Rachel

24 2 0
                                    

Rachel Loh bukan siswi tercantik di sekolah internasional ini. Bukan pula yang tercantik di kelas. Ada Silvia Johnson, siswa ekspat blasteran Amerika, Tionghoa Sumatra, dan Manado yang memiliki kecantikan paling menonjol di sekolah. Tubuhnya tinggi ramping dan memiliki wajah dewasa tetapi manis bagai gula-gula di pasar malam. Rambutnya pun pirang alamiah. Ada pula Dwi Jayanti, gadis Jawa salah satu sahabat Rachel yang berkulit kuning langsat dan berambut indah bergelombang. Bahkan, Vivian Joanne pun lebih cantik dibanding Rachel. Sahabatnya yang satu lagi tersebut memiliki tubuh ramping, tinggi semampai dan berwajah kalem. Gadis Tionghoa itu memiliki wajah cenderung seperti tokoh-tokoh gadis Jepang di anime dan manga, meski ia sama sekali menolak untuk dikait-kaitkan dengan apapun yang berhubungan dengan negara matahari terbit tersebut.

Sedangkan Rachel Loh, meski sepertinya tidak ada satupun orang di sekolah ini yang menyangkal kecantikannya, ia bukanlah yang paling menonjol. Kulitnya terlalu putih, cenderung pucat. Tidak jarang ketika sedang kelelahan, sinar matahari dan perubahan emosi menyebabkan kulitnya menjadi kemerahan seperti udang rebus, termasuk wajah dan bibirnya. Ia bertubuh cukup tinggi. Sepasang kakinya jenjang, dan tungkai tangannya panjang. Tetapi ia masih kalah ramping dibanding Vivian, apalagi Silvia. Sepasang pipinya bahkan cenderung tembem berisi sehingga mampu menelan sepasang matanya yang sipit dan hidungnya yang mungil ketika sedang tersenyum lebar atau tertawa.

Rachel paham ini. Ia sadar diri. Meskipun ia tetap merasa cantik dan bangga dengan rambut lurusnya yang panjang, lebat dan berwarna segelap malam.

"Parah sih Mr. Milo. Ganteng amat yak," ujar Dwi. Tinggal menunggu waktu saja sampai geng cewek-cewek ini memulai secara resmi pembahasan mengenai sang guru baru.

"Nggak ah. He's OK tho," celetuk Sophia Chang.

Ketiga anggota geng cewek yang lain langsung menatap ke arah sumber suara itu dengan pandangan risih. Bila dibandingkan dengan Rachel, Vivian dan Dwi, Sophia adalah yang paling terlihat biasa. Sekali lagi, bukan karena tidak cantik, tetapi memang Sophia adalah jenis gadis yang memiliki raut wajah jutek dan cenderung galak. Ia adalah gadis yang paling serius di kelompok mereka. Mengidolakan mata pelajaran matematika, mengenakan kacamata dengan bingkai lebar menutupi sepasang matanya yang tajam dan dingin, mencepol atau menguncir rambut lurusnya dengan ala kadar, serta lebih sering menenteng buku dan membacanya dibanding membuka aplikasi TikTok di hapenya.

Namun, yang paling membuat ketiga sahabat Sophia itu sebal adalah karena ia adalah satu-satunya anggota geng yang malah sudah memiliki pacar. Tidak main-main, pacar Sophia adalah Jordan Weatherspoon, bintang basket sekolah yang jangkung seperti pohon kelapa, warga negara Amerika Serikat yang kemampuan bahasa Indonesianya nol besar.

Hampir tidak ada yang bisa percaya di saat Sophia, dengan raut wajah dinginnya itu, mengumumkan kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia baru saja jadian dengan Jordan.

Sekolah gempar seketika. Jordan jelas idola cewek-cewek. Skill basketnya yang memang mumpuni ditambah tampang dengan vibe Adam Lavine muda tanpa facial hair, jelas membuat anak grade 12 itu menjadi pujaan para gadis.

Nyatanya, Jordan sudah jatuh hati dengan si dingin Sophia sedari mereka kelas 10 dahulu. Sudah pernah pacaran dengan Silvia hanya dalam waktu kurang dari empat bulan, Jordan malah jatuh ke dalam pesona Sophia.

Di satu sisi Rachel, Vivian dan Dwi heran sekaligus kesal karena melihat nasib serta karakter aneh Sophia, tetapi di sisi yang lain, mereka juga bangga dengan sahabat mereka yang satu itu. Jordan betah dengan gaya komunikasi Sophia yang mengesalkan dan lebih cocok dengan gadis itu dibanding dengan idola sekolah yang lain, Silvia.

"Iya deh, yang pacarnya idola sekolah. Pacar lo tu mang guanteng, tuinggi, kueren. Puas?" seloroh Rachel sembari mencoba melotot sebisa mungkin, walau gagal karena sepasang matanya memang sipit parah.

"I'm just being honest, OK. Gue nggak bilang dia jelek lho ya," balas Sophia.

"Tetep aja, you tu nggak bisa diikutsertakan dalam pembahasan ini. selera dirimu memang beda, maunya bule, rambut pirang. Beda sama Mr. Milo yang sooo local, sooo hot, just like the weather," ujar Vivian. Ucapannya membuat Rachel dan Dwi yang setuju langsung tertawa girang.

Saat itu pukul 12. 20 siang, mereka baru saja memulai lunch break.

Sekolah internasional Uni-National ini memiliki tiga bangunan utama: kindergarten alias taman kanak-kanak, primary alias sekolah dasar dan secondary alias sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Selain tiga bangunan utama, masih ada kantin, hall utama, lapangan basket dan hall kedua yang terletak sedikit di bagian belakang sekolah.

Keempat siswi sekolah itu sedang bersama menikmati makan siang mereka di sebuah kumpulan bangku dan meja mungil di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang, tepat di halaman samping kantin yang tidak terlalu ramai. Dulu, sulit bagi mereka untuk mendapatkan tempat istimewa yang tenang itu, karena selalu keduluan oleh siswa lainnya. Namun, semenjak Sophia jadian dengan Jordan, geng cewek itu jadi spesial. Kumpulan bangku itu sudah seperti menjadi langganan mereka untuk breakfast, lunch, atau sekadar kumpul-kumpul di masa jeda. Kadang-kadang Jordan datang menghampiri mereka untuk menyapa Sophia. Seringkali pula, cowok jangkung itu menjemput Sophia untuk mengantarnya ke rumah pulang sekolah.

Tawa Rachel mendadak lenyap diganti dengan detak jantungnya yang menggila. Sosok Mr. Milo berjalan dari arah kantin. Tangan kanannya menggenggam gelas kertas berisi kopi hitam panas. Ada uap mengepul dari permukaan kopi.

Guru baru tersebut terus berjalan mendekati arah Rachel, melewati jalan setapak dari bebatuan.

"Hey, guys. Lunch?" sapa Mr. Milo sembari lalu.

Rachel bahkan tak mampu mengangguk, apalagi membalas.

"Ehm, kok siang-siang ngopi, Sir?" celetuk Vivian.

Mr. Milo berhenti, kemudian menoleh ke arah sang penanya. Ia tersenyum.

Rachel berhenti bernafas. Ia sudah setengah mati menahan perasaan yang berkecamuk ketika guru sejarah itu lewat, eh, malah Vivian dengan gampangnya membuat Mr. Milo batal berlalu.

Kini Rachel khawatir wajah dan bibirnya yang memerah akibat pergantian emosi itu akan kentara.

"Iya, saya belum ngopi tadi pagi. Udah kebiasaan," balas Mr. Milo.

Di sekolah internasional ini, bahasa Inggris wajib digunakan di dalam kelas, apalagi karena separuh dari siswa Uni-National ini adalah ekspat, alias warga negara asing. Bahasa Indonesia hanya digunakan di dalam pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn dan Agama bagi siswa-siswa Indonesia. Namun, untuk diluar kelas dan pergaulan, switch code alias penggunaan bahasa yang dicampur-campur, memang sudah biasa.

"Wah addiction ya, Sir?" balas Vivian lagi.

Lancang! Pikir Rachel.

"I guess ...," jawab Mr. Milo singkat sembari mengangkat kedua bahunya. Sebuah bahasa tubuh yang sebenarnya sederhana tetapi bagi Rachel adalah hal yang istimewa. Wajahnya serasa terbakar.

Please, jangan tanya-tanya lagi. Biarkan laki-laki memesona ini beranjak pergi. Aku belum siap. Mau mati rasanya. Mohon Rachel dalam hati.

"Padahal panas-panas gini, Sir."

Sebuah pernyataan yang sama sekali tak penting menurut Rachel. Vivian nampaknya nekat sedang menggoda guru mereka itu.

"Yah, habisnya, memang belum ngopi sih. Dunia jadi kurang bersemangat tanpa kopi hitam."

Mr. Milo kembali tersenyum.

Ih, cukup napa. Jangan senyum-senyum terus. Protes Rachel. Lagi-lagi di dalam hati tentunya.

"Hey. Are you OK? You look ... red. Karena panas ya?" ujar Mr. Milo mendadak ke arah Rachel. Rupanya rona merah wajah gadis itu terlalu menonjol untuk tidak diacuhkan.

Tuh kan, ketahuan. Ah, aku mati aja! Jerit Rachel dalam hati untuk kesekian kalinya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang