76. Al Kangen Abang

1K 196 49
                                    

HEIII PASTI UDAH NUNGGUIN?!

Jangan lupa, Aru udah gak ada🥺

Dan chapter ini sebagai selingan rekaman Aru,
.
.
.

“Stop,” ujar Mas Jeffry, membuat Mas Maga langsung menghentikan rekaman suara yang sedang kami dengarkan bersama di ruang tamu. Mas Jeffry bangun dari duduknya, segera kupegang lengannya agar Mas Jeffry tidak jatuh karena dia kelihatan lemas sekali. “Cukup untuk hari ini, gue gak kuat buat denger rekaman selanjutnya.”

Mbak Bianca mengangguk setuju. “Aku juga gak kuat,” timpalnya. Mbak Bianca menundukkan wajahnya, setetes air mata lolos dari pelupuk matanya. Hatiku remuk kehilangan Aru, tapi Mbak Bianca pasti lebih hancur. Apalagi Aru dan Mbak Bianca baru berbaikan setelah bertahun-tahun lamanya hubungan mereka merenggang. Mbak Bianca tiba-tiba saja tidak sadarkan diri, membuat kami semua kaget. Walau matanya terpejam, air mata Mbak Bianca terus turun. Melihatnya aku kembali meneteskan air mata. Kehilangan Aru untuk selama-lamanya adalah hal paling menyakitkan yang kami rasakan.

Ru liat...betapa besarnya keinginan kami agar lo kembali.

Kita nunggu lo pulang.

“Maga, kamu bawa Bianca ke kamar tamu. Istirahatkan dia di sana,” ujar mertuaku. Mas Maga lantas membawa Mbak Bianca ke kamar tamu. “Jeff, Bira, kalian berdua juga istirahat. Kalau hati kita semua sudah siap, kita bisa dengarkan rekaman ini lagi.”

“Aku yang simpen rekamannya boleh Yah?” tanyaku. Ayah mertua mengangguk. Dia menyerahkan ponsel Aru padaku. Aku lalu melihat ke arah Gladis yang sedang terdiam di sofa tunggal, tatapan matanya kosong. Dalam posisi seperti ini aku bingung. Bingung harus menguatkan siapa lebih dulu, suamiku, sahabatku, atau aku sendiri yang juga tak kalah terpukul. “Mas, kita ke kamar ya.” Aku memutuskan untuk membawa Mas Jeffry lebih dulu ke kamar agar dia beristirahat, kemudian aku kembali ke ruang tamu dan berjongkok di hadapan Gladis.

“Dis.” Kuraih kedua tangan Gladis dan menggenggamnya.

Perlahan matanya menatapku. “Ra...” lirihnya lalu memelukku erat. Gladis menangis dipelukanku, tangisnya terdengar sangat menyakitkan, membuatku lagi-lagi ikut menangis. “Gue gak ikhlas,” katanya.

“Sabar Dis...” ucapku.

“Gue dan Aru baru memulainya, tapi kenapa dia pergi? Kenapa ini semua harus menimpa Aru dan gue?”

Aku mengusap punggung Gladis yang bergetar. “Gue tau Dis gimana sakitnya ditinggal pas kita lagi sayang-sayangnya, gak ada yang bisa nandingin rasa sakit itu. Tapi kalau lo begini, kasian Aru juga. Lo yang menyadarkan dia betapa berharganya arti hidup, dan gue yakin, kalau dia ada di sini, Aru pasti bakal ngebalikin kata-kata lo, dia bakal nyuruh lo buat segera bangkit. Kita belajar sama-sama ikhlasin Aru ya Dis?”

“Berat Ra, berat.”

Aku mengangguk paham. Kuurai pelukan itu dan menyeka air mata Gladis menggunakan ibu jariku. “Bener, mengikhlaskan kepergian seseorang itu berat banget. Gue juga gak yakin kalau gue bisa ngelepasin Aru gitu aja. Tapi kalau ada lo, ada Mas Jeffry, dan kita sama-sama mau belajar mengikhlaskan Aru, gue yakin kita bisa.”

“Dis.” Ibu datang menghampiri kami berdua. “Papa kamu barusan nelepon Tante, dia ngirim supir ke sini buat jemput kamu karena khawatir kamu gak kuat bawa mobil sendiri. Sekarang supirnya udah di depan.”

Aku kembali melihat Gladis. “Lo tau gimana Aru, dia gak bakal suka orang-orang terdekatnya sedih atau menderita gara-gara dia. Hari ini kita boleh nangis, tapi besok kita usahain untuk gak ngebiarin air mata ini jatuh lagi ya Dis?”

Gladis hanya diam. Dia masih kalut.

“Dis, ayo Tante anter ke depan.” Ibu membopong tubuh Gladis, mengantarnya keluar rumah. Aku menghela napas berat, lalu menghembuskannya. Benar-benar hari yang menyakitkan bagiku dan orang-orang terdekat Aru. Aku naik ke lantai atas setelah kepergian Gladis, meninggalkan teman-teman dan kerabat yang masih berada di rumah Aru. Sampai di kamar, aku menemukan Mas Jeffry sedang memangku Al di atas ranjang. Aku baru melihat Al lagi setelah satu hari ini dia bersama Resti karena aku tak beranjak sedikitpun dari samping Mas Jeffry. Aku mengambil tempat di samping Mas Jeffry, berniat memindahkan Al ke pangkuanku. Tapi Mas Jeffry menahannya.

“Mas...”

“Jangan, aku mau peluk orang yang pertama kali di kangenin Aru waktu kita pergi.” Mas Jeffry mengusap kepala Al. “Dek, Abang bilang dia sempet benci kamu karena kamu hadir di saat yang gak tepat. Tapi apa kamu tau? Abang yang paling sayang dan perhatian sama kamu. Dia yang urus kamu bahkan dari sebelum kamu lahir. Abangmu jauh lebih baik berkali-kali lipat dari Papa, tapi kenapa harus Abang yang pergi duluan?”

Aku memalingkan wajah dari Mas Jeffry, kuhapus air mata yang membasahi pipiku. Entah sudah sebengkak apa wajahku karena terlalu banyak menangis hari ini. Al dan Aru begitu dekat. Aru tak pernah absen dalam membantuku mengurus Al. Tak jarang lelaki itu juga membelikan mainan untuk Al, padahal Al belum bisa memainkannya. Dan yang paling membuatku sedih adalah, saat ingat jika nama Al dibuat langsung oleh Aru. Ragnala Hesyam Baruna. Ragnala yang berartikan kasih sayang, Hesyam matahari, dan Baruna penguasa lautan. Aku masih ingat dengen jelas ucapan Aru di hari dia memberikan nama tersebut untuk adiknya, dia sengaja memberikan nama Hesyam agar bisa berpasangan dengan namanya Arundaya yang memiliki arti sama, matahari.

Dan nama Al adalah kenang-kenangan terindah yang Aru berikan, bukan hanya untukku, tapi Al juga.

“Katanya Abang kangen kamu Al, Abang pengen denger ketawa kamu lagi, Abang penasaran sama perkembangan kamu. Sayangnya Abang gak bisa denger atau liat semua itu lagi. Andai Abang tau kalau kamu udah bisa tengkurep, ngoceh, bahkan duduk sendiri.” Mas Jeffry tersenyum di sela tangisnya. “Pasti Abang bakal heboh banget, terus pamer ke orang-orang kalau adeknya udah pinter.”

“Al, maafin Abang yang gak bisa nepatin janjinya yang bakal servisin gratis motor kamu. Maafin Abang harus ninggalin Al sendiri...” Al bergerak gelisah mendengar ucapan terakhir Mas Jeffry, lama-kelamaan bayi itu mulai menangis. Bahkan Al pun tahu betapa menyakitkannya kepergian Aru. Kuambil alih Al dari pangkuan Mas Jeffry karena suamiku juga ikut menangis.

“Mas, sabar ya,” ucapku. Lantas kubawa Mas Jeffry ke dalam pelukanku.

“Lebih baik aku yang mati Ra daripada anakku sendiri,” kata Mas Jeffry. Aku tak bisa berkata-kata lebih banyak, aku sama kalutnya dengan Mas Jeffry atas kepergian Aru. Di samping itu tangis Al semakin kencang. Di telingaku, suara tangis Al terdengar berbeda dari biasanya. Kali ini lebih melengking dan seperti kesakitan. Kuturunkan sedikit bajuku, berharap Al tenang jika diberi asi. Nyatanya Al memalingkan wajahnya dari dadaku.

“Al, tenang sayang,” kataku. “Tenang ya nak, Abang udah gak sakit lagi. Abang udah dapet tempat yang lebih indah di atas sana. Al ikhlasin Abang, kita berdoa sama-sama supaya suatu hari nanti kita bisa ketemu Abang lagi,” bisikku. Dan perlahan, tangis Al mereda.

Ru, Al kangen lo. Begitu juga gue.








JANGAN LUPA KOMENNYA!

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang