83. Mamoy Sakit

1K 173 79
                                    

Sore!!!!
.
.
.

(JEFFRY POV)

Aku membuka mataku perlahan, kemudian meregangkan otot-ototku, hal yang biasa kulakukan setiap bangun tidur. Kulihat ke samping kanan tempat Bira berada. Sedikit heran menemukannya masih berada di ranjang, karena biasanya begitu aku bangun, Bira sudah tidak ada di sisiku dan berada di dapur, menyiapkan sarapan. Lantas kupeluk Bira yang tertidur memunggungiku, lalu kusimpan kepalaku di ceruk lehernya. Tapi detik selanjutnya, aku kembali menjauh ketika merasakan ada hal janggal. “Yang, badan kamu panas.” Aku menaruh punggung tanganku di kening Bira, dan benar suhu tubuhnya tidak normal.

Bira berbalik menghadapku, terlihat jelas jika wajahnya pucat. “Pusing Mas,” keluhnya.

“Tenggorokannya sakit gak?” tanyaku.

“Sedikit. Kayaknya radang deh.”

Aku menyibak selimut. “Tunggu ya, aku ke bawah dulu.” Aku pergi ke dapur, membuatkan Bira bubur instan dan menyiapkan obat demam. Dua puluh menit kemudian aku kembali ke kamar, dan menemukan Bira sedang mengambil Al yang sepertinya baru bangun dari baby cribnya. Aku bergegas menaruh nampan yang kubawa di meja rias, lalu mengambil alih Al. “Kamu gak usah gendong-gendong Al dulu. Istirahat aja, itu udah aku buatin bubur juga.”

“Ngerepotin banget sih Mas, kamu siap-siap kerja aja. Aku gak apa-apa, cuma demam doang.”

Aku menggeleng. “Gak, kamu sakit. Aku gak kerja dulu deh hari ini, mau jagain kamu.”

“Oy nyen,” pinta Al, ingin menyusu pada Bira.

“Nen botol ya?” bujukku. “Mamoy mau sarapan dulu.”

Al menggeleng seolah paham. “Oy au nyen!” katanya, kemudian mulai menangis. Al memang sangat dekat denganku dibanding Bira, pakai baju saja dia hanya mau aku yang memakaikannya. Tapi jika urusan susu, Al menjadi penggemar Bira nomor satu. Dia kurang menyukai susu formula. Bahkan asi Bira yang sudah dimasukkan ke botol saja dia tak mau. Al mirip sepertiku, lebih menyukai minum susu dari sumbernya. “Nyen nyen!”

“Yaudah nen sama Mamoy, nanti Mamoynya biar Papa suapin. Nih Moy, susuin dulu biar gak rewel.” Kuberikan Al pada Bira lagi. Begitu mendapat makanan favoritnya, Al langsung diam, menikmati setiap tetesnya. Aku menggeleng melihat kelakukan putraku. “Mirip Papanya banget sih, doyan susu,” kataku seraya duduk di samping Bira yang menyusui Al di ranjang.

Bira tersenyum dengan bibir pucatnya. “Buah jatuh gak jauh dari pohonnya, kecuali kalau ditendang,” katanya.

Aku terkekeh. “Sambil nyusuin adek, aku suapin ya?” tawarku.

“Males makan,” sahutnya.

“Moy jangan gitu, kalau makin sakit gimana?”

“Mulut aku kerasa pait Mas, perut juga rada mual.”

“Hamil kali,” celetukku.

Bira melotot. “Kalau ngomong jangan sembarangan.”

Aku tersenyum usil. “Hayolo hamil,” kataku lagi, bermaksud menakut-nakuti Bira, karena dia belum mau mengandung lagi dalam waktu dekat ini. Bira bilang dia mau fokus pada pendidikannya dan Al lebih dulu. Jadi kami berdua sepakat akan menunda momongan sampai tiga atau empat tahun ke depan. Tapi aku sendiri tak masalah semisal Bira kebobolan seperti Al dulu.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang