87. Baikan

934 182 139
                                    

Malam! Komennya jangan lupaa!!
.
.
.

Pagi-pagi sekali aku bergerak mengemasi koper pakaianku. Hari ini aku, Mas Jeffry, dan Al akan kembali ke rumah Aru, tinggal di sana selama dua tahun ke depan sebelum rumah itu di tempati oleh Mbak Bianca nantinya. Sementara aku mengemasi barang-barang yang sempat di keluarkan, Mas Jeffry memandikan Al. Terdengar kedua tawa lelaki itu dari dalam kamar mandi. Mereka pasti sedang bercanda. “Pa, Al jangan lama-lama, nanti masuk angin!” pekikku.

“Iya Mamoy!” sahut keduanya bersamaan.

Aku menggeleng mendengarnya. Tingkah ayah anak itu tak ada bedanya. Belum selesai aku merapihkan koper, seseorang mengetuk pintu kamarku. Gegas aku membukanya, dan ternyata Mairin pelakunya. Aku menyuruh Mairin masuk. “Lo mau pulang hari ini?” tanya Mairin begitu melihat koper-koperku.

Aku mengangguk. “Rumah Aru juga udah kelar di bersihinnya.”

Mairin membulatkan mulutnya. “Kalau lo udah kelar beres-beres, turun ke bawah Ra, kita sarapan bareng.”

“Iya,” sahutku. Mairin kemudian berbalik, bersiap meninggalkan kamarku, namun aku menahan tangannya. “Lo baik-baik aja 'kan Rin?” tanyaku khawatir. Setelah pengakuan Mairin tadi malam, aku belum sempat berbicara lebih dalam dengannya. Mairin langsung meninggalkan ruang tengah seusai mengatakan maaf padaku yang menurutku tak perlu dilakukan.

Mairin tersenyum tipis. “Jauh lebih baik dari yang lo pikir. Gue ngerasa beban gue sedikit berkurang setelah ngaku ke kalian. Walau itu gak bisa menghapus rasa bersalah gue ke anak pertama gue. Tapi seenggaknya, Ayah sekarang bisa nilai mana dari kedua anaknya yang lebih baik, dan itu lo Ra.”

“Rin...” Aku memeluk Mairin erat. Air mataku menetes tanpa bisa dicegah. Kurasakan Mairin membalas pelukanku. “Gue tau lo dan Mas Andra berusaha ngubur soal ini dalam-dalam dan butuh perjuangan, tapi lo buka gitu aja di depan Ayah demi gue. Gue gak tau harus bilang gimana lagi, gue sayang sama lo Rin, sayang banget. Makasih lo udah jadi Kakak gue.”

“Gue juga sayang sama lo Ra, maaf kalau selama ini gue belum bisa jadi Kakak yang baik buat lo, maaf gara-gara gue lo jadi diasingkan sama Ayah kita sendiri.”

Aku menggeleng cepat. “Itu bukan salah lo.” Kuurai pelukan kami, bisa dilihat jelas jika Mairin juga menangis. Kuseka air mata yang membasahi pipinya menggunakan ibu jariku. “Jangan minta maaf lagi ya?”

Mairin mengangguk. Kupeluk lagi dirinya. Layaknya kakak beradik, hubunganku dan Mairin tak selalu mulus, beberapa kali kami sempat bertengkar. Tapi terlepas dari itu, aku menyayangi Mairin. Dia yang begitu perhatian padaku setelah Ibu. “Eh Rin?” Aku menjauh saat sadar ada yang tak biasa dari Mairin. Aku melihat perutnya. “Hamil lagi ya? Kok pas meluk lo kayaknya lebih berisi.”

Mairin mengusap perutnya sendiri. “Iya, udah tiga bulanan.”

Wajahku berubah sumringah. “Wah Aga bakal dapet adek.”

“Ini juga hasil demo dia sama bapaknya. Tiap hari gue dimintain adek.”

Aku terkekeh. “Al sih gak minta ya, mungkin masih kecil juga. Tapi gue pribadi mau banget punya anak cewek. Biar bisa gue ajak belanja. Kalau Al tuh anak Papa banget, potong rambut aja mesti dipangku sama si Jeffry.”

“Semoga secepatnya deh lo nyusul gue.”

“Aamiin.”

“Moy–eh Rin,” sapa Mas Jeffry ketika keluar kamar mandi bersama Al di gendongannya.

“Gue keluar dulu ya, nanti kalian langsung turun aja,” pamit Mairin.

“Kenapa Moy si Mairin?” tanya Mas Jeffry.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang