Pagi epribadih! Siapa yang nungguin keluarga Baruna?!
.
.
.Mas Jeffry memasukkan koper-koper yang berisi baju Al, bajuku, dan bajunya, juga beberapa barang lain yang menurut kami penting ke dalam bagasi mobil. Malam ini setelah kejadian yang tidak pernah kusangka-sangka yaitu Aru mengatakan hal jujur soal perasaannya kepadaku yang belum berhasil dia lupakan, Mas Jeffry memutuskan untuk membawaku dan Al ke rumahnya yang berada di Jakarta Selatan untuk tinggal di sana sampai Mas Jeffry selesai mengurus surat-surat perpindahan kami ke Milan nanti, rencananya begitu. Tapi aku belum sepakat, aku merasa Mas Jeffry terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan sebesar itu. Apalagi jika harus meninggalkan Aru sendiri dalam kondisinya yang sedang sakit. Terlepas dari perasaan Aru kepadaku, aku merasa bertanggung jawab sebagai ibu untuk mengurusnya. Aku tidak bisa meninggalkan Aru.
“Sayang, ayo.” Mas Jeffry membukakan pintu mobil untukku. Aku masih bergeming, tatapanku kini tertuju pada lelaki yang sedang berdiri di balkon dan menatapku dengan sendu. Teringat jelas bagaimana Aru yang mengamuk tadi, dia melemparkan barang-barang yang berada di dekatnya dan hampir melukai Al. Tapi aku tahu, Aru melakukannya tanpa sengaja. Dia menyayangi Al, tidak mungkin dia tega untuk melukai adiknya sendiri. “Bira?”
Aku melihat Mas Jeffry. “Mas apa gak bisa kita tinggal di sini? Aru butuh kita.” Aku menunjuk ke arah balkon, namun Aru sudah tidak di sana, dia pasti masuk ke kamarnya.
“Kita gak ninggalin Aru, aku gak mungkin ninggalin anak aku. Kita cuma pindah sementara, atau kamu bisa anggap liburan. Kita pasti bakal kembali ke sini, tapi nanti. Sekarang kamu masuk dulu aja ya, kasian Al sama Resti juga.” Aku menghela napas panjang kemudian masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan menuju rumah Mas Jeffry, aku tidak bersuara sama sekali. Aku hanya memandangi jalanan melalui jendela di kiriku sambil memikirkan banyak hal. Aku merasa masalahku terlalu berat untuk kuhadapi sendiri. “Res, kamu langsung bawa Al ke kamar saya ya. Kamarnya ada di lantai dua, paling pojok. Saya mau nurunin barang-barang dulu,” ujar Mas Jeffry begitu sampai.
“Baik Pak.” Resti membawa Al masuk ke rumah. Sementara aku dan Mas Jeffry menurunkan barang-barang.
“Gak apa-apa Ra, aku aja,” kata Mas Jeffry sambil menahan tanganku yang akan menurunkan koper. Dia membelai rambutku. “Kamu masuk aja ya, tunggu aku di sofa.”
Tanpa membantah, aku lantas masuk ke dalam, menunggu Mas Jeffry memasukkan barang-barang. Dua puluh menit kemudian, Mas Jeffry datang menghampiriku seraya membawa dua cangkir teh dan meletakannya di hadapanku. “Aku beli tehnya di Bali sebelum pulang. Cobain deh.” Mas Jeffry mengambil tempat di sampingku.
“Mau cola aja ada gak?” tanyaku.
“Gak boleh kebanyakan minum itu. Cobain dulu teh buatan aku, teh bisa merilekskan tubuh tau.” Mas Jeffry menyodorkan cangkir tehnya padaku. Mau tidak mau aku meminumnya. “Enak?”
“Pait,” sahutku. “Gak pake gula ya Mas?”
Mas Jeffry meletakkan kedua telapak tangannya di wajahnya. “Liat aku 'kan manis.”
Aku mendecih. “Ngarang.”
Mas Jeffry terkekeh. Hening kembali melanda setelahnya. Sampai tiba-tiba Mas Jeffry menarikku ke dalam pelukannya. Dia menepuk-nepuk pelan bahuku. “Pasti berat ya?” tanya Mas Jeffry. Pertanyaannya mungkin singkat dan sederhana, tapi dampaknya begitu besar untukku. Air mataku menetes hanya karena mendengar pertanyaan tersebut. “Gak apa-apa, nangis aja. Cuma aku yang denger.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."