Google Drive

3 2 0
                                    

Sophia selalu dianggap sebagai sosok yang paling dewasa oleh Rachel. Mungkin lebih karena sahabatnya itu orangnya seriusan, sehingga ketika membicarakan hal-hal yang penting, Sophia selalu memberikan solusi dan perspektif yang paling obyektif. Namun, Vivian sesungguhnya yang paling sering mengunjungi rumahnya.

Suatu saat, sewaktu awal kelas 10, pernah Vivian datang ke rumahnya secara tiba-tiba sembari menangis. Kedua orang tuanya berpisah. Berhari-hari Vivian menginap di rumah Rachel. Orang tua Vivian secara bergiliran datang ke rumah Rachel, berusaha untuk meminta Vivian pulang. Papa dan Mama Rachel lah yang membujuk kedua orang tua Vivian yang tetap memutuskan untuk bercerai itu untuk membiarkan Vivian sementara di rumah mereka. Mereka paham apa yang terjadi sekaligus meminta kedua orang tua Vivian untuk memahami betapa berat masalah ini untuk seorang Vivian.

Vivian selalu merasa nyaman bertandang ke rumah Rachel. Ia selalu merasa rumah Rachel adalah sejatinya rumah, dimana konsep rumah yang mampu ia definisikan. Orang tua Rachel adalah dua sosok terbuka, figur orang tua sesungguhnya. Rachel yang anak tunggal tidak dibuat mereka manja, apalagi cengeng. Rachel tumbuh menjadi gadis yang ceria nan hangat. Tidak berlebihan, tetapi juga memiliki empati yang tinggi. Vivian rela menukar hidupnya dengan sejumput saja apa yang dirasakan Rachel di dalam keluarganya.

Itu sebabnya, di dalam the Four Musketeers, ia mendapatkan saudarinya disana. Dwi dan Sophia adalah sahabat-sahabatnya, tetapi Rachel selalu menjadi cece, kakak, baginya.

Vivian berasal dari keluarga yang super kaya, tetapi kehilangan cinta entah sejak kapan. Cece kandungnya, adalah mahluk yang beruntung. Kakak perempuannya itu sudah lama ingin minggat dari rumah yang hampa rasa itu. Maka, ketika ia dilamar oleh seorang laki-laki muda penerus perusahaan keluarganya, kakaknya langsung mengiyakan. Padahal saat itu usianya baru menginjak 21 tahun, dan ia belum menyelesaikan kuliahnya.

Vivian ditinggal tanpa sosok kakak perempuan ketika kemelut keluarganya mencapai puncaknya.

Vivian menutupi semuanya dengan menjadi cantik, dengan menjadi populer di luar sana. Di dunia maya, semua gadis iri padanya. Vivian yang tinggi nan ramping, kulit putih bersih tanpa cela, kecantikannya yang menawan, senyuman manisnya yang maut, rambut panjang lurusnya yang memikat dan puluhan ciri lain yang disematkan kepadanya akan rela ia lepaskan begitu saja untuk mendapatkan rumah dan keluarga yang ia inginkan.

"Cieee ... seneng banget lo, Rach. Coba kalau gue nggak minta lo foto bareng sama Mr. Milo di depan patung Bruce Lee tadi," ujar Vivian demi memperhatikan Rachel tersenyum-senyum memperhatikan hapenya di atas tepat tidur.

"Iya nih. Girang amat, Rach. Gue sama Vivi juga foto sama Mr. Milo lho tadi. Vivi sampe meluk lengannya Mr. Milo dengan genit gitu," lanjut Dwi.

"Itu kan mancing Rachel aja. Bikin dia panas," respon Vivian.

Rachel masih senyum-senyum di atas kasur hotel mereka di Hong Kong tersebut.

"Lo beneren liatin foto lo sama Mr. Milo terus-terusan, Rach?" tukas Vivian melihat Rachel tak merespon ujarannya dan Dwi.

"Hmm? Apaan?"

"Lah, ni anak lagi gila apa? Are you drunk or something, Rach?" ujar Dwi.

"No. But if I am, it's not a big deal. I'm seventeen, remember? I'm older than all of you, and I'm legal," jawab Rachel santuy.

"Lo kesambet ya, rach?" Sophia kini ikutan ambil bagian dari percakapan karena melihat Rachel seperti dalam keadaan trans seperti itu.

Rachel melirik ke arah para sahabatnya tersebut. Kemudian memperlihatkan layar hapenya dengan gaya yang angkuh dibuat-buat.

"Eh, which picture is it? Gue nggak pernah lihat kayaknya." tanya Vivian.

Rachel menggeser layarnya untuk menunjukkan beragam fotonya yang lain.

"Lho, itu 'kan hari ini. Baju yang lo pakai 'kan?" tanya Sophia.

Rachel mengangguk dengan percaya diri.

Ketiga sahabatnya langsung mengerubungi Rachel untuk memandang foto-foto di hapenya dengan lebih jelas.

"Gimana? Udah cantik belum gue? Kayak Vivian 'kan? Gayanya udah kayak model Instagram gitu."

"Eh, Rach. Sumpah lo cakep disini. Maksud gue bukan karena lo nggak cakep, tapi di foto-foto ini aura lo kelihatan," ujar Vivian takjub.

"Tunggu. Siapa yang motoin?" tanya Sophia. "Jangan-jangan ...," kata-katanya menggantung di udara.

Rachel tersenyum lebar.

"Oh my God! Is it him? Mr. Milo yang motoin elo, Rach? Sumpah?" ujar Vivian hampir saja menjerit.

Rachel melebarkan senyumannya. Ia mengangguk mantap dan bangga.

Vivian kini sungguh menjerit. Dwi menyusul. Sophia menutup mulut dengan kedua tangannya.

"Gilaaa ... it's insane, Rach. Kok bisaaa? Mana lo cantik banget lagi di foto-foto ini," ujar Vivian. Hape Rachel sudah di tangnnya. Ia dan Dwi sama-sama menggeser-geser foto-foto yang diungguh dari link Google drive yang Mr. Milo kirimkan tadi karena file-filenya terlalu besar untuk dikirim melalui WhatsApp.

"Nggak tahu. Tadi ngobrol-ngobrol sama Mr. Milo. Terus dia bilang mau motoin gue. Awalnya gue malu, sumpah. Tapi pas gue lihat, bener, gue keliatan cantik disitu. Udah deh, gue difotoin."

"Kok gue ikutan seneng ya, Rach. Beneran lo nekat ya. Beruntung banget bisa kayak gini sama Mr. Milo. Gue iri sama lo. Foto gue gandeng lengan Mr. Milo mah nggak ada apa-apanya sama ini," ujar Vivian.

"Tenang-tenang ... ini baru awal. Terimakasih atas dukungan teman-teman sekalian. Saya akan melanjutkan misi ke tingkat yang lebih tinggi," ujar Rachel sembari berdiri dan mengangkat kedua tangannya seperti seorang politisi calon anggota legislatif berbicara dengan para konstituennya.

Vivian menirukan orang sedang menyembah. "Ampun, suhu. Kami mengaku kalah." Dwi mengikutinya.

Sophia tersenyum. Ia senang melihat sahabatnya itu bahagia, meski hatinya tetap memberikan ruang prihatin dan ragu yang cukup besar.

Vivian kemudian menatap Rachel yang kini menghempaskan tubuhnya di atas kasur dan menghela panjang. "Gue nggak nyangka Mr. Milo bakal motoin gue kayak gini. Yang bisa gue bayangkan sekarang, dia punya 32 foto gue di kameranya."

"Gue seneng, sekaligus iri sama lo, Rach," ujar Vivian.

"Vivi cantik. Ngapain pake iri-iri segala, sih. Lo tu cakepnya kebangeten, tauk. Apalah gue dibandingin ama lo. Ni Mr. Milo aja yang berhasil nekan tombol rahasia jadi gue bisa keliatan glowing gini. Tapi elo, Vi, mang udah cantik dari lahir. Merem aja cowok-cowok pada antri. Nah gue. Nasib malah jatuh cinta sama guru sendiri. Tu sobat kita Sofi, sampe bingung harus bersikap gimana ama gue yang udah mabok cinta kayak gini. Iya 'kan Sof?" ujar Rachel, tahu apa yang dipikirkan Sophia.

Sophia yang sudah ketahuan basah langsung mendekat ke arah Rachel. "Bukan berarti gue juga nggak ikutan seneng, Rach. Ia memeluk Rachel. Dwi dan Vivian ikut menubruk sahabat mereka yang satu itu. "Berpelukaaan ...," seru Vivian.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang