Milo mendapatkan informasi dari petugas apartemen bahwa Rachel sedang tidak ada di tempat. Setelah melanglangbuana di Singapore beberapa jam, sampai malam hari, Rachel ternyata masih tidak ada di tempat. Milo sudah makan, nongkrong di café, bahkan iseng jalan-jalan di Marina Bay, untuk menghabiskan waktu. Seharian ia melawan pikiran mengenai skenario pertemuannya dengan Rachel.
Ketika kembali tak mendapatkan informasi di apartemen Rachel tentang keberadaannya, Milo memutuskan untuk mencoba menghubunginya melalui telepon, tepat ketika teleponnya menyala. Vivian menghubunginya.
"Mas, sekarang ada dimana?"
"Hmm ... Singapore."
"What? Are you for real? Mas ke Singapore? Buat langsung nyamperin Rachel?"
Milo tersenyum tipis sendiri.
"Gini, Mas. Jadi, aku, sama anggota geng SMA dulu yang lain, Dwi dan Sophia, lost contact sama Rachel."
Milo mengernyit.
"Apa Mas sudah ketemu sama Rachel?"
"Pantas, Vi. Saya seharian belum bisa ketemu dengan Rachel. Saya baru saja mau hubungi dia pas kamu telepon."
"Oh, God! Gimana ini ya? Nomer teleponnya sama sekali nggak bisa dihubungi, Mas," seru Vivian panik di seberang sana. "Kalau masih nggak bisa dihubungi hari ini, aku rencananya mau telepon mama papa-nya, Mas."
Milo menghela nafas panjang. Ia menatap ke angkasa, entah kemana. Namun, kemudian tersenyum. Semesta sepertinya memberikannya apa yang perlu ia ketahui.
"Jangan khawatir. Saya coba hubungi dia dulu ya. Nggak perlu telepon ortunya, takutnya malah ikutan panik. Kalau memang masih tidak aktif nomer teleponnya, saya pikir saya tahu dia sekarang ada dimana. Tunggu saja kabar dari saya dulu ya."
Milo yakin betul kemana arah kakinya itu akan melangkah kemudian. Ada semacam kelegaan luar biasa ketika menyadari bahwa tempat yang hendak ia tuju ini.
Vivian mau tidak mau harus menerima ide Milo ini. Ia juga meyakinkan kembali kedua temannya untuk tidak menghubungi kedua orang tua Rachel, tanpa memberitahukan apapun mengenai Mr. Milo, tokoh penting di dalam cerita mereka ini.
Malam itu juga, Milo kembali terbang. Singapore Airlines membawanya melintasi angkasa. Mungkin malam ini juga, ia akan dapat bertemu dengan Rachel. Instingnya belum tentu seratus persen benar, tetapi jelas perlu dipercaya.
Ketika Vivian bercerita bahwa ia telah lama tidak menghubungi Rachel dan sahabat-sahabatnya itu, kemudian tadi Vivian mengatakan bahwa Rachel mendadak menghilang dan tak dapat dihubungi, satu hal yang terlintas di pikiran Milo: Rachel mengetahui bahwa Vivian sedang dekat dengan dirinya. Milo tak tahu bagaimana itu terjadi. Vivian sendiri mengatakan bahwa Rachel memiliki perasaan pada dirinya, maka mungkin sekali Rachel merasa dikhianati ketika mengetahui atau ada kecurigaan bahwa Vivian dekat dengannya.
Milo merasa bahwa bila ini benar, rasa cemburu tersebut terasa manis. Milo tak mampu lagi menutupi rasa girangnya karena ia tahu pasti apa yang sedang Rachel rasakan saat ini.
Dengan begitu percaya dirinya, Milo sampai di tempat yang dituju. Tempat itu begitu akrab baginya. Ia memesan taksi dari bandara, malam itu juga, menyusuri kota dengan lampu-lampu bangungan gemerlapnya. Taksi membawanya menaiki sebuah bukit, sebelum berjalan berkelok-kelok.
Ia berhenti tepat di tepi jalan, yang membuatnya mampu melihat skyline dari gedung-gedung tinggi di pusat kota melalui tempat ini. Milo sengaja berhenti sedikit jauh dari titik yang hendak didatanginya. Dan memang benar, ada sebuah mobil diparkir dengan sosok orang yang ia kenal berdiri membelakanginya.
Milo mendatangi tempat dimana ia dan Rachel berhenti sewaktu selesai mengantar Vivian pulang ke rumah dari prom night, lebih dari setahun yang lalu. Hatinya berkata bahwa Rachel pasti pulang ke Indonesia, bukan melarikan diri. Ia adalah anak yang bahagia, yang terlihat jelas dari keceriaan dan kebahagiaan yang selalu ia tunjukkan. Dari cerita Vivian, Rachel memiliki kedua orang tua yang penyanyang dan perhatian pula. Itu sebabnya, tak mungkin Rachel mengecewakan dan membuat kedua orang tuanya panik.
Maka, Milo menduga sang gadis pulang ke rumahnya. Ia juga menduga bahwa ketika pulang, Rachel akan pergi ke tempat indah ini, yang kalau bukan gara-gara Milo, Rachel tak akan mungkin berhenti dan menikmati pemandangannya sampai sekarang.
Milo yang berbekal tas punggung kecil dan beanie merah, berjalan pelan tetapi pasti ke arah Rachel yang menutupi tubuhnya dengan pakaian berwarna pastel yang terlihat nyaman dikenakan. Rambut panjangnya tergerai, terembus oleh angin bukit.
"Sudah saya duga kamu pasti di sini," ujar Milo tepat ketika ia sampai di samping Rachel.
Rachel tersentak, kaget setengah mati. Sepasang matanya yang sipit terbuka lebar, begitu juga dengan mulutnya. Butuh sepersekian detik baginya untuk memahami siapa yang sudah berdiri di sampingnya.
Milo tertawa. "Maaf kalau bikin kaget. Saya jauh-jauh dari Singapore lho. Belum sempat istirahat, cuma mau langsung ketemu kamu."
"Pak ... Pak Milo?" ujar Rachel tergagap.
Rachel terlihat jauh lebih cantik dibanding sewaktu ia masih sekolah dulu. Wajahnya sedikit lebih tirus sekarang, tetapi sepasang pipinya masih merah segar menggemaskan. Apalagi raut wajah terkejut nan tak percayanya itu, semakin membuat Milo gregetan.
"Tapi, Bapak ... Bapak? Bapak ke Singapore?"
"Iya. Ini saya baru sampai. Langsung ambil penerbangan sore, biar bisa sampai tepat waktu. Untung kamu masih disini." Milo tersenyum lebar.
Rachel luruh, runtuh. Bila tidak benar-benar sadar, bisa saja ia jatuh. Senyuman dahsyat dari sosok itu yang dari dulu membuatnya blingsatan terpesona. Ia pula yang merasa kehilangan senyum itu ketika tahu Vivian yang mungkin sudah memilikinya, membuat hidupnya saat ini terasa kacau balau.
Kini, mendadak, sang sosok hadir tepat di depannya. Ia ingin meraba, mencengkram, mencubit Mr. Milo untuk yakin benar sosok itu adalah orang yang selama ini ada di dalam pikiran dan jiwanya.
"Kenapa? Kamu nggak percaya ini saya? Boleh dites kok," ujar Milo melihat rachel masih dalam taraf kebingungan.
Milo langsung menjerit pelan ketika Rachel mencubiti lengannya.
"What the hell? It's really you, Pak!" seru Rachel.
"Ya, masak hantu." Ujar Milo. Respon canda bapak-bapak yang menjadi ciri khas Milo, menurut Rachel. Jadi, sungguh Mr. Milo memang hadir secara nyata.
"Kok bisa Bapak ada disini?"
"Ceritanya tidak terlalu singkat, sih. Tapi kamu punya waktu 'kan?"
Rachel mengangguk. Namun, ia langsung berpaling. Kemudian celingak-celinguk ke belakang, kiri dan kanan, seperti mencari sesuatu.
"Kenapa? Cari Vivian? Saya sendiri, kok. Saya juga nggak pacaran sama Vivian," ujar Milo langsung tanpa basa-basi. Ada senyum jahil disana.
Rachel tersentak. Bagaimana Mr. Milo tahu apa yang membuatnya resah? Dalam keremangan malam di bukit, di tepi jalan melingkar, dengan pemandangan pusat kota dan lampu-lampu megahnya, Milo tersenyum melihat Rachel menunduk malu. Pipi dan bibirnya memerah.
Rachel benar-benar malu. Pikirannya yang kalut beberapa menit yang lalu langsung terkejut dan bingung. Sekarang, ia malah seperti ditelanjangi. Apa yang terjadi padanya hari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...