58. Gantengan Abang

1.2K 222 159
                                    

SIANG!!!
.
.
.

Tiga hari pasca kelahiran Al, akhirnya baru hari ini aku bisa melihat anakku dari dekat dan secara langsung tanpa terhalang tembok kaca. Al berada di dekapanku sekarang, mata kecilnya mengerjap-ngerjap, berusaha melihat hal di depannya. Air mataku menetes. Beberapa menit yang lalu, aku baru menerima hasil tes kesehatan Al. Syukurlah kondisinya sehat, Al tak mengalami komplikasi apapun. Dokter anak yang menangani Al pun mengatakan jika putraku tidak perlu berlama-lama di dalam inkubator karena Al lahir mendekati usia cukup bulan. Selain itu dokter juga memberitahuku, bahwa sentuhan ibu adalah inkubator alami untuk bayi, karena Al bisa merasakan langsung detak jantungku yang sudah dikenalnya sejak dalam kandungan. “Anak Papa udah sehat ya? Lucunya.” Mas Jeffry gemas sendiri pada Al. Dia menyentuh pipi putra kami dengan sangat hati-hati, tak ingin membuat Al merasa terganggu apalagi menangis.

“Mirip Aru 'kan Mas,” kataku yang melihat kemiripan antara Aru dan Al.

Mas Jeffry mengangguk, tak bisa mengelaknya. “Mirip, 'kan hasil produk aku. Cuma beda sarang aja,” sahutnya yang langsung mendapat sikutan pelan dariku. Mas Jeffry terkekeh sebagai respon. “Eh nih Aru ngajak vidio call.” Mas Jeffry meraih ponselnya yang dia letakkan di meja ketika benda pipih itu berdering, menunjukkan kepadaku kalau ada panggilan vidio dari Aru.

“Angkat aja. Dia juga 'kan belum sempet liat muka adek.”

“Oke.” Mas Jeffry menerima panggilan masuk tersebut. “Bro, jagoan kedua Papa udah lahir nih,” ujar Mas Jeffry begitu sambungan teleponnya terhubung. Dia mengarahkan kameranya padaku dan Al.

“Halo Abang,” ucapku seolah-olah mewakili Al.

Anjir bayi yang sering jadi tumbal emaknya akhirnya lahir juga. Woy Al, liat Abang sini!” pekik Aru.

“Mana paham dia Ru,” sahutku.

Paham lah, gue yang tujuh bulan bantu lo ngurus dia.

“Bahasanya tolong dijaga,” celetuk Mas Jeffry. Di seberang sana Aru menunjukkan cengirannya. “Kamu masih di rumah Mama 'kan Bang?” tanya Mas Jeffry.

Masih Pa, tadinya aku mau pulang hari ini. Aku ngerasa udah gak lemes lagi, tapi Mama larang,” cerita Aru.

“Baguslah, kamu jangan pulang dulu. Di rumah gak ada siapa-siapa, cuma Mbok Arum. Takutnya kalau kamu tiba-tiba drop, gak ada yang bisa nolong,” kataku.

Edan habis lahiran jiwa ibu-ibunya makin jadi ye,” balas Aru.

“Emang iya ya?” tanyaku tak percaya.

“Bagus sayang, pertahankan,” sahut Mas Jeffry seraya membelai rambutku. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada Aru. “Mama sama Mamoy bener Ru, jangan pulang dulu. Papa juga masih di rumah sakit ini, Mamoy baru boleh pulang besok setelah ganti perban pertama. Nanti kalau Papa udah pulang, Papa kabarin. Eum ngomong-ngomong Mama kamu ada?” Aku reflek melihat Mas Jeffry saat dia tiba-tiba menanyakan kehadiran Mbak Bianca. Bukan cemburu, tapi lebih ke heran saja. Tidak biasanya Mas Jeffry menanyakan Mbak Bianca.

Ada, lagi siapin makan siang.

“Papa mau ngomong sama Mama kamu,” kata Mas Jeffry.

Tunggu bentar, aku samperin Mama dulu.” Dari layar ponsel Mas Jeffry, kulihat Aru menghampiri Mbak Bianca yang sepertinya sedang sibuk memasak di dapur. “Papa mau ngomong.” Aru memberitahu Mbak Bianca.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang