16. Omongan Orang

1.3K 243 114
                                    

SELAMAT MALAM!!!!
.
.
.

“Ra mulai sekarang kalau lo pakai nama gue, bayar seratus ribu untuk satu kali penyebutan ya.” Gladis merangkul tanganku ketika kami berjalan di lorong kampus menuju kelas. Aku tidak merespon ucapannya, karena perhatianku tertuju pada orang-orang yang berada di sekitarku. Mereka menatapku sambil berbisik dengan teman di sebelahnya, ada juga beberapa mahasiswi yang langsung bergerumun begitu aku melewati mereka. Aku kemudian melihat penampilanku sendiri, takut jika mereka membicaranku karena penampilanku yang mencolok. Tapi aku rasa tidak. Aku berpakaian seperti biasanya, mengenakan oversized t-shirt hitam dan midi skirt sebagai bawahannya. “Eh lo denger gue ngomong gak sih?” tanya Gladis.

“Dis, mereka ngeliatin gue 'kan ya? Emangnya ada yang aneh sama gue?” tanyaku tanpa mengindahkan pertanyaan Gladis sebelumnya.

Langkah kami berhenti. Gladis memperhatikanku dari ujung kepala hingga kaki. “Gak ada. Kalau makin jelek sih iya.” Aku memukul bahu Gladis. Dia memang tidak bisa diajak serius.

“Ra, kenalin gue ke om-om juga dong. Yang berduit ya, supaya bisa punya barang-barang branded kayak lo.” Liora, salah satu mahasiswi yang kukenal berujar.

“Gue juga dong Ra, asal gak di jadiin simpenan kayak lo,” timpal yang lain.

Aku mengerutkan kening. “Maksud lo ngomong gitu apa? Gue simpenan siapa?”

“Dania bilang lo jadi simpenan om-om, katanya dia sempet ketemu lo di rumah sakit. Jalan rangkul-rangkulan sama om-om berjas,” kata Liora.

“Kurang ajar Dania,” kesal Gladis. “Mana itu orang, mulutnya biar gua jejelin cabe.” Gladis hampir pergi, namun kutahan tangannya.

“Sekarang Dania mana?” tanyaku. Liora menunjuk ke arah ujung lorong. Kulihat Dania sedang duduk sambil membaca buku di sana. Aku menghampirinya. “Lo bilang apa aja sama anak-anak lain?” tanyaku tanpa basa-basi saat berdiri di hadapan Dania. Dia menutup bukunya, lalu mendongak menatapku.

“Maksud lo apa Ra?” tanya Dania. Aku mendecih. Merasa jijik dengan sikap Dania yang terlihat pendiam di luar namun sebenarnya busuk di dalam. Dia bahkan berpura-pura tidak tahu. Padahal orang lain tengah sibuk menggunjingku karena ucapannya.

“Lo yang nyebarin gosip kalau gue jadi simpenan om-om?” tanyaku lagi.

“Bukannya bener? Gue ngeliat sendiri kok.”

Aku tertawa mendengarnya. “Duh Dan, kalau lo gak tau apa-apa diem aja. Kenapa? Lo iri sama gue bisa dapet om-om kaya? Sedangkan lo gini-gini aja?”

“Ngapain iri? Harusnya lo malu jadi simpenan om-om.”

“Lo yang harusnya malu. Keluar dari ruang pemeriksaan kandungan sendirian. Ngapain lo ke sana? Lo bahkan belum nikah. Setau gue, pacar aja lo gak punya 'kan?”

“Gue udah bilang, gue nganter Kakak gue,” balas Dania.

“Sejak kapan lo punya Kakak Dan?” tanya Amora. Aku dan Dania kini menjadi pusat perhatian dari mereka yang ingin tahu mengenai perdebatan kami. “Kita dari SD bareng, kok gue baru tau lo punya Kakak? Lo bukannya anak tunggal?”

“Eh seminggu yang lalu gue pernah liat Dania muntah-muntah di kamar mandi. Lo hamil Dan?” tanya yang lain.

Wajah Dania berubah menjadi pucat pasi mendengar pertanyaan tersebut. Ada ketegangan yang kutangkap dalam matanya. Gelagatnya terlihat mencurigakan. Aku menghela napas. “Gak usah dijawab Dan, bukan urusan kita juga. Tapi gue cuma mau bilang, kalau lo gak tau yang sebenernya, gak usah koar-koar. Biar kita urus-urusan masing-masing. Maaf kalau ucapan gue sempet nyinggung lo tadi,” kataku. “Udah yang lain bisa bubar. Terserah kalian mau mikir apa tentang gue.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang