35. Ibu Apa Mamoy?

1.6K 271 149
                                    

Maunya update mulu, tapi komen jarang. Semoga ga ada yang begitu ya di sini
.
.
.


Selagi Mas Jeffry potong rambut, aku memilih menghabiskan waktuku sendiri dengan berjalan-jalan di sekitar mal. Memasuki beberapa toko perlengkapan bayi dan sekedar melihat-lihat. Aku belum punya cukup uang untuk membeli perlengkapan bayi sekarang, kalaupun uangnya sudah ada, aku akan membelinya di pasar karena harganya yang sedikit miring. Kuusap perut besarku saat melihat sepasang baju bayi berwarna biru lengkap dengan topinya, tergantung lucu di salah satu toko. Membayangkan calon anakku mengenakan pakaian itu, pasti sangat menggemaskan. Ah, aku semakin tidak sabar saja menanti kelahirannya dua bulan lagi.

“Boleh Bu, ada yang bisa saya bantu?” Seorang pelayan toko menghampiriku. Aku tersenyum seraya menggeleng pelan kemudian meninggalkan toko perlengkapan bayi itu. Aku melanjutkan keliling mal. Sudah lama aku tidak memiliki waktu berpergian seperti ini. Selama tujuh bulan ini, aku hanya sibuk bulak-balik rumah dan kafe. Jika tidak ada kegiatan checkup kandungan dan atas paksaan Mas Jeffry, aku mungkin tidak akan bisa sedikit bersantai seperti sekarang. Walau aku masih kesal terhadap Mas Jeffry, aku berterima kasih padanya karena telah memaksaku datang kemari.

Aku meringis merasakan pegal yang mulai menjalar dari kaki hingga ke pinggangku. Tidak terasa, tapi hampir satu jam aku berkeliling mal. Mulai dari lantai satu hingga lantai paling atas sudah kudatangi. Aku juga sedikit haus. Ingin membeli minum, tapi sialnya dompetku tertinggal di mobil Mas Jeffry. Jadi yang kulakukan hanyalah duduk di bangku yang tersedia di sana dan mengistirahatkan diri sebentar. “Haus ya Bu?” Aku mendongak, melihat Mas Jeffry sudah berdiri di hadapanku sambil menyodorkan minuman dingin ke depan wajahku. Dia lalu duduk di sampingku. “Nih minum. Nanti kalau pingsan berabe, aku gak bakal kuat gotong kamu sendirian ke mobil.”

Aku merotasikan bola mata malas. Kuambil minuman itu dari tangannya dan menyedotnya hingga tandas. “Nih, makasih,” ucapku sambil mengembalikan gelas minuman yang sudah kosong. Mas Jeffry terkekeh, tapi dia tetap menerimanya. Setelah kulihat-lihat, Mas Jeffry kelihatan jauh lebih baik dengan potongan rambut barunya. Dia kelihatan lebih muda, kembali seperti Mas Jeffry yang pertama kali aku jumpai di acara makan malam keluarga. Tidak seperti Mas Jeffry kemarin yang kelihatan kumal, tua, dan tidak terurus. Memang benar ternyata, potongan rambut sangat mempengaruhi penampilan. Tunggu, kenapa aku jadi memikirkan penampilan Mas Jeffry? Menyebalkan. “Udah selesai 'kan? Pulang sekarang, aku laper, capek, mau istirahat,” kataku.

“Laper? Kalau gitu kita makan dulu aja ya. Baru pulang,” ajak Mas Jeffry.

Aku menggeleng. “Gak, aku gak punya banyak uang buat makan di mal sekarang. Aku bukan Bira yang dulu.”

“Ada aku. Kamu gak perlu mikirin soal uang-uang lagi.”

“Aku siapa kamu emang?” tanyaku.

“Ra, dari kemarin kamu selalu ngomong kayak gini. Seolah jaga jarak sama aku. Kamu calon istri aku, ibu dari anak-anak aku, kamu tanggung jawab aku.”

“Iya aku emang jaga jarak sama kamu. Kenapa? Gak boleh? Aku gak mau lagi jatuh di lubang yang sama. Cukup tujuh bulan ini aku tersiksa gara-gara kamu.”

“Maafin aku. Tapi aku sama sekali gak berniat untuk ninggalin kamu tujuh bulan yang lalu. Aku masih mencintai kamu, dari dulu sampai detik ini.”

“Cinta cinta, basi tau gak Mas? Aku gak percaya lagi sama yang namanya cinta. Kalaupun kamu mau aku mengerti alesan kamu pergi, cerita. Gak usah ditutup-tutupin gini.”

Mas Jeffry menghela napasnya. “Gak sekarang ya?” Lagi-lagi aku mendecih. Heran dengan sikap Mas Jeffry. Dia ingin menikahiku, bertanggung jawab atas diriku dan anak kami, tapi di sisi lain dia mencoba menyembunyikan sesuatu dariku. Aku bangun dari posisiku, lalu berjalan mendahului Mas Jeffry. Jika aku tetap di sampingnya, aku yakin adu mulut di antara kami berdua tidak bisa dihindari lagi. Saat aku sampai di parkiran mobil, Mas Jeffry belum tampak kehadirannya. Padahal aku ingin segera pulang, perutku terasa tidak enak.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang