21. Duda Bocil

1.5K 247 117
                                    

DOUBLE UPDATE!!!!!!!

Asem gercep kaaannn? Karena kaliannya juga gercep hehehe
.
.
.

“L-lo mau masuk dulu?” tanyaku pada Aru seraya menutupi bagian dadaku. Aku benar-benar kaget mendapati kedatangan Aru malam ini. Apalagi dengan penampilanku yang kurang enak dipandang seperti ini olehnya. Aru laki-laki dewasa, dia pasti paham apa yang baru kulakukan dengan Mas Jeffry malam-malam begini. Dan itu membuatku semakin merasa tidak enak padanya.

“Gak. Gue males ketemu Papa,” tolaknya.

“Tapi gue perlu ngomong sama lo,” kataku.

“Kalau gitu diluar aja. Lo benerin dulu tuh kancing bajunya.” Aku langsung membelakangi Aru, membetulkan kancing piamaku yang semula tidak terkancing dengan benar. Kira-kira Aru melihatnya tidak ya? Semoga saja tidak. Setelah merapihkan pakaianku, aku mengajak Aru duduk di gazebo yang berada dekat dengan pintu gerbang. Selama beberapa menit kami hanya diam, tatapan Aru menatap lurus ke depan, sedang aku memperhatikan wajahnya. Aru kelihatan baik-baik saja untuk orang yang diusir dari rumah, wajahnya tidak sepucat seminggu yang lalu. Tapi aku baru menyadari sesuatu, jika terdapat bekas luka di dagu Aru. Luka yang sepertinya dia dapatkan sudah lama.

“Kok gue baru sadar lo punya bekas luka di dagu?” tanyaku.

“Oh ini.” Aru menyentuh dagunya sendiri. “Papa gak cerita emang kalau dulu dia sering ribut sama Mama?” tanya Aru.

“Cerita.”

“Ya ini hasilnya. Waktu umur gue lima tahun, Papa sama Mama pernah ribut besar. Mama teriak-teriak kayak orang gila dan Papa lempar-lempar barang. Dan salah satu yang dia lempar itu vas bunga.”

“Maksudnya dagu lo begini karena kena pecahan vas bunga?” tanyaku.

Aru mengangguk. “Begitulah. Dagu gue jadi cacat hehe,” cengirnya.

“Ru,” panggilku.

Aru melihatku. “Jangan natap gue pakai tatapan kasian kayak gitu Bir. Gue gak apa-apa,” katanya.

“Lo selama seminggu ini tinggal di mana?”

“Khawatir sama gue?” Aru bertanya balik.

“Ya jelas gue khawatir. Lo tuh pergi gak dalam keadaan baik.”

Aru tersenyum simpul. Dia kembali melihat ke depan, menghindari tatapanku. “Jangan khawatir gitu Ra, bukannya move on, gue malah makin punya rasa sama lo.”

Aku berdecak. “Gue serius! Lo tau gak? Tiap malem gue mikirin lo, ngerasa bersalah sama lo. Gara-gara gue, lo jadi diusir bokap lo. Maafin gue.”

“Ngerasa bersalah tapi masih bisa tidur sama Papa?” tanyanya. Aku terdiam. Aru terkekeh pelan. “Bercanda gue Bir. Hak lo juga kok mau ngapain aja sama Papa. Tapi apa lo gak takut?”

“Takut apa?” tanyaku bingung.

“Kalau Papa cuma manfaatin lo doang?”

Aku menggeleng. “Gak, Mas Jeffry bukan orang yang begitu,” balasku yakin.

“Baguslah kalau lo percaya. Kalau gitu gue pamit ya? Nanti kalau Om Vino udah pulang, tolong kabarin gue. Gue mau ngomongin soal perjodohan kita sama Om Vino.” Aru berdiri, bersiap untuk pergi. Tapi aku menahan tangannya dengan cepat.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang