William

8 3 0
                                    

Rachel menunggu mamanya untuk menjemput. Belum lama, sang mama menghubunginya dan mengatakan sedang terjebak kemacetan parah dan sedang mencari jalur lain yang tepat supaya bisa sampai sekolah dengan tepat.

Rachel mengernyit. Kemacetan macam apa? Masalahnya kota yang tidak terlalu besar ini jarang sekali ada kabar mengenai kemacetan. Bila ada, pastilah adalah alasan kuatnya. Rachel hendak bertanya kepada sang mama, tetapi ingin mamanya lebih fokus dalam mengendarai mobilnya.

Maka, Rachel memasukkan handphone-nya ke dalam tas dan duduk sembari menyelonjorkan kedua kakinya di lapangan berumput yang teduh di bawah pepohonan, di area parkir. Angin sore ini cukup kencang. Ia menelangkupkan kedua tangannya di lutut untuk menahan roknya berkibaran seperti rambutnya yang digerai setelah seharian harus dikuncir.

Para murid sudah lebih dari lima menit yang lalu telah hampir pulang semua, menyisakan beberapa orang murid yang masih berbincang-bincang sembari menunggu jemputan.

Rachel menikmati belaian angin yang menyapa tubuhnya. Ia menutup mata beberapa detik, kemudian merapikan rambutnya. Ia menengok ke kiri dan kanannya. Kini tinggal ia dan dua orang murid, adik kelasnya di secondary - mungkin grade 8 atau 9 - lagi yang belum dijemput. Ia menilik jam tangannya. Hampir pukul lima sore dan mamanya masih belum sampai.

Ia baru saja ingin meraih handphone dari dalam tasnya tetapi urung ketika ia melihat Mr. Milo berjalan kaki dari kejauhan ke arahnya.

Deg!

Rachel seperti berhenti bernafas.

Jangan memerah, jangan memerah, please!

Ujar Rachel dalam hati.

Mr. Milo sebenarnya sedang berjalan ke arah area khusus parkir sepeda motor. Ia sudah menggendong tas punggungnya, berjalan santai tetapi pasti. Angin memberantakkan rambutnya.

Rachel membeku. Ia tak berani memalingkan wajahnya ke samping, padahal dalam hitungan detik, Mr. Milo pasti akan melewatinya.

Rachel menutup mata.

Ia menguatkan dirinya. Ia sudah bersumpah untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu, apalagi mempermalukan dirinya di depan Mr. Milo.

Satu.

Dua.

Tiga.

Rachel memalingkan wajahnya. Rambutnya yang tebal, panjang dan hitam tersibak. Senyuman lebar menghiasi wajahnya, sampai sepasang matanya hampir tertutup dan hidung mungilnya tenggelam.

"Hai, Sir," sapanya pendek.

Rachel tak tahu bagaimana ia bisa seberani ini. Ia juga berharap agar suaranya tidak terdengar genit atau dibuat-buat.

Mr. Milo yang melihat Rachel, kemudian tersenyum. Tentu ini sudah merupkan bagian tak terlepas dari karakteristiknya.

"Hai. Lho, belum pulang?"

"Belum, Sir. lagi nunggu dijemput."

Rachel berharap wajahnya tidak memerah.

Rachel salah. Wajahnya tetap kembali memerah, terutama kedua pipi dan sepasang bibirnya. Namun, Mr. Milo tidak lagi memerhatikan hal ini. Ia menganggap mungkin memang Rachel seperti itu. Malah akan aneh bila ia kembali menanyakan tentang apa yang terjadi dengan kulit dan wajah Rachel.

"Oh, oke. Saya duluan ya," lanjut Mr. Milo.

"Eh, Sir tinggal dimana?"

Rachel kembali kaget dengan keberanian dan kelancangannya sendiri.

"Oh, nggak jauh sih dari sini. Paling sepuluh menitan. Eh, kamu beneran belum dijemput? Udah hubungin orang rumah?"

"Udah kok, Sir. Mama sedang dalam perjalanan. Katanya macet di jalan. Jadi cari jalan muter," ujar Rachel. Kata-katanya lancar. Ia masih terkejut dengan perbedaannya sore ini dibanding pertama kali berinteraksi dengan Mr. Milo.

Mr. Milo kembali tersenyum sembari mengacaukan rambutnya. Rachel secara harfiah menahan nafasnya. Sinar sore yang redup menyinari wajah Mr. Milo, membuatnya bagai sebuah lukisan potret wajah yang surreal. Indah dan memesona, sampai Rachel merasa ingin memahatnya di permukaan otaknya agar tak lekang dimakan maktu.

Masalahnya, Rachel masih belum mau kehilangan momen ini.

"Sir ...," seru Rachel kembali.

"Ya," balas Mr. Milo pendek.

Hening.

Rachel bingung apa yang harus ia katakan. Karena ia tidak benar-benar tahu ingin mengatakan atau menanyakan apa kepada guru baru itu. Ia hanya ingin bersama Mr. Milo saat ini. Bila boleh, ia hanya ingin berdiam diri, memerhatikan lekuk wajah Mr. Milo dalam lini masa yang beku dan berhenti.

"Hey, Rachel. Hi, Sir."

Mendadak seorang siswa cowok datang berlari perlahan. Rachel tersentak. Entah William Lim datang dari mana. Tahu-tahu ia sudah berada di antara keadaan hening itu.

"Hi. You are ...?" tanya Mr. Milo.

"William, Sir. Saya dari kelas Science," balas William.

William bertubuh tidak terlalu tinggi, tetapi gempal. Tubuh remaja ini jelas telah melalui berbagai jenis latihan di gym sehingga otot-otot mudanya terbentuk seperti ini. Wajahnya keras dan kaku tetapi terlihat sekali ia berusaha untuk menciptakan raut yang lembut di depan Rachel.

"Belum dijemput, Rach?" tanya cowok itu kepada Rachel.

Rachel menggeleng. "Tapi sebentar lagi Mommy sampai sepertinya," jawab Rachel pendek.

"Well, kalau begitu, saya duluan ya," ujar Mr. Milo sembari beranjak dari tempat itu. Selain karena kedatangan William, Rachel juga nampaknya masih tidak menemukan materi pembicaraan. Perbincangan mereka terputus sampai disitu hari ini.

"Ok, Sir. Bye," ujar William dan Rachel hampir bersamaan. Rachel pun tak memiliki alasan lain untuk memperpanjang urusannya dengan Mr. Milo. Meski sangat disayangkan, Rachel tahu bahwa akan lebih akward kalau ia masih tidak bisa menemukan alasan agar dapat berlama-lama dengan Mr. Milo.

"Beneran mommy you udah deket? Apa aku antar pulang aja?" ujar William.

"Gak perlu, Will. Makasih ya. Beneran udah deket kok. Sebentar lagi paling sampai. Tadi kejebak macet sebentar," tolak Rachel jujur. "Eh, emangnya gak pulang sama Rita?" tanya Rachel kemudian. Rita adalah saudari kembar William.

"Dia pulang sama teman-temannya tadi. Katanya mau hang out dimana gitu dulu."

"Nah, you sendiri kok belum pulang?"

William tertawa ringan. "Habis main basket tadi. Habis ganti baju kok I masih lihat you disini."

Siapa William?

Secara kasat mata, kita bisa melihat bahwa William memiliki rasa pada Rachel. William adalah salah satu tim basket andalan sekolah internasional Uni-National. Ia juga merupakan tim inti bersama si jangkung Jordan. Meski tidak sepopuler rekannya itu, William adalah termasuk bintangnya. Permainannya yang keras dan cepat di lapangan basket, membuat tim Uni-National bertahan menjuarai kompetisi basket sejak William sendiri bergabung di grade 10, dua tahun yang lalu.

Di grade 10 itu pula William telah memiliki rasa pada Rachel. William yang kasar dan kaku itu memang tidak berusaha memendam perasaannya kepada Rachel. He's like an open book. Siapa saja di Uni-National nampaknya tahu bahwa ia menyukai Rachel sejak lama.

Masalahnya, William tidak pernah mengutarakan perasaannya itu kepada Rachel. Para anggota The Four Musketeers juga sedikit banyak merestui hubungan mereka bila memang Rachel membalasnya. Tidak ada yang salah dengan William. Meski dia bisa dikatakan sebagai anak yang lumayang badung, suka berkata-kata kasar, nampaknya itu lebih karena pengaruhnya di lapangan. Di depan Rachel, William menjadi seorang cowok yang sama sekali berbeda. Ia lebih sering tersenyum, berkata-kata serta bertingkah laku yang lembut dan lebih banyak mendengar Rachel.

"He never told me about his feeling," ujar Rachel suatu saat kepada Vivian sembari mengedikkan kedua bahunya.

"Ow, ow, ow. Jadi, kalau Wil nembak, lu pasti terima dong," tanya Dwi.

Rachel kembali mengedikkan kedua bahunya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang