SOREEEEE!!!
.
.
.Pukul dua pagi aku terbangun karena mendengar tangis Al yang berada di sebelahku. Aku membetulkan posisiku menjadi duduk, kemudian memindahkan Al ke gendonganku. Aku membuka tiga kancing piama teratasku, berniat memberikan Al asi karena jam ini adalah jam biasa dia terbangun untuk minum susu. Tapi Al malah memalingkan wajahnya dari sumber makanannya. Tidak biasanya Al begini. “Badan kamu kok panas Dek?” gumamku ketika punggung tanganku bersentuhan dengan kening Al. Ingin lebih tahu berapa suhu tubuh Al, aku mengambil termometer di laci dan mengukurnya. Kutaruh termometer digital yang dibeli Mas Jeffry di ketiak Al, lalu mencabutnya saat termometer sudah berbunyi. Suhu tubuh Al mencapai 38,4 derajat celcius, yang artinya Al mengalami demam. “Yaampun Dek, mana Papa lagi gak di rumah, kamu sakit.”
Di saat seperti ini agak di sayangkan Mas Jeffry sedang tidak di rumah. Suamiku itu berada di Bali sejak dua hari yang lalu. Mas Jeffry berangkat ke Bali begitu pulang dari Bandung karena urusan pekerjaan. Dan aku rasa sakitnya Al saat ini karena dia merindukan Papanya. Aku turun dari ranjang, menimang Al yang masih menangis agar diam. Tapi usahaku tidak berhasil, Al masih saja menangis, bahkan semakin kencang hingga membuat seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku lantas membuka pintu tersebut. Ada Mbok Arum dan Resti yang sudah berdiri di depan kamar. “Mbok sama Resti kebangun ya? Maaf Mbok, Res, Al rada rewel. Badannya panas,” kataku.
“Gak Mbak, gak ganggu. Mbok malah khawatir denger den Al nangis kenceng banget jam segini. Mbok kira den Al di jailin Sukma lagi,” ujar Mbok Arum. “Sejak kapan Mbak den Al panasnya?”
“Kayaknya baru tadi Mbok. Soalnya sebelum tidur aja dia masih gak kenapa-napa,” jelasku. “Aku harus gimana ya Mbok? Al gak mau di kasih asi.” Aku bingung harus melakukan apa dalam menghadapi situasi ini. Al belum pernah sakit sejak dia dilahirkan, baru kali ini putraku demam. Apabila ada Mas Jeffry, dia pasti tahu apa yang harus dilakukan. Sial, melihat Al yang tampak kesakitan dan tidak nyaman membuatku ingin menangis juga.
“Sini den Al biar sama Mbok. Mbak Bira tolong kecilin suhu ACnya, terus baju den Al kita ganti ke yang lebih tipis. Jangan terlalu tebel gini.” Mbok Arum dan Resti membantuku menenangkan Al. Resti membalurkan minyak angin di sekitar perut Al, perlahan tangis Al mulai mereda. Mbok Arum memberikan Al kepadaku lagi. “Coba sekarang di kasih asi Mbak, obat terbaik itu asi ibu. Besok pagi biar Resti temenin Mbak berobat den Al ke rumah sakit.”
Aku mengangguk, menuruti perkataan Mbok Arum. Syukurlah, Al sudah mau diberi asi. “Jangan nangis Mbak,” ujar Resti. Aku spontan mengadahkan kepalaku.
“Ketauan ya? Hehe,” balasku. Resti dan Mbok Arum tersenyum menanggapinya. “Aku bingung ngadepin situasi kayak gini. Al gak pernah sakit sebelumnya. Dan sekarang waktu Papanya gak ada dia malah sakit.”
“Justru itu Mbak, sakitnya den Al kangen sama Papanya,” kata Mbok Arum.
“Iya Mbok, aku juga mikir gitu.” Di tengah obrolan kami, tiba-tiba terdengar suara seperti piring atau benda kaca jatuh. Sontak aku, Mbok Arum, dan Resti terkaget. Suaranya berasal dari arah dapur. Pikiranku langsung tertuju pada Sukma. Aku pernah dengar, kalau bayi sakit dia akan rentan terhadap hal-hal mistis. Kupeluk erat Al yang sudah selesai menyusu. “Mbok, itu suara apa ya?” tanyaku.
“Mbok juga gak tau non, biar Mbok liat dulu sama Resti, ayo nduk.”
“Eh aku ikut! Takut kalau ditinggal sendiri,” kataku. Aku, Al, Mbok Arum, dan Resti keluar kamar. Kami pergi ke sumber suara. Aku menghela napas lega setelah tahu bahwa suara itu bukan diciptakan oleh Sukma, melainkan Aru. Lelaki itu tengah memunguti pecahan gelas di dekat meja bar. “Ru, ngapain sih jam dua pagi mecahin gelas? Bikin takut aja,” ujarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."