48. Tiga Hari Lagi

1.2K 227 101
                                    

SELAMAT MALAAAAAM!!!
.
.
.

“Jadi rencana nikahnya kapan Pa?” tanya Aru disela-sela makan malam. Dia sudah aku dan Mas Jeffry beritahukan mengenai niat kami yang akan kembali bersama bahkan segera melangkah ke jenjang yang lebih serius lagi. Syukurnya Aru merespon dengan positif, dia mendukung keputusanku yang menerima Mas Jeffry kembali.

“Papa mau secepatnya. Tapi Papa juga harus minta restu dulu sama orang tuanya Bira. Seenggaknya ada omongan lah,” kata Mas Jeffry. “Niatnya besok sama Bira mau ke rumah Pak Vino, kamu mau ikut?”

Alih-alih menjawab, Aru justru melihatku. “Lo siap Bir ketemu bokap nyokap lo?” tanyanya.

Aku mengangguk. “Harus siap, lagian gue juga kangen mereka Ru.” Aku sangat merindukan keluargaku, walau aku tidak tahu apa mereka merasakan hal yang sama denganku juga atau tidak.

Aru mengangkat kedua sudut bibirnya. “Semoga besok pertemuannya lancar ya, gue kayaknya gak bisa ikut. Gue harus ke rumah sakit.”

“Besok jadwal kontrol kamu?” tanya Mas Jeffry.

“Iya Pa,” sahut Aru.

“Yaudah perginya setelah Papa sama Bira dari rumah Pak Vino aja, nanti biar Papa temenin kamu di rumah sakit,” saran Mas Jeffry, aku mengangguk menyetujui. Kasihan Aru jika harus pergi ke rumah sakit sendiri.

Aru menggeleng. “Gak usah, aku sendiri aja. Pulangnya juga mau mampir dulu ke kafe.”

“Semangat ya Ru, gue yakin lo bakal sembuh, harus sembuh malah supaya lo bisa ajak Al main,” kataku.

“Iya, lo doain gue ya,” balas Aru.

“Pasti,” sahutku mantap.

Mas Jeffry berdehem. “Panggilannya rubah dong, masa gue lo mulu. Bira 'kan bentar lagi jadi Mama kamu Ru,” katanya.

“Aneh Mas,” ujarku. “Aku sama Aru 'kan seumuran, sering ribut lagi dulu, terus tiba-tiba harus jadi ibu sama anak. Iya gak Ru?” Aru mengangguki pertanyaanku.

“Gak tiba-tiba juga sih sebenernya, kalau lo nerima Papa, otomatis gue juga bakal jadi anak lo. Yaudah Ra, mulai sekarang kita biasain jangan pake lo gue. Kalau ada yang ngelanggar, bayar denda,” saran Aru.

“Dendanya apa?” tanyaku.

“Salah sebut sekali bayar lima ribu,” timpal Mas Jeffry.

Aku dan Aru saling melempar tatapan. “Oke setuju!” sahut kami berdua bersamaan lalu tertawa setelahnya. Aku belum resmi menjadi bagian dari keluarga Baruna, tapi aku sudah menerima kehangatan dari mereka yang membuatku semakin merindukan keluargaku. Semoga saja besok kedatanganku tak mendapat penolakan dari orang tuaku terutama Ayah.

Besoknya, sekitar jam empat sore aku dan Mas Jeffry pergi menuju rumah Ayahku. Sesampainya di sana, aku melihat pemandangan yang sudah lama tidak kutemui, Ayah sedang bermain bola bersama Aga dan Mas Andra di halaman, sedang Ibu dan Mairin asik berbincang di teras sambil memperhatikan para suami mereka. Mereka kelihatan baik-baik saja untuk keluarga yang ditinggal oleh anaknya selama berbulan-bulan, tak ada kesedihan yang aku lihat dari raut wajah mereka. Mendapati itu semua, membuatku tersadar jika tak ada satupun dari keluargaku yang merindukanku. Hanya aku yang merindukan mereka. Aku memundurkan langkahku kembali, berniat untuk pergi karena merasa berkecil hati. Tapi tiba-tiba kurasakan ada jari-jari hangat menaut di jari-jariku. “Kamu mau ke mana?” tanya Mas Jeffry.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang