For the Sake of Memory

8 2 0
                                    

Tiga tahun sudah berlalu. Rachel Loh berhasil menyelesaikan pendidikannya, wisuda dengan sosok kekasih yang mendampingi selain kedua orang tuanya. Sang Papa tanpa diduga begitu mengidolakan Milo: papanya itu menurut Milo adalah versi laki-laki dewasanya Rachel.

"Yang jadi pacarnya itu aku atau Papa, sih?" protes Rachel suatu masa gara-gara sang Papa merampok waktu kebersamaan keduanya.

Milo sendiri masih bekerja di project besar mengembalikan benda-benda bersejarah milik Indonesia di negara asing. Itu sebabnya Milo mampu berkomunikasi dengan baik dengan sang calon ayah mertua itu. Milo selalu bercerita mengenai sejarah, pengalamannya, bahkan pengetahuan yang selalu menarik bagi papa Rachel. Lagipula, keluarga Rachel ini sangat terbuka serta hangat, tidak masalah siapa yang menjadi jodoh Rachel. Tidak peduli latar belakang budaya dan perbedaan-perbedaannya, selama ia adalah orang baik dan bertanggung jawab. Kebetulan pula, Milo tidak sekadar baik dan bertanggung jawab. Ia pintar, seru, menyenangkan, berwawasan luas, ramah, rajin menabung dan baik terhadap sesama mahluk, begitu kata Rachel.

Hanya saja, selama itu pula Rachel dan Milo berkali-kali harus terpisah. Mereka menjalani Long Distance Relationship. Dalam masa itu, Rachel tidak pernah berubah. Ia tetap menjadi seorang gadis yang cerita dan positif. Ada sedikit perbedaan, yaitu, Rachel menggunakan kesempatan ini untuk habis-habisan menjadi gadis yang manja. Ia tidak lagi menutup-nutupi perasaannya yang dari dulu sudah bergejolak terhadap Milo itu.

"It's over now, Pak. Aku udah lulus kuliah. Aku mau ikut Bapak. Terserah kemana saja. Amsterdam, Paris, mana aja. As long as we are together," paksa Rachel.

Kedua orang tua Rachel sendiri selalu menggelengkan kepalanya setiap mendengar Rachel memanggil pacarnya itu dengan sebutan sayangnya, 'Bapak'. Namun, keputusan Rachel itu tidak bisa diganggu gugat. Milo juga tidak bisa melakukan apa-apa. Dia pasrah. Satu-satunya cara, ya kelak ia harus memanggil Rachel dengan "Ibu".

"Ya nggak bisa begitu. Kita kawin dulu, baru kamu bisa ikut saya kemana-mana," balas Milo.

"Ya, udah. Ayo kawin, Pak," tukas Rachel seperti tanpa berpikir agi.

Rachel memang seperti itu. Milo sudah hapal perilaku pacarnya itu. Malahan, secara ajaib, keduanya saling isi, cocok, lengket. Seperti diketahui, Rachel selalu manja dengan Milo. Setiap bertemu, dua kali setahun, Rachel sungguh tak mau melepaskan diri dari Milo. Lagipula, Milo suka itu. Milo bakal dihajar habis-habisan oleh Rachel: diciumi, dipeluki, dicubiti, digigiti. Rachel merasa bahwa Milo adalah pencapaian hidupnya. Mantan gurunya itu adalah sosok yang ia puja dahulu dan kini telah ia miliki. Mana mungkin ia lepaskan lagi. Milo pun tak mau kalah. Ia melakukan apapun yang mungkin bisa diberikan kepada Rachel. Kasih dan cintanya membludak setiap kali bertemu.

Tak lama project Milo terhenti sejenak selama beberapa bulan. Kebetulan sekali Rachel selesai pendidikannya. Maka, keduanya dapat menghabiskan waktu bersama cukup lama. Permintaan nekat Rachel untuk dikawini itu belum begitu saja bisa dipenuhi oleh Milo, tetapi tetap saja, Rachel si keras kepala selalu menagih. Ia tak mau menarik diri lagi, apalagi jaim.

Mereka akhirnya bertunangan.

Bukan karena Milo menyerah atas paksaan Rachel, tapi memang ia sudah siap.

Milo ternyata memiliki penghasilan yang lebih dari lumayan. Ia tidak hanya bekerja untuk Pemerintah Indonesia, tetapi juga menjadi pendidik dan ahli di bidang sejarah Indonesia di berbagai negara yang ia singgahi. Setelah project pemerintah ini selesai dalam satu atau dua tahun lagi, sudah banyak perusahaan atau institusi di berbagai negara yang memintanya bekerja disana. Itu sebabnya, Milo cukup percaya diri untuk meminang Rachel.

Acara sederhana itu dihadiri semua anggota the Four Musketeers: Vivian, Dwi dan Sophia.

Sophia yang datang bersama Jordan berdecak kagum dengan kemajuan luar biasa pasangan ini. "Perasaan gue yang niat kawin duluan. Eh, ni anak tahu-tahu udah tunangan aja," protes Sophia. Rachel hanya meringis.

Dwi datang bersama pacarnya, seorang laki-laki manis dari Jepang. Dwi di masa kuliah ternyata menjadi gadis populer di luar negeri sana. Ia sudah berpacaran lebih dari lima kali dengan cowok-cowok Asia Timur: Jepang, Korea, dan Tiongkok. Namun, memang, bahkan menurut Rachel sekalipun, Dwi semakin tambah cantik dan dewasa.

Vivian mendekat ke arah Rachel. "You're a lucky girl. He is too," ujarnya. Vivian memeluk Rachel erat. Ia bersyukur Milo sungguh pantas bersama sahabatnya itu. Rachel luar biasa mempesona, hampir tak bercela. Apalagi Milo ..., Mas Milo. (Ah, Rachel toh tidak keberatan ketika mengetahui Vivian memanggil Milo dengan sebutan Mas. Ia sungguh tak mau tahu apa yang pernah terjadi di antara mereka. Yang jelas, Milo sudah menjadi miliknya sekarang.)

Untuk merayakan ini, the Four Musketeers, termasuk Jordan, pacar Dwi dari Jepang itu, dan Milo, berangkat berliburan ke Hong Kong. For the sake of memory, ujar Rachel yang disepakati langsung oleh Vivian, Dwi dan Sophia.

***

Rachel dan Milo berjalan bergandengan tangan di Nathan Road. Milo Narendra, mengenakan beanie merah ciri khasnya, dengan Rachel Loh, sang tunangan, yang semakin cantik bersama kedewasaannya: baju terusan putih yang jatuh dengan indah di tubuhnya, berjalan di sampingnya. Angin hanya sedikit saja berhasil menerbangkan helai-helai rambutnya yang ditutupi dengan fiddler fisherman cap berwarna hitam. Ia tidak takut kedinginan oleh hembusan angin Hong Kong. Ada Milo yang merangkul pinggangnya dan siap membuatnya selalalu hangat.

"Pak, terimakasih atas segalanya. Atas tunangan ini, atas harapan dan hidup yang Bapak berikan," ujar Rachel ketika keduanya saling berdiri bertatapan di sebuah restoran di wilayah Nathan Road.

"Saya lega saya punya kesempatan ini, Rachel. Terimakasih juga buat kamu," balas Milo.

Rachel memandang wajah Milo lekat-lekat. Rasa-rasanya ia tak pernah puas memandangi sekaligus menikmati ketampanan pacarnya itu. Kadang-kadang, ia malah masih tidak percaya bahwa ia sudah bersama Milo sampai tiga tahun lamanya. Bahkan cincin tunangan sudah melingkar di jari manis keduanya.

"Pak. Aku ... aku pengin cium Bapak," ujar Rachel tanpa basa-basi.

Milo hampir tersedak minumannya sendiri. Ia masih tidak bisa menyesuaikan ritma kejutan yang selalu diberikan Rachel.

"Nggak mungkin disini, Rachel. Kamu pikir saya nggak pengin mencium kamu juga?"

"Kawinin aku cepat ya, Pak. Jadi kita bisa bersama terus, setiap saat. Aku tersiksa kalau harus menahan diri seperti ini," Rachel. Setelah itu ia tertawa, nakal, badung.

Namun, malam itu, memang, Rachel dan Milo berdiri berhadap-hadapan di balkon restoran yang dahulu pernah mereka kunjungi sebagai guru dan murid. Tempat dimana Milo memotret Rachel. Kini, keduanya sudah tak malu-malu lagi saling peluk dan rengkuh dengan erat. Sepasang bibir mereka sudah kembali bertautan. Milo tak pernah bosan mengecup lembutnya bibir Rachel yang selalu merah bahkan tanpa lipstik itu.  

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang