An Open Book

4 2 0
                                    

Rachel, Dwi dan Sophia kesulitan menghubungi Vivian akhir-akhir ini. Beberapa kali memang Vivian membalas chat mereka, tetapi ketika group video call, Vivian sama sekali tidak pernah mengangkatnya. Ia mendadak hilang seperti ditelan bumi. Rachel menjelaskan kepada Dwi dan Sophia yang mulai sedikit kesal bahwa Vivian mungkin sedang sibuk. Ia memohon pengertian kepada kedua sahabatnya itu.

"Kita harusnya senang Vivi mendapatkan apa yang ia impikan selama ini. Gue cukup paham dia gimana, guys. You guys, too, right?"

Alasan ini sementara memang bisa membuat anggota geng the Four Musketeers mencoba paham dan menerina, tetapi sampai kapan? Apalagi berhubung Vivian sepertinya sama sekali tidak berniat untuk mencoba memperbaiki segalanya. Ia sedang di awang-awang. Ia sedang bahagia.

"Cieee ... cepet aja udah dapat gebetan," canda Joyce melihat sang model, Vivian, melambai ke arah Milo dari jauh. Gadis cantik, tinggi semampai, langsing bahkan seksi itu baru saja selesai sesi pemotretan pertama hari ini. Wajahnya kerap muncul di sekitar wilayah museum. Seperti berusaha untuk mencuri-curi waktu agar dapat menyapa Milo, walau dari jauh seperti ini.

Milo memutarkan kedua bola matanya. "She was my student, Joyce."

"Iya, tapi itu dulu. She was ... ok. She was. Sekarang, kalian tidak memiliki hubungan prefesional semacam itu. you were a teacher, you were. Dulu kamu gurunya, sekarang bahkan kamu bukan guru lagi, Mil. Coba deh, perhatikan baik-baik. Dia udah gadis dewasa sekarang. How old is she now? Eighteen, isn't it? Or nineteen?" takut dengan istilah legal nggak legal? Ya ampun, Mil. She's a grown up woman.

Milo menggeleng-gelengkan kepalanya dengan frustasi. Nampak sekali Milo hendak menghindar dari percakapan ini.

"Coba dengerin aku, Mil. Mark dan Danan aja tahu kalau Vivian nggak bisa menyembunyikan perasaannya ke kamu. Terlalu jelas terlihat, Mil. She's an open book. Kayaknya emang dari dulu dia memang udah naksir kamu, deh. Atau, ada orang lain yang sedang kamu pikirkan?"

Milo tersentak. Ia tak bisa menjawab pertanyaan ini. kalau mau jujur, masih ada nama Rachel yang menempel di sela-sela jiwanya. Namun, ia pun sedang mati-matian melupakan Rachel sampai Vivian mendadak muncul di hadapannya.

Apa benar jangan-jangan Vivian memang memiliki rasa padanya?

Malam itu, Milo tampil sedikit lebih rapi dibanding biasanya. Ia mengenakan blazer abu-abu muda dan rambutnya disisir rapi. Ia sudah duduk di restoran tempat pertama ia dan Vivian makan malam. Tidak ada alasan khusus. Hanya saja hari ini ia bisa pulang lebih awal, mandi dan membersihkan tubuh sebelum bertemu dengan Vivian, seperti yang telah ia janjikan beberapa hari yang lalu.

Milo tidak sadar bahwa penampilannya malah membuat Vivian semakin blingsatan terpesona.

Vivian datang lima menit kemudian, mengenakan dress yang jatuh sempurna di tubuhnya. Dress berwarna biru muda, tak berlengan, dengan belahan punggung dan dada yang cukup rendah dan menggoda itu tampak indah dikenakannya. Vivian terlihat cukup serius menata penampilannya, termasuk wajahnya yang dipoles make up secukupnya, tetapi pas dan mendukung paras cantiknya, rambut panjang hitam yang digerai lepas begitu saja, serta sepatu high heels hitam yang membalut kaki jenjangnya dengan sempurna.

Vivian merasa segala usahanya sore tadi sesuai. Ini karena Milo ternyata terlihat begitu rupawan. Malam ini ia tidak menyangka bahwa Milo berpakaian lebih rapi. Ia bahkan bercukur, membuat kerupawanan sang pujaan itu meruap naik sampai ke langit-langit restoran.

Milo tersentak. Ia sungguh terkejut karena Vivian datang dengan penampilan yang bahkan ia sekalipun harus mengakui: memesona.

"Hai, Mas. Sudah lama menunggunya?"

Milo menggeleng. Ia tersenyum, kemudian melihat ke arah blazer serta pakaian yang ia kenakan. "Kok, kayaknya saya terlihat gembel gini ya? Kamu sih, mendadak datang pakai dress segala. Kamu seperti mau ikut penobatan Academy Awards, saya seperti drivernya."

Vivian mendelik ke arah Milo dengan protes. "No way. You look stunning, Mas. Keren kalik. Mas selalu ganteng ah, dari dulu."

Milo terdiam, begitu juga Vivian yang mendadak menjadi malu karena sudah keceplosan.

Milo khawatir bahwa Vivian memang adalah sebuah buku yang terbuka, an open book, seperti kata Joyce tadi siang. Bagaimana bila Vivian sungguh memiliki rasa padanya? Padahal, ia hanya senang bisa bertemu dengan orang yang dahulu merupakan 'penghubung' dirinya dan sosok Rachel. Meski ironisnya, tak ada kata 'Rachel' sekalipun keluar dari mulut keduanya sampai hari ini.

Makan malam selesai dengan cukup menyenangkan. Milo sudah paham dengan karakter Vivian sejak mulai sering berbagi waktu dengannya di Amsterdam. Vivian lumayan talkative. Tetapi ia juga mau mendengarkan. Milo agak heran ketika Vivian mau mendengarkannya berbicara mengenai pekerjaannya di museum, mendata barang dan berbicara mengenai sejarah. Harusnya Vivian bosan karena lagi-lagi Milo berbicara mengenai sejarah, seperti dulu waktu ia menjadi guru, meski kemudian Milo sadar bahwa Vivian tak pernah menjadi murid sejarahnya. Gadis itu mengambil kelas science.

Namun, sebenarnya, Vivian tak keberatan mendengar Milo berbicara berjam-jam mengenai apa saja. Ia menikmati setiap detiknya, memperhatikan lekuk rahang dan wajah Milo yang tegas nan tampan. Rambutnya yang meski rapi, mendadak akan berantakan di bagian atas atau belakang karena Milo kerap tidak sengaja mengacaukannya, terutama bila ia sedang berpikir keras. Vivian tersenyum tersipu-sipu malu bila sampai Milo mendapatinya sedang memperhatikannya dengan intens. Vivian sungguh ingin menyentuh wajah rupawan Milo dengan kedua tangannya kemudian ... entahlah, mungkin mendekatkan wajahnya ke wajah Milo, meraih bibir sang mantan guru itu dengan bibirnya. Ia tak bisa menghilangkan pikiran liar nan nakalnya itu.

Bukan berarti Milo tak mengakui kecantikan Vivian yang memang luar biasa itu, tetapi memang hatinya masih tertambat pada Rachel dengan cara yang ia sendiri sedikit gusar akan itu.

"Lucu ya, padahal, saya pikir dulu Rachel yang paling ribut dan usil. Ternyata kamu juga punya sifat itu," ujar Milo.

Tanpa diduga, kata-kata Milo memberikan pengaruh besar pada Vivian. Gadis itu menunduk dan terdiam. Sebelum kemudian ia memandang Milo dengan tajam. Sepasang mata indahnya itu kemudian berkaca-kaca.

"Saya sudah curiga kalau Mas memang sudah memiliki perasaan dengan Rachel dari dulu. Mungkin saya memang tidak bisa menggantikan sosok dia di hati Mas."

Milo tersentak. Entah apa yang ia lakukan sampai Vivian bereaksi seperti ini. Ia tidak sadar bahwa walau ia mengucapkan kata 'Rachel' sekali saja, nadanya penuh dengan cinta. Ledakan kecil itu mungkin terlihat oleh Vivian yang cemburu dan tidak hendak merusak kesempatan memiliki Milo kali ini.

Vivian mengambil tas kecilnya, kemudian berdiri, melangkah keluar, meninggalkan Milo yang memandang terpaku kepergian Vivian, binggung dengan apa yang harus ia lakukan.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang