13. Mau Liat Bira Kecil

1.7K 264 113
                                    

SELAMAT MALAAAM!!!

JANGAN LUPA KOMENNYA!!!
.
.
.

“Ganti baju dulu, baru kita turun ya.” Mas Jeffry memberikanku hoodie hitam miliknya yang berada di mobil agar aku bisa mengganti dressku yang kotor dengan pakaian bersih sebelum masuk ke dalam rumah sakit. Aku melepaskan dressku begitu saja di depan Mas Jeffry, menggantinya dengan pakaian bersih. Mas Jeffry tiba-tiba terkekeh. “Udah gak ada takutnya ya kamu buka-bukaan di depan aku,” katanya.

“Yang aku takutin sekarang kalau bibit kamu beneran tumbuh di rahim aku,” sahutku seraya melemparkan dressku ke belakang mobil. Aku dan Mas Jeffry turun, menunggu antrian di kursi tunggu yang sudah di sediakan sampai namaku dipanggil. Selagi menunggu, aku melingkarkan tanganku dan menyandarkan kepalaku di lengan Mas Jeffry. Kepalaku pusing, rasa mual yang kurasakan tak kunjung hilang, belum lagi hatiku gelisah. Takut jika ucapan Mas Jeffry benar-benar menjadi kenyataan. Semoga saja tidak dan hanya dugaan semata. “Aku mau muntah lagi deh Mas kayaknya. Pusing juga,” keluhku.

“Yaudah ayo ke kamar mandi,” ajak Mas Jeffry.

Aku menggeleng. “Gak, masih bisa aku tahan.”

Mas Jeffry mengusap kepalaku. Dia mengecupnya. “Kasian banget bocilnya aku lagi sakit,” katanya. “Tapi aku juga gemes liat kamu pakai baju aku gini. Tangannya jadi ilang.” Aku melihat diriku sendiri, hoodie Mas Jeffry memang kebesaran di tubuhku. Bahkan jari-jari tanganku sampai tidak kelihatan karena tenggelam dalam hoodie hitam miliknya.

“Mas,” panggilku. Aku mendongak, agar bisa melihat wajahnya.

“Kenapa?”

“Kalau aku beneran hamil, jangan tinggalin aku ya.”

Mas Jeffry tersenyum. “Enggak, ngapain juga aku tinggalin? Aku ajak kamu ke pelaminanlah.”

Tak berselang lama, namaku dipanggil. Aku masuk ke dalam ruang pemeriksaan dengan di temani Mas Jeffry. Kami menjelaskan gejala yang aku alami pada dokter yang memeriksaku. “Dari kemarin saya kehilangan nafsu makan, terus muntah-muntah dok,” jelasku.

“Pusingnya ada?” tanya dokter.

“Ada. Dan dia udah telat datang bulan hampir seminggu ini,” sahut Mas Jeffry.

Dokter itu mengangguk paham. “Ayo Mbak naik ke brankarnya, biar saya periksa dulu.” Aku menurut dan berbaring di brankar. Dokter menyingkap pakaianku. Sedang tanganku berpegangan pada lengan Mas Jeffry sebagai penyalur rasa gugup. Kuperhatikan setiap gerak-gerik yang dokter itu lakukan, dia sempat mengangguk beberapa kali seolah sudah menemukan apa penyebab diriku yang muntah-muntah. “Makanan terakhir yang di makan apa?” tanya dokter.

“Tadi makan buah anggur, minum kopi, sama goreng-gorengan gitu,” kataku.

Dokter itu tersenyum. “Ini asam lambungnya naik. Nanti biar saya resepin obat penghilang mualnya ya,” ujar si dokter.

“Jadi saya gak hamil 'kan dok?” tanyaku.

“Enggak. Gejala yang Mbak alami diakibatkan penyakit, bukan hamil.”

Aku tersenyum. Doaku terkabul. Kulihat Mas Jeffry, lelaki itu terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. “Seneng ya gak jadi hamil?” tanya Mas Jeffry.

Aku mengangguk cepat. “Seneng dong! Berarti pemberian Gladis bukan kaleng-kaleng.”

Selesai pemeriksaan, Mas Jeffry pergi ke bagian administrasi untuk mengurus masalah pembayaran. Aku menunggunya di depan ruang pemeriksaan kandungan yang kebetulan dekat dengan pintu keluar. Dua puluh menit kemudian Mas Jeffry datang menghampiriku. “Ini obatnya jangan lupa di minum. Peraturan pakainya udah tertera di sana,” kata Mas Jeffry. “Harus libur makan pedes dulu ya sayang.”

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang