Eh ini kalau partnya banyak pada bosen gaak?
.
.
.“Jangan lesu gitu dong, semangat!” kataku seraya menepuk-nepuk bahu Aru menyemangatinya. Dia dan Mas Jeffry akan pergi ke rumah sakit untuk melakukan kemoterapi pertama, tapi Aru kelihatan lesu dan tak bersemangat. Sepertinya Aru sedang dipenuhi kekhawatiran. Aku bisa maklum, karena ini pertama kalinya bagi Aru. “Gak usah khawatir, lo–eh kamu pasti bisa ngelewatin semuanya.” Hampir saja aku melanggar peraturan kesekian kalinya di depan Mas Jeffry. Bahkan suamiku itu sudah menyipitkan tatapannya dan jarinya hampir bergerak naik untuk menghitung kesalahanku.
Dasar rentenir.
Mas Jeffry merangkul Aru. “Mamoy bener Ru, semangat. Kamu ngelewatin ini gak sendiri, ada Papa, Mamoy, sama Mama yang nemenin kamu.”
Aru mengangkat kedua sudut bibirnya. “Ada Al juga. Ya Al?” Aru mengusap perutku yang semakin hari semakin besar saja, apalagi menjelang persalinan.
“Ayo deh Pa berangkat.”“Ayo, kamu tunggu di mobil dulu. Papa mau ngomong sama Mamoy,” titah Mas Jeffry. Aru lalu pergi ke mobil setelah berpamitan padaku. “Titip salam buat Ibu sama Ayah ya, bilang sama mereka aku minta maaf karena gak bisa dateng bareng kamu.”
Aku mengangguk. “Iya Mas, mereka pasti ngerti. Nanti kamu di rumah sakit jangan lupa makan siang, kalau bosen telepon aku aja.”
“Iya sayang.” Mas Jeffry menyempatkan diri mencium bibirku selama beberapa detik sebelum akhirnya pergi bersama Aru. Tak lama setelah kepergian Mas Jeffry, aku juga berangkat ke rumah orang tuaku menggunakan taksi. Pada awalnya Mas Jeffry berniat mengantarkanku ke rumah Ayah dan Ibu, tapi aku menolaknya karena jalan menuju rumah sakit berbeda arah dengan jalan menuju rumah orang tuaku. Akan memakan waktu lama jika Mas Jeffry mengantarku terlebih dahulu. Sesampainya di rumah orang tuaku, tak hanya ada Ayah dan Ibuku di sana, tapi ada seorang tamu laki-laki yang kuperkirakan umurnya tak jauh berbeda dengan Mairin. Dari penampilan tamu itu, dia kelihatan seperti seorang pengacara muda. Mungkin saja dia teman kerja Ayah.
“Eh anak Ibu dateng.” Ibu menghampiriku segera sesaat melihatku memasuki rumah.
Aku tersenyum. “Anak sama cucu dong Bu,” kataku.
“Iya ya. Ayo masuk, Ibu kangen sama kamu.” Ibu membawaku ke ruang keluarga, ketika melewati ruang tamu aku melemparkan senyum pada Ayah dan si tamu itu. “Udah makan belum Ra?” tanya Ibu begitu kami berdua duduk di sofa.
“Udah. Itu di depan siapa Bu?” tanyaku.
“Inget gak kamu hampir dijodohin sama pengacara muda yang kerja di firma hukum Ayah waktu perjodohan kamu dan Aru gagal?” tanya Ibu. Aku mengangguk, mengingat niat Ayah yang hampir menjodohkanku lagi untuk kedua kalinya. Tapi tidak jadi karena aku sudah lebih dulu ketahuan hamil di hari yang sama. “Iya itu dia, namanya Mahesta.” Aku membulatkan mulut sebagai respon.
“Oh iya, kamu ke sini sendiri? Jeffry gak ikut?” tanya Ibu.
Aku menggeleng. “Mas Jeffry lagi nemenin Aru ke rumah sakit. Eum Bu, Mas Jeffry nitipin sesuatu ke aku.” Aku mengeluarkan amplop yang sebelumnya Mas Jeffry beri dari tasku. “Ini uang untuk Ibu sama Ayah.” Kuberikan amplop tersebut pada Ibu.
“Uang apa Ra?” tanya Ibu.
“Bisa dibilang uang bulanan. Mas Jeffry mau bantu Ibu sama Ayah walau gak banyak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA BARUNA [END✔]
Fanfiction[17+][bukan BL]Kabira, dikenalkan pada Aru oleh orang tuanya dengan maksud akan dijodohkan. Namun gadis yang akrab disapa Bira itu jatuh hati pada Papa dari Aru, dia adalah Jeffry. "Jangan pindah hati ke Baruna lain, kamu cuma milik aku."