Ready

5 1 0
                                    

Rita memandangi wajahnya di cermin. Ia menggunakan semua ekspresi: tersenyum lebar, tersenyum simpul nan malu-malu, tertawa ceria, sampai mengubah wajahnya sok imut. Ia malah menjadi geli sendiri. Namun, tak berapa lama ia menjadi puas. Terutama setelah melihat busana yang ia kenakan hari ini. Sederhana, tak terlalu berlebihan, meski ia tetap memoles wajahnya dengan make up.

Ia merasa sudah tampil maksimal. Cantik, menarik, tetapi tidak mau terlihat seperti kebanyakan cewek lain. Ia mau tampak cerdas, tetapi tetap terlihat sebagai seorang pelajar, bukannya seperti cewek-cewek lain yang mendadak menjadi dewasa karena busana dan dandanannya.

Rita mengenakan baju terusan berwana abu-abu lembut dengan selembar cardigan dikenakan di luarnya. Ia juga menyampirkan tas punggung kecil yang berisi tablet. Nah, sudah terlihat sempurna untuk hari ini.

William mengetuk pintu kamarnya. "Are you ready, Rita?"

"Yep," jawab Rita singkat. Ia beranjak dari tempat duduknya di depan meja rias.

William mengernyitkan keningnya melihat penampilan saudari kembarnya tersebut.

"It looks like you're the one who will have a date today,' ujar William ketika melihat persiapan Rita yang malah seperti ia yang hendak kencan.

"Don't mind me, Wil. Just take me to the mall, and then you may pick Rachel up," ujar Rita. Ia tidak merespon berlebihan kata-kata William.

Sepanjang perjalanan, di dalam mobil Rita mengulum senyumnya dan wajahnya dipalingkan ke arah luar. Ia tidak mau William berhasil menangkap ekspresi anehnya itu. William memang tak mungkin tak curiga dengan perubahan Rita yang biasanya paling malas memiliki acara di luar, kecuali kebetulan ia pergi bersama William, misalnya ke toko mainan atau ke toko buku. Namun, kali ini, ia bahkan meminta William untuk sekadar mengantarkannya ke pameran bahari di mall tempat nanti ia dan Rachel akan pergi menonton. Sebuah keinginan dan rencana yang aneh, batin William. Hanya saja di sisi lain, ia senang karena Rita sudah mulai kembali ke sifat alaminya yang memang lebih ceria. Entah apa yang terjadi di masa pubernya sehingga Rita cenderung menarik diri, introver dan pendiam.

"Terus, nanti you pulangnya gimana? Nggak mungkin bareng I dan Rachel, 'kan?" tanya William.

"Ah, gampang nanti, Wil. Have fun aja dating sama Rachel," balas Rita masih melihat keluar, bukannya memandang sang lawan bicara.

William tersenyum. "I 'kan udah bilang, bukan date kok. Lagian, kenapa sih perlu I anterin kalau you pulangnya juga bisa pakai mobil ojek online?"

"Nggak rela ya antarin I?" ujar Rita bercanda, sengaja membuat William merasa bersalah.

"Ya, bukan gitu, Rit. I ok kok antar you. Ya udah, nggak usah dibahas lagi."

"Kidding, bro. Jangan merengut gitu lah. Senyum dulu dikit. Siapa yang mau ketemu dengan Rachel sang pujaan hati?" rayu Rita.

William tak bisa menahan senyuman lebarnya. Kedua kakak beradik itu kemudian sama-sama tertawa. Kebahagiaan terpancar di wajah keduanya yang serupa itu.

Memang alasan sejati Rita memerlukan William adalah agar ia memiliki alasan yang pas ketika nanti bersama Mr. Milo. Ia tidak mau terlihat memiliki persiapan yang berlebihan untuk bertemu Mr. Milo. Ia tak mau terkesan seagresif itu. Dengan diantar oleh William, Rita dapat menjelaskan bahwa memang kebetulan ia bersama William berangkat ke mall, seperti waktu terakhir ia bertemu dengan Mr. Milo di Gia's Toys and Models.

William kemudian langsung meninggalkan Rita di mall. Ia menjemput Rachel di rumahnya, sesuai dengan apa yang sudah ia sampaikan di chat tadi malam. Sesuai harapan, Rachel langsung setuju dan mengiyakannya. Rachel memang tak keberatan. Hatinya sedang berbunga-bunga karena rencananya kemarin untuk bertemu dan menghabiskan waktu ngobrol serta bercanda dengan Mr. Milo telah kesampaian. Tidak hanya itu, ketiga sahabatnya kini juga telah paham apa yang sedang terjadi pada dirinya dan Mr. Milo. Paling tidak ia sudah tidak punya beban dan 'hutang' kepada Dwi dan Vivian tentang apa yang dirasakannya terhadap Mr. Milo. Meski bukan berarti bahwa Dwi, Vivian bahkan Sophia bisa seratus persen wajar apalagi mendukungnya. Yang jelas, mereka paham dan tidak berusaha untuk mencegahnya menikmati perasaan yang sedang tumbuh ini.

"Kalo lo ntar patah hati dan perlu pelukan buat menangis kenceng, jangan lupa, kita semua siap, kok, Rach," ujar Vivian karena tak mampu lagi mencoba meyakinkan Rachel bahwa perasaan seriusnya kepada Mr. Milo bisa sangat 'berbahaya' bagi dirinya sendiri.

Sayang, William sama sekali tak tahu dan sadar dengan hal ini. Yang ia tahu, Rachel sudah menerima ajakannya untuk menonton film berdua. Ya, berdua saja. Itu sudah merupakan kemajuan yang luar biasa.

William tidak mau menganggap bahwa ini adalah sebuah kencan, tetapi tetap saja bagaimana ia tidak senang?

Lalu, di saat yang sama, harus ada keputusan besar baik dari William maupun Rachel. Masalahnya, William masih tidak merasa bahwa ini adalah sebuah kencan dan tidak memiliki rencana untuk menyatakan perasaannya kepada Rachel. Padahal ia sudah memiliki rasa kepada gadis itu sejak lama dan hari ini seharusnya menjadi kesempatan yang baik untuk menyatakan perasaannya selama ini, alias nembak Rachel. Sedangkan Rachel masih bingung dan cenderung tidak terlalu memikirkan gerakannya hari ini untuk menyelesaikan 'permasalahan' hubungannya dengan William. Ia harusnya melakukan sesuatu hari ini bila tidak ingin ketidakjelasan hubungan mereka terus berlangsung. Tapi mau bagaimana lagi, Rachel masih tenggelam dalam taman bunga perasaannya. Rachel tak henti-hentinya memandang beberapa foto selfienya bersama Mr. Milo. Foto pertama, yang mungkin juga merupakan foto satu-satunya murid perempuan Uni-National bersama Mr. Milo. Rachel sendiri tak yakin Talulah memiliki foto bersama Mr. Milo.

Dalam hal ini, Rachel benar. Mr. Milo sendiri agak heran karena hanya Rachel yang berani meminta foto bersamanya. Ia belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, meskipun Mr. Milo tidak mencurigai niatan apapun dari Rachel. Ia hanya tahu bahwa murid perempuannya yang cantik itu memang memiliki sifat periang dan tidak jaim sama sekali. Maka Mr. Milo pun merasa aman-aman saja ketika Rachel meminta foto selfie bersamanya. Bagai sebuah adegan spontanitas dari Rachel saja.

William mengenakan kaos hitam tanpa merek, membungkus ketat badannya yang gempal dan terbentuk oleh otot karena kebiasaannya berolahraga basket itu. Mobilnya tak lama sampai ke depan rumah Rachel.

William terkejut ketika hampir memencet bel, pintu terbuka dari dalam. Rachel muncul tepat di depan William.

"Ok, Wil. Langsung aja yuk," katanya santai.

William hampir tak bisa menutup rahangnya yang jatuh karena saking terpananya dengan kemunculan Rachel yang begitu memesona. Rambutnya yang panjang, hitam dan lurus itu seperti biasa dibiarkan saja tergerai. Rachel mengenakan busana yang lebih santai, celana pendek jins serta atasan berlengan panjang kendur yang menempel lembut di tubuhnya yang ramping. William tak yakin ia mampu tak menatap terus-terusan ke arah sang gadis.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang