57. Al Mirip Abang

1.3K 217 70
                                    

SOREEE!!!
.
.
.

Telah terjadi pengeboman di Mal A siang tadi yang menyebabkan empat orang meninggal dan dua puluh lainnya luka berat. Di duga ini merupakan bom bunuh diri.” Aku melihat Mas Jeffry yang duduk di sebelah brankarku, dia tampak serius menonton siaran berita yang sedang ditayangkan. Tangan suamiku mengepal erat di atas pahanya, rahangnya mengeras, Mas Jeffry pasti sedang menahan emosi. Kuraih satu tangan lelaki itu yang membuat Mas Jeffry mengalihkan perhatiannya padaku.

“Tvnya matiin aja,” kataku. Mas Jeffry mengangguk, dia mematikan televisinya.

“Aku bener-bener gak habis pikir sama orang yang ngelakuin hal kayak gini. Kalau dia mau bunuh diri, kenapa harus nyakitin orang lain coba?” ujar Mas Jeffry. Dia sudah diceritakan oleh Ibu mengenai kejadian yang sempat menimpaku dan hampir merenggut nyawaku juga Al. Tapi beruntungnya ada Mas Maga yang cepat menyelamatkanku dan Ibu. Mendengar penjelasan Ibu, Mas Jeffry sempat marah tadi. Dia kesal pada oknum tak bertanggung jawab yang menyebabkan kekacauan besar di mal yang seharusnya menjadi tempat untuk bersenang-senang. Aku bahkan harus melahirkan lebih awal karena menjadi salah satu korban pengeboman hari ini. “Kamu beneran gak ada yang sakit lagi 'kan Ra? Aku masih khawatir sama kondisi kamu,” tanya Mas Jeffry.

Aku menggeleng. “Gak ada. Tapi bekas operasi tadi mulai kerasa Mas.” Beberapa jam yang lalu, aku baru saja melakukan tindakan caesar untuk mengeluarkan anakku. Aku masih tidak menyangka jika hari ini aku telah resmi menjadi seorang ibu seutuhnya. Ragnala sudah lahir. Sayangnya sejak dia dilahirkan beberapa jam yang lalu, aku belum bertemu atau melihat wajah Al karena dia langsung dibawa oleh dokter anak untuk dilakukan pemeriksaan. Hanya Mas Jeffry saja yang baru melihat Al, itupun melalui tembok kaca, tidak secara langsung karena tidak boleh sembarang orang masuk ke dalam ruangan pemeriksaan tersebut. Semoga saja hasil tes kesehatan Al nanti tidak ada yang buruk walau dia lahir sebelum waktunya dan dengan berat badan yang tidak terlalu besar yaitu 2,4 kilogram. “Mas?” panggilku.

“Iya sayang?” Mas Jeffry mengusap keningku.

“Maafin aku ya gak bisa jaga anak kita dengan baik. Aku juga malah ngacau di hari kemonya Aru,” sesalku.

“Enggak Moy, jangan bilang gitu. Kamu udah jaga Al semampu kamu, kamu bahkan mempertaruhkan nyawa untuk dia. Jadi kenapa harus minta maaf? Perjuangan kamu udah hebat banget Ra. Makasih ya.” Mas Jeffry mengecup punggung tanganku, kemudian beralih mencium bibirku. Tanpa sadar aku meneteskan air mata, rasa bahagia dan haru bercampur aduk. Saat di ruang operasi tadi, Mas Jeffry setia menemaniku. Dia tak melepaskan genggaman tangannya barang sebentar dari tanganku, Mas Jeffry mencoba membuat diriku untuk tetap tenang selagi operasi berjalan. Padahal aku tahu dirinya juga khawatir dan tidak setenang kelihatannya. “I love you, sayang,” ucap Mas Jeffry setelah pautan kami terlepas.

Aku tersenyum. “Too,” balasku.

“Bira, Jeffry.” Mas Maga masuk ke ruang rawatku. Aku lupa, aku belum sempat berterima kasih padanya karena begitu datang ke rumah sakit tadi aku langsung sibuk menangis.

“Mas Maga, makasih,” ucapku. “Aku gak tau gimana jadinya aku dan Al kalau Mas Maga gak nolongin aku tadi. Sekali lagi makasih ya Mas, aku dan Al berhutang nyawa sama Mas Maga.”

“Iya Ga, makasih banyak. Lo pahlawan buat keluarga kecil gue.” Mas Jeffry menimpali.

Mas Maga tersenyum. “Sama-sama. Santai aja Bir, Jeff, gue seneng liat keadaan Bira sama anak kalian baik-baik aja. Kalau gitu gue pamit pergi dulu ya, dari siang udah di sini. Sekarang udah larut banget,” kata Mas Maga.

DUA BARUNA [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang