Jewel Changi Aiport adalah sebuah kompleks raksasa yang berisi hiburan serta berbagai toko atau retail dengan tema alam yang terkoneksi langsung dengan terminal penumpang di bandara Changi, Singapura. Yang paling terkenal di tempat ini adalah air terjun indoor tertinggi di dunia bernama the Rain Vortex. Di sekeliling air terjun itu dihiasi dengan hutan hujan atau rain forest buatan yang rimbun.
Tidak hanya itu, wilayah Jewel juga termasuk taman, atraksi, hotel, dan sekitar 300-an toko serta restoran. Luas wilayah ini kurang lebih 135.700 meter persegi, dan terdiri atas sepuluh lantai: lima ke atas, dan lima lantai di bawah tanah.
Milo pernah sekali ke Singapura. Dan itu adalah pertama kali juga ia ke Jewel yang merupakan bagian dari bandara Changi yang dianggap bandara terbaik di dunia. Perjalanan dari early baggage check digital tempat mereka tadi berkumpul sebenarnya tidak jauh, malah cukup seru apalagi dijalani bersama-sama dengan rombongan. Lengkungan cembung atap raksasa Jewel pun sebenarnya sudah terlihat ketika pertama mereka sampai di pintu masuk airport.
Milo, Laoshi Stephanie, Cindy dan Rian lah yang membawa anak-anak murid kelas 12 itu untuk menikmati Jewel sebelum nanti mereka masuk untuk check in. Namun, para guru sudah mewanti-wanti pada para murid untuk tidak menghabiskan terlalu banyak uang dan waktu di tempat ini, karena memang tujuan utama mereka aalah Hong Kong, walaupun, kalau mau jujur, para murid tidak akan kesulitan dalam hal keuangan. Hanya saja, mereka memiliki waktu dan tenaga yang terbatas.
"We have the responsibility to make you stay in one piece. So, don't get lost, please," ujar Milo keras kepada para murid yang ikut rombongan ini. Ia tidak mau anak anak yang tercecer atau amit-amit sampai hilang. Milo juga meminta agar anak-anak untuk tidak pergi ke toko-toko atau menikmati wahana yang ada di sana. Ia kembali meningatkan bahwa tujuan utama field trip mereka ini adalah Hong Kong, bukan Singapura.
Silvia menempel di samping Milo dan Laoshi Stephanie sembari memegang catatan untuk membantu mengecek keberadaan masing-masing anak. Ia juga dibantu oleh dua sahabat indonya, Sydney dan Sandra. Silvia tak tanggung-tanggung untuk mencari muka kali ini. Ia terlihat serius dalam mendata nama-nama murid dan berkoordinasi dengan Milo setiap saat.
Vivian, Dwi, Sophia dan Rachel juga tak jauh dari tempat Milo berada. Nadya, teman sekelas Rachel yang kegirangan karena diperbolehkan ke Jewel, tetap harus berada dekat-dekat Milo juga. Talulah dan Rita, sayangnya, terpaksa harus ikut rombongan Rian dan Cindy, agar lebih mudah untuk melihat keberadaan murid.
Ini jelas rencana yang baik, karena puluhan murid itu melewati jalur hutan buatan, jembatan kaca dan jalan di sekitar the Rain Vortex yang begitu luas. Air terjun itu juga memang merupakan pemandangan yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri, Singapura berhasil menarik perhatian dunia dengan ide-ide gila dan brilian mereka.
Anak-anak kelas 12 Uni-national ini sungguh-sungguh menikmati waktu. Mereka tertawa, mengambil gambar, bercengkrama tetapi masih dalam koridor yang bisa dimaklumi. Tidak ada yang terlalu berlebihan dengan pergi terlalu jauh atau tidak beraturan. Syukurnya, ternyata mereka semua mau diajak bekerjasama.
Milo merasa tenang dengan kenyataan ini. Semua anak yang berada di dalam tanggung jawabnya gampang terlihat olehnya. Ia menghela nafas, kemudian berbalik memandang air terjun raksasa yang jatuh dari langit-langit dome itu tepat di tengah. Pemandangan ini luar biasa menenangkan dan menyenangkan. Ia bahkan sedikit tersenyum.
Silvia berdiri di sampingnya dan meletakkan kedua tangannya di pembatas jembatan. "Isn't it magnificent?" luar biasa bukan? Tanya Silvia. Tetapi sepasang matanya cenderung menatap sudut-sudut wajah Milo dari samping, seakan pertanyaannya adalah mengenai wajah Milo yang rupawan, bukannya air terjun tersebut.
Milo tersenyum. "Yes, that's right. A great country like this, doesn't have any natural resources, but it can make it by itself," ulas Milo. Ia menjelaskan kepada Silvia bahwa untuk negara sekecil Singapura yang hampir tidak memiliki sumber daya alam sama sekali itu bisa menciptakannya sendiri, dengan kekuatan ekonomi dan teknologi.
Silvia mengangguk. Untuk kesekian kalinya Silvia disadarkan bahwa Mr. Milo sungguh memesona. Ia awalnya yang mau menegaskan kemampuannya menundukkan siapapun yang ia inginkan, kini merasa bahwa jangan-jangan ia sendiri yang tunduk pada pesona Mr. Milo. Padahal, laki-laki ini tidak memiliki karakter yang merupakan bagian dari seleranya. Mr. Milo menurut Silvia tidak memiliki syarat ketampanan yang jadi standarnya. Namun, tetap saja guru yang satu ini memiliki magnet yang sulit ia jelaskan, tetapi terus saja menariknya semakin dalam setiap saat.
Silvia sengaja perlahan mendekat ke arah Mr. Milo. Tubuhnya yang tinggi jangkung mungkin melebihi tinggi Mr. Milo.
"Hi, Silvia. Hi, Pak Milo. Tahu nggak, aku bayangin ada bidadari mandi di bawah sana, kayak cerita Jaka Tarub."
Milo berbalik karena hapal dengan suara yang hadir tiba-tiba itu. Rachel berdiri dengan wajah khasnya, ceria dan memerah.
Milo mengernyit, kemudian tertawa. Ia tak bisa tahan dengan kerandoman gadis itu yang datang-datang dnegan tiba-tiba serta mendadak membahas tentang bidadari di legenda rakyat tersebut.
"Random amat, Rach," balas Milo singkat. Namun senyuman masih tergambar di wajah sang guru. Milo secara tak sadar akrab sekali dengan nada dan gaya suara itu. "Terus, kalau saya Jaka Tarubnya, bidadarinya siapa aja?" lanjut Mr. Milo.
"Ih, pengennya tuh. Lagian, yang bilang Bapak Jaka Tarubnya siapa?" respon Rachel singkat tetapi tersenyum lebar.
"Hi, Rach," sapa balik Silvia. Gadis itu mampu sekali menyembunyikan emosinya. Senyumnya yang mengembang membuatnya tetap terlihat jelita. "Where are your best friends? Vivian, Dwi and ... Sophia, of course." Bahkan suaranya mampu meredam emosi yang bergejolak ketika menyebutkan kata nama Sophia.
Tidak ada masalah bagi Rachel. Ia bukan tipe pembenci dan suka mengurus urusan orang. Sophia memang sahabat baiknya, tetapi tak ada alasan yang cukup kuat untuk membenci Silvia. Mereka juga memang sering membicarakan Silvia, apalagi berkaitan dengan hubungannya dengan Jordan dulu. Namun, sekali lagi, Rachel tak pandai membenci orang.
"They're like butterflies when seiing flowers. They're everywhere," ujar Rachel bercanda. Namun memang teman-temannya sedang seperti kupu-kupu yang beterbangan menikmati keindahan Jewel.
Silvia tertawa, sebuah tawa yang palsu, meski tetap terlihat tulus di mata orang yang tidak paham siapa Silvia sesungguhnya.
"That's cute, Rachel. I really hope we can enjoy this field trip, right Mr. Milo?" respon Silvia.
"Sure. We'll enjoy this moment. And, thank you for helping me out, Silvia."
Silvia mengangguk. Hatinya buncah karena serasa dipuji dan dihargai Mr. Milo. Ia berharap namanya sekarang melekat di pikiran Mr. Milo.
Sebenarnya tadi ia hendak langsung saja menggunakan jurus-jurus andalannya untuk menggoda Mr. Milo. Sayang, kedatangan Rachel merusakkan suasana. Namun, ia sama sekali tak merasa Rachel adalah saingan. Gadis satu itu memang cantik, tapi tak secantik dan sepopuler Vivian. Jadi, mungkin sifat Rachel yang memang dikenal paling ceria dan random dibanding anggota gengnya yang lain lah yang membuat Rachel sampai nyasar ke tempat ini. Silvia tak paham bahwa Rachel adalah gadis yang paling mengincar Mr. Milo. Silvia hanya menganggap Talulah sebagai pesaingnya, sosok yang paling dekat dengan Mr. Milo. Ia berencana menggantikan posisi itu secepat mungkin dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...