, kamu masuk!” Ayah menarik Ibu, membuat pelukan kami terurai. Ayah membawa Ibu masuk ke dalam rumah lalu membanting pintu dengan keras. Tertutupnya pintu rumah, menandakan Ayah sudah benar-benar lepas tangan terhadapku. Masih dalam keadaan menangis dan tangan yang sedikit bergetar, aku mencoba kembali untuk menghubungi Mas Jeffry. Tapi hasilnya benar-benar nihil, ponsel Mas Jeffry masih belum aktif hingga kini. Entah apa yang sedang dilakukan lelaki itu sampai tidak sempat untuk sekedar mengangkat panggilanku.

“Mbak Bira, saya sudah panggilkan taksi.” Pak satpam memberitahuku. Dengan langkah berat, aku berdiri, berjalan ke arah taksi.

“Kita mau ke mana Mbak?” tanya supir taksi begitu aku masuk. Aku memberitahukannya alamat rumah Mas Jeffry. Sesampainya di rumah Mas Jeffry, aku tidak menemukan ada tanda-tanda orang di dalam. Bahkan satpam dan Mbok Arum yang biasa berada di rumah, kini tidak ada. Aku juga tak bisa masuk ke dalam, pintu gerbang rumah Mas Jeffry terkunci. Aku menggoyangkan gerbang itu, memanggil-manggil nama Mas Jeffry berulang kali.

“Mas Jeffry!” panggilku.

“Aku Bira!” kataku lagi. Tapi masih tak ada respon. Rumahnya benar-benar tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Aneh, Mas Jeffry seperti hilang ditelan bumi. Ponselnya, rumahnya, semuanya tidak bisa diharapkan. Kepalaku rasanya pusing, aku jatuh terduduk di depan gerbangnya. Dalam kesepian ini, aku jadi teringat dengan ucapan Dania dan Gladis. Aku takut jika Mas Jeffry benar-benar pergi meninggalkanku sendiri setelah apa yang kami perbuat, aku takut Mas Jeffry lari dari tanggungjawabnya seperti yang Gladis katakan. Aku tidak mungkin bisa membesarkan anak ini sendiri.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang