Talulah

18 2 0
                                    

Talulah Claire Smith membuka pintu mobil mini cooper-nya. Ia benci harus datang ke sekolah pada hari libur, beberapa hari sebelum tanggal resmi masuk dan tahun akademis dimulai. Ia bahkan benci semuanya mengenai sekolah ini. Bila saja tidak berpikir bahwa setahun lagi ia sudah akan tamat, mungkin ia sudah tidak akan sabaran untuk pergi dari tempat yang membosankan ini.

Talulah adalah seorang gadis yang anggun. Wajahnya tenang, menyembunyikan segala jenis perasaan dan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Tapi tidak ada yang melihat Talulah sebagai seorang siswi yang dingin karena ada semacam sunggingan tipis di raut wajahnya, apalagi sepasang pipinya selalu terlihat bersemu merah muda.

Talulah hampir selalu mengenakan rok, tidak peduli bila ia sedang tidak berada di sekolah dan tidak mengenakan seragam. Ia selalu nyaman dengan ujung rok yang menyentuh lutut atau, dalam situasi tertentu, sedikit di atasnya. Cara berpakaiannya tidak megah, tetapi aura feminisme dan kedewasaan jelas terlihat.

Talulah menyelipkan beberapa helai rambutnya di belakang telinga dan membenahi poninya. Ia tidak menguncir rambutnya hari ini, kecuali masa belajar telah dimulai. Uni-National mewajibkan siswi-siswinya untuk menguncir rambut mereka.

Talulah memandang gedung bangunan secondary dari area parkir. Ia menghela nafas panjang. Hari ini ia harus mengambil seragam yang baru saja dibeli. Ini dikarenakan mendadak tubuhnya tumbuh tinggi dengan cepat ketika hendak memasuki grade 12. Bajunya menyempit dan roknya memendek menjadi rok mini. Mau tidak mau ia harus memesan seragam yang baru dan kemari untuk mengambilnya. Ia harus mencuci dahulu sebelum beberapa hari kemudian sudah dapat ia kenakan.

Talulah memiliki postur tubuh yang tegak. Syukurnya karena cara berbusananya yang anggun serta raut wajahnya yang terkesan adem serta tenang, tidak ada kesan angkuh yang terlihat pada cara berjalannya tersebut.

Talulah berjalan menyusuri lorong di antara gedung secondary dan area parkir dengan tegak, walau hatinya yang gontai. Saat itu masih pagi, tetapi cahaya sudah lumayan terang. Maka tak mungkin Talulah tak melihat kehadiran satu sosok laki-laki yang berjalan dari arah berlawanan dengannya beberapa meter di depan.

Talulah mendadak merasakan tubuhnya bereaksi dengan cukup aneh. ada rasa menggelitik di rongga dada dan di dalam perutnya ketika sosok itu semakin mendekat.

Talulah menarik ujung-ujung bibirnya untuk membentuk senyuman, meski ia tak yakin bahwa itu berhasil. Ia tak terlalu sering tersenyum.

Talulah mendengar, "Hi, morning," sapa laki-laki itu sembari berlalu. Ia tidak hanya menyapa, tetapi mengangguk sedikit dan tersenyum lebar.

Talulah merasa lututnya mendadak bergetar dan goyah. Untung ia segera sadar dan bertahan. Ia tak tahu racun apa yang terdapat di senyuman lebar laki-laki ini. Wajahnya yang memesona terlihat begitu menanangkan. Senyumannya yang sederhana itu membuat serasa hari ini memiliki makna. Hanya dalam beberapa detik saja Talulah merasakan perubahan besar pada mood-nya.

Talulah menguatkan diri. Dalam sepersekian detik ia memutuskan untuk tak melepaskan kesempatan ini.

Talulah berpaling ke arah laki-laki tersebut. "Eh, Mas ... Pak. Are you a new staff?"

Talulah melihat laki-laki itu ikut berpaling dan menghadap ke arahnya. Kembali ia tersenyum. "Ah, ya. Actually I'm a new history teacher here. I just need to go to the hall."

Talulah serasa tersengat. Seorang guru sejarah baru? What a great news.

Talulah tergagu. Ia tiba-tiba hilang kata. Tetapi tidak mau melewatkan peristiwa ini secepat itu. "Ehm, kamu murid disini? Atau sudah lulus?" ujar sang guru baru. Mungkin sadar bahwa Talulah gagap bahasa.

Talulah tersenyum selebar yang ia bisa untuk menutupi kegugupannya. "Oh, iya Mas, eh Sir. Saya siswa kelas 12 tahun ini. Mau ke sekolah ambil seragam baru."

Talulah melepaskan kegugupannya dengan baik. Ia mendapatkan ganjaran dengan senyuman menawan sang guru baru. "Maaf ya, saya pikir mungkin alumnus, soalnya tidak pakai seragam. My bad."

Talulah menahan senyumannya. "Saya juga minta maaf, saya pikir Mas, eh, Sir, bukan guru."

Talulah tersentak ketika sang laki-laki mengulurkan tangannya. "So, you'll be the first student in this school who knows me. Nama saya Milo Narendra. Nanti kamu manggil saya Mr. Milo."

Talulah menjabat tangan laki-laki itu. "I'm Talulah."

Talulah mendengar Mr. Milo merespon, "Nice name. Sudah jarang orang pakai nama itu sekarang. So, you're ..?"

Talulah menjawab, "Ah, papa orang Texas, Smith. Nama lengkap saya Talulah Claire Smith. Ehm ... Sir nanti mengajar kelas saya?"

Talulah tak berkedip ketika melihat Mr. Milo menjawab. Ia memerhatikan bibir itu bergerak, "Ehm, grade 12 ya? Kamu ambil social science untuk AS atau A Level Cambridge? Kalau ya, ya berarti kita bakal ketemu di kelas."

Talulah mengangguk. Mungkin terlalu kencang dan bersemangat. Tapi, memang ya, Talulah berencana untuk mengambil mata pelajaran ilmu sosial, salah satunya adalah sejarah. Betapa ia ingat bahwa mungkin satu-satunya alasan Talulah masih bertahan di sekolah ini adalah guru sebelumnya, Mr. Rahman. Guru dengan aura kebapakan yang ketal itu kini telah pindah dan tidak lagi mengajar di Uni-National. Harapannya sudah pupus untuk dapat belajar sejarah lagi dengan Mr. Rahman, sampai kini, ternyata ada sosok guru tampan, muda dan bersemangat ini untuk mengajar di kelasnya setahun penuh? Kenapa dunia bisa semengejutkan ini.

Talulah lebih terkejut karena ia menatap wajah Mr. Milo dengan lekat dan masih belum melepaskan jabatan tangannya. "Aight, so I'll see you, then? Saya masih harus ke hall. Ada pertemuan dengan guru-guru dan staff lain disana," ujar Mr. Milo.

Talulah yang tersadar langsung melepaskan genggaman tangannya. Ia menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya ketika sedikit menunduk karena malu, serta menahan senyumannya agar tidak terlalu lebar. "Ok, see you, Pak," ujar Talulah.

Talulah memandang punggung Mr. Milo sampai sosok itu tak terlihat lagi.

Beberapa hari kemudian, Talulah yang duduk di antara siswa dan siwi Uni-National, mengulum senyumannya ketika melihat sosok Mr. Milo dari jauh. Dadanya serasa menggembung karena ingat bahwa ia adalah murid pertama yang mengenal guru baru itu.

Talulah awalnya merasa ialah yang bertepuk tangan paling keras di ruangan itu ketika Mr. Milo memperkenalkan diri. Sialnya, ternyata murid-murid perempuan tidak hanya bertepuk tangan liar, tetapi juga bersorak dan berteriak-teriak keras bernada genit menggoda.

Talulah kesal luar biasa. "Hey, Mr. Milo bukan tipe cowok Korea yang kerap kalian bahas itu. Ia juga tidak tinggi dan berwajah indo. Ia bercipta rasa lokal. Jadi, tolong stay out of this one, will ya?" jeritnya di dalam hati. Rasanya tidak adil sama sekali. Apa hanya karena Mr. Milo guru baru dan masih muda sehingga murid-murid perempuan jadi keganjenan seperti ini? Sudah bertahun-tahun Talulah kebosanan mampus bersekolah di tempat ini, kemudian ketika ada hal yang membuatnya sedikit saja merasa nyaman, ia harus berebut dengan yang lain? Give me a break! Rutuknya dalam hati.

Talulah bertekad, dengan tanpa memperhatikan logika dan hanya mengikuti perasaannya yang sudah menggila sejak pertama kali bertemu sang guru baru, ia akan menggunakan segala macam cara untuk mendekatkan garis takdirnya dengan Mr. Milo.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang