96. Bonus 2

1K 168 129
                                    

Siangg! Asem kasih lagi nih
.
.
.

“Huaaaaaa...”

“Aya, adeknya kamu apain?!” Dari dalam kamarnya, Bira bertanya pada putri keduanya, Ayara Kaureen Baruna saat mendengar tangis si bungsu, Gentala Khandra Baruna. Sebelum masuk kamar tadi, Bira menitipkan Genta, bayi laki-laki yang usianya baru menginjak sembilan bulan pada Aya agar ditemani bermain selagi dirinya bersiap-siap sebelum berangkat ke acara pemakaman salah satu rekan kerja Jeffry. Namun belum sampai sepuluh menit ditinggal, tangis Genta sudah terdengar. Bira agak was-was sebetulnya menitipkan Genta pada Aya, karena putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas lima itu sangat usil, tidak bisa diam, dan sering sekali membuat Genta menangis. Jangankan Genta, Al saja yang sekarang sudah kelas dua SMA, selalu dikalahkan oleh keusilan Aya.

Mendengar pertanyaan Bira, Aya segera menggendong Genta, membawa adiknya masuk ke dalam kamar kakak tertua mereka. Dilihat Aya, Al sedang berbaring di kasurnya sambil mengutak-atik sebuah kamera.

 Dilihat Aya, Al sedang berbaring di kasurnya sambil mengutak-atik sebuah kamera

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Eh mau ngapain lo?” tanya Al kaget melihat kehadiran kedua adiknya. Tanpa menjawab pertanyaan Al, Aya meletakkan Genta yang masih menangis di atas perut Al, lalu keluar kamar setelahnya. “Ih Aya kok di kasih ke gue?!” Jelas teriakkan Al tidak diperdulikan oleh Aya, gadis itu sudah kabur entah ke mana, menghindari bom mulut yang sebentar lagi akan meledak. “Ta jangan nangis, kita keluar yuk.” Al menimang Genta, mengajaknya keluar kamar agar tangisnya mereda. Tapi Genta masih saja menangis keras yang mengundang kehadiran Bira.

“Jadi kamu yang nangisin Genta Kak? Kenapa ditangisin sih adeknya? Mamoy lagi siap-siap, bentar lagi Papa kamu jemput,” cerocos Bira.

“Dih bukan aku Moy, Aya yang nangisin,” sangkal Al.

“Hah kok aku sih? Tadi 'kan aku titipin Genta ke Kak Al karena mau buat sereal.” Aya tiba-tiba menimpali, dia menunjukkan mangkuk penuh sereal yang dibawanya. “Waktu sama aku Genta gak nangis kok Moy, tanya aja sama Gentanya langsung. Ya 'kan bayi manis?” tanya Aya pada adiknya. Padahal dia tahu Genta tidak akan bisa menjawab.

“Bohong Moy, sumpah aku dari tadi di kamar lagi—”

“Lagi teleponan sama Kak Ami terus Gentanya di kacangin ya?” sela Aya sambil memandangi usil Kakaknya, alisnya dia turun naikkan, membuat Al kesal sendiri melihatnya.

“Heh bocil, diem deh lo!” kesal Al.

“Ett gak boleh pake lo gue kata Papa, awas kamu Kak, aku laporin nanti biar bayar denda hehe,” kata Aya semakin gencar mengusili Al.

Bira menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. “Ayo sini Genta sama Mamoy, kita mimi ya nak.” Belum sempat Bira mengambil alih Genta untuk diberi asi, suara klakson mobil dari depan terdengar. Jeffry sudah sampai, siap menjemput istrinya agar ikut bersamanya ke pemakaman. Bira menarik kembali tangannya, tak jadi mengambil Genta. “Al, tolong kasih Genta asi yang udah Mamoy pindahin ke botol. Mamoy mau pergi sekarang, gak enak kalau buat Papa nunggu.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang