32

4 2 0
                                    

Mr. Milo tersenyum mendengar jawaban dari Rachel. Ia memandang Rachel dan mencoba mencari jawaban lain di permukaan kedua matanya yang sipit, tetapi indah itu. "Kok bisa menjudge kalau saya nggak bakal menganggap serius alasan kamu?"

Rachel membalas tatapan Mr. Milo. Hatinya serasa teriris. Ia sungguh ingin langsung saja mengatakan bahwa alasan utama kegundahannya adalah Mr. Milo sendiri, sosok yang berada di depannya. Mr. Milo lah yang membuatnya mendadak menjadi enggan untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan negara ini, bahkan meninggalkan sekolah ini. Mungkin ia berlebihan, lebay, tapi apa mau dikata: rasa itu terlalu kuat. Saat ini saja, merasakan udara Hong Kong, memandangi taburan bangunan, bukanlah sesuatu yang aneh bagi dirinya. Yang istimewa bukanlah Hong Kong itu sendiri, tetapi adanya Mr. Milo di sampingnya. Memori 'keberadaan' dirinya dan Mr. Milo inilah yang tak akan mungkin terganti dengan apapun. Fakta bahwa ia memang harus meninggalkan Uni-National adalah kenyataan yang pahit.

Namun, mana bisa ia seperti itu. Mana mungkin ia utarakan semua kegundahan hatinya langsung kepada yang bersangkutan. Mr. Milo bisa-bisa akan langsung ilfil dengan dirinya.

"Aku nggak ngejudge Bapak, kok. Aku tahu aja kalau Bapak nggak bakal paham," jawab Rachel.

Mr. Milo mengernyit. "Sengaja bikin saya penasaran apa gimana? Kok mancing gitu?"

Rachel melirik Mr. Milo. Ia tersenyum tipis. "Biarin, wek," balas Rachel sembari menjulurkan lidahnya mengejek Mr. Milo.

Mr. Milo mendengus, meringis, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.

Rachel melirik kamera yang digenggam Mr. Milo. "Udah lama suka fotografi, Pak?"

"Lumayan. Nggak jago kok saya. Cuma suka aja memotret."

"Ooo ...," ujar Rachel. Sepasang bibirnya yang manyun membentuk huruf O itu membuat Mr. Milo tersenyum geli.

"Tapi, aku lihat di Instagram, Bapak cuma motoin object. Kopi lah, buku lah ... kok nggak foto orang sih, Pak? Model gitu. Eh, ada satu sih. Tapi itu juga nggak kelihatan wajahnya."

Mr. Milo tersenyum. "Orangnya udah lama meninggal," jawab Mr. Milo singkat.

Rachel merasa tenggorokannya tersedak. Ia sudah tahu, tetapi tetap saja mendapatkan pernyataan itu langsung dari orangnya membuatnya merasakan perasaan sedih dan prihatin yang aneh. Ia langsung memalingkan tubuhnya ke arah Mr. Milo. Kemudian menundukkan kepalanya menyesal. "Aku minta maaf, Pak. Aku ikut merasa berduka, Pak. Sekali lagi maaf ya."

"Eh, udah-udah, kayak apa aja. Sudah lama. Lagian bukan salah kamu, kok," balas Mr. Milo. "Jadi, sebenarnya saya bukan nggak mau motoin obyek orang atau manusia, malah banyak kok di kamera. Selama di Hong Kong ada foto murid-murid, guru-guru, tuh. Cuma nggak dipost aja di Instagram."

Rachel yang semula menahan gelombang air mata di balik kepalanya yang mendadak ingin keluar, kini sudah berhasil mengembalikan keadaan. "Maksud aku tuh foto model gitu, Pak. Pasti banyak cewek-cewek yang mau difotoin Bapak."

"Ya udah. Saya fotoin kamu aja sini," ujar Mr. Milo. Ia langsung membuka penutup lensa kameranya.

"Lho, are you serious, Pak?"

"Kamu bilang sendiri banyak yang mau saya fotoin. Kamu mau emangnya?"

Awalnya Rachel mengeluh. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Jangan ih, Pak. I'm ugly. And I haven't prepared for this. Baju aja kayak gembel gini, Pak."

Mendengar ini Mr. Milo menurunkan kameranya. Ia tidak mau mengambil gambar Rachel tanpa persetujuan yang bersangkutan.

"Katanya minta saya motret orang. Ya udah kalau begitu," kata Mr. Milo. ia berpura-pura ingin kembali menutup lensa kameranya.

"Emangnya nggak apa-apa saya pakai baju gini?" ujar Rachel.

"Yang penting teknik, Rach. Saya foto sekali. Kalau nggak suka saya hapus. Gimana?"

Rachel langsung mengangguk.

Maka Mr. Milo menjepret Rachel yang berdiri tersenyum.

"Nih. Coba lihat dulu. Bagus nggak?"

Rachel tersentak. Satu foto hasil jepretan Mr. Milo itu terlihat bagus. Ia melihat dirinya berdiri tegak. Senyumannya terkembang, membuat wajahnya bersemu merah muda dengan sepasang mata yang hampir hilang ditelan pipinya. Namun, ia sungguh terlihat cantik. Ia tak pernah merasa secantik ini sepanjang hidupnya. Senyumnya sangat hangat dan tulus. Pakaian yang dikenakannya tak berlebihan. Sinar mentari bermain-main di motif bebungaan dress-nya dengan latar belakang bangunan pencakar langit Hong Kong.

"Mau saya foto lagi? Hasilnya nanti saya kirim semua ke kamu," ujar Mr. Milo.

Rachel mengangguk perlahan.

Tak lama kamera Mr. Milo sungguh 'memakan' Rachel dengan jepretannya.

Total 32 foto beragam pose yang berhasil Mr. Milo rekam dengan kameranya. Rachel tersenyum malu menutup mulutnya, Rachel tertawa lebar memandang ke kamera atau memalingkan wajah, Rachel terlihat dari samping dengan pandangan seakan-akan kosong melamun, Rachel menatap ke kamera ke arah Mr. Milo dengan penuh cinta ...

Deg!

Foto terakhir itu, yang ke-32, yang membuat Mr. Milo menghentikan jepretannya. Mr. Milo menghela nafas untuk menormalkan kecepatan detak jantungnya yang mendadak menjadi cepat.

"Mau lihat?" tawarnya kepada Rachel yang dengan bersemangat mengangguk serta langsung mendekat.

Mr. Milo memperlihatkan hasil jepretannya melalui display kamera.

"Baguuss ... ih, keren, Pak. Mau .. mau," ujar Rachel berseri-seri.

Mr. Milo dapat merasakan aroma wangi rambut Rachel yang beberapa helainya menyapu wajahnya ketika gadis itu menempel mendekatinya untuk melihat hasil foto.

"Wah, Bapak beneran hebat, ya. Aku akuin deh teknik Bapak numero uno. Aku kelihatan cantik banget, sih. Iya 'kan, Pak? Kayak model gitu," ujar Rachel cerita. Senyumnya melebar.

Mr. Milo mengedikkan kedua bahunya. Ia hanya tersenyum melihat Rachel begitu girang.

Mr. Milo tak sadar telah memperhatikan setiap perubahan pada wajah Rachel. ujung-ujung bibirnya yang tertarik ke samping karena tersenyum atau tertawa, kerutan di matanya akibat desakan dari kedua pipinya yang menggelembung, atau alisnya yang naik turun.

Sial! Mengapa aku memperhatikan dia sampai seperti ini? Pikir Mr. Milo.

"Kamu jadi model aja," ujar Mr. Milo singkat. Ia berharap kalimatnya ini dianggap becandaan saja.

"Model dimana Pak? Di hatimu?" balas Rachel. Ia tertawa.

Mr. Milo kembali menggeleng. "Nggak bisa menang lawan kamu, Rach."

Keduanya tertawa bersama. Beragam perasaan campur aduk menguar di udara. Rachel yang mendadak merasa bahwa ia memiliki pesona dan kecantikan seperti itu, yang tak pernah ia perhatikan sebelumnya. Mr. Milo berhasil menunjukkan sisi yang tidak semenonjol itu selama ini. Sedangkan, Mr. Milo yang memang sudah merasa bahwa Rachel adalah murid perempuan tercantik di sekolah, terpukul oleh pesona sang gadis yang tiba-tiba meledak tepat di matanya. Seakan-akan ia dipaksa untuk mengakui bahwa Rachel memang secantik itu.

Tawa keduanya adalah tawa lepas kebebasan penerimaan tersebut, walau hanya di dalam hati.

"Bapak jago ya ternyata. Suhu. You know what, aku jadi kayak secantik Vivian loh, Pak."

"Kamu malah lebih cantik dari Vivian, atau siapapun di sekolah ini, Rach," ujar Mr. Milo ... di dalam hati.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang