Jealous

6 2 0
                                    

"Kamu kenapa, kedinginan, ya? Nggak bawa jaket? Beanie kamu yang merah?" tanya Mr. Milo peduli ketika melihat wajah Rachel memerah tomat.

Rachel sadar, selain karena ia memang sedang menahan malu, ia juga sungguh kedinginan. Ia dengan ceroboh hanya mengenakan selembar kaos oblong yang dilapisi dengan sweater. Celananya pun celana kain tipis yang memang nyaman bila dipakai diluar, tetapi tidak mampu menahan hawa AC yang saingan dengan dinginnya udara langit di luar pesawat.

Rachel meringis. "Beanie-nya aku simpan di dalam tas yang dimasukin bagasi, Pak. Bego sih akunya."

Rachel membuka selimut yang memang disediakan oleh pesawat. Ia langsung membukanya dan menutupi seluruh tubuhnya. Namun, kepala dan wajahnya masih terpapar angin AC.

Mr. Milo menghela nafas. Ia melepas beanie merahnya, kemudian memberikan kepada Rachel. "Pakai ini saja. Nanti kembalikan pas udah turun, ya?"

Rachel tersentak. "Lho, terus, Bapak pakai apa?"

Mr. Milo menutup kepalanya dengan hoodie dari jaketnya. "Pakai ini. Udah, pakai aja. Nanti flu marah repot. Saya ikutan ketularan juga," ujar Mr. Milo.

Rachel tidak bisa lagi menolak – selain ia tak mau. Ia langsung mengenakan beanie itu di kepalanya. Aroma khas Mr. Milo langsung terasa nyaman sekali, memasuki ronggo hidungnya, terus menjalar sampai ke dada dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia hampir melonjak kegirangan. Ia melirik ke arah Vivian yang sudah melotot ke arahnya.

"Pak, lihat deh. Ini gaya siapa?" Rachel menunduk, menggaruk-garuk alisnya, kemudian menggeleng-geleng. Wajahnya serius.

Mr. Milo tertawa geli. "Kurang ajar kamu. Memangnya saya gitu?"

"Iya, Bapak emang kayak gini kalau sedang tidak bisa menerima kenyataan. Terutama kenyataan bahwa aku memang cantik."

Mr. Milo tanpa sadar menunduk, menggaruk-garuk alisnya, kemudian menggeleng.

Rachel tertawa girang. "Tuuuh 'kaaann ...," ujarnya panjang.

Mr. Milo tersadar, memegang kepala di balik hoodienya, kemudian ikut tertawa.

Vivian tak tahan lagi dengan romantisme monyet macam ini. Jiwanya meronta-ronta ingin merespon. Ia mencubit lengan Rachel yang langsung menjerit. "Vi, sakit, ah. Ngapain sih cubit-cubit?" ujarnya.

"Nih, anak. Gue jitak juga lo ya. Gue tadi lo cubitin diem-diam aja. Itu lo ngapain sama Mr. Milo? Lo dikasih beanie-nya dia?" tanya Vivian meredam suaranya serendah mungkin, supaya hanya bisa didengar Rachel.

"Dipinjamin doang, Vi. I'm cold. I'm being serious, by the way. So, it's not because I made it up. Gue nggak bikin-bikin. Emang dingin."

"Iya, iya. Tapi kok bisa seakrab itu sama Mr. Milo?"

"Ya, bisalah, Vi. We are meant to be together, Vi."

"Rach ... kok bisaa siiih ... gue iri tahu. Jealous gue. Lo tahu 'kan dari awal juga gue, Dwi dan lo sama-sama suka Mr. Milo. Lo beruntung banget siih. Gue nyicip dikit aja boleh nggak? Boleh pake beanie-nya, atau boleh peluk-peluk dikit nggak?" ujar Vivian dengan raut wajah memohon-mohoh. "Pleaseee ...."

"Eh, anak aja. Emang dia makanan pake dicicip-cicip segala. Emang lezat sih kayaknya," Rachel terkikik usil. "... tapi meluk dia gue aja juga belum pernah. Mana boleh. Nggak, nggak pokoknya. He's mine," jawab Rachel ketus. Ia meraba beanie-nya dengan gaya yang lagi-lagi usil menggoda Vivian.

Rachel kembalikkan badan. Kembali menghadap Mr. Milo.

"Pak, mau nonton apa nggak?" tanya Rachel. Ia menyentuh display televisi kecil yang ada di depan setiap seat.

"Hmm ... apa aja boleh."

"Yang romance mau? Biar sesuai dengan kita," goda Rachel. Ia sepertinya tak peduli lagi bila wajahnya sudah semakin merah, semerah darah. Mungkin bila dibiarkan wajahnya bisa meledak. Namun, ia sudah terlanjur nyemplung. Mandi saja sekalian.

"Jangan yang romance deh," jawab Mr. Milo singkat.

"Katanya bebas yang mana aja. Aku juga nggak suka romance, Pak sebenarnya. Cuma kalau sama Bapak, boleh lah. Biar kerasa, gitu," Rachel terkikik.

"Nggak perlu romance, yang penting rasa diantara kita memang ada," jawab Mr. Milo kembali membalas serangan Rachel. Mr. Milo tidak lagi menggaruk-garuk alis dan menggeleng-geleng dengan keusilan Rachel.

Rachel tahu bahwa Mr. Milo akan memainkan permainan ini. "Ih, serius ya, Pak. Mulai hari ini aku tahu kalau Bapak punya perasaan yang sama dengan aku." Rachel menatap lekat-lekat wajah Mr. Milo.

Mr. Milo kini tercekat. Matanya merekam kecantikan Rachel dalam keusilannya yang pekat. "Udah ah, becandanya. Saya nyerah, Rach," ujar Mr. Milo.

Rachel menghela nafas, kemudian tersenyum. "Memangnya nggak boleh ya, Pak kalau murid pacaran dengan guru? Nanya aja sih."

"Ya, nggak boleh lah. Memangnya kamu mikir hal seperti itu mungkin?"

"Alasannya apa coba, kok murid nggak boleh pacaran sama guru?" tantang Rachel.

Mr. Milo melebarkan kedua matanya tak percaya. "Are you serious? Nggak profesional, Rach. Terus murid 'kan masih di bawah umur. Guru bisa dituduh ... dituduh yang nggak benar."

"Nah, sekarang gini deh, Pak. Kalau gurunya perempuan. Masih muda nih. Terus ditaksir sama murid-murid laki-laki. Kayaknya nggak seheboh kalau guru laki-laki yang deket sama murid perempuan, deh. Iya, 'kan, Pak? Malah banyak yang jodoh-jodohin segala. Terus gurunya digenitin. Coba kalau dibalik, gurunya, kayak Bapak, terus godain female student, yang paling cantk, kayak aku gitu (Rachel terkikik), pasti udah rame aja. Bahkan bisa sampai tingkat nasional kehebohannya."

"Kita bahas siapa, sih, Rach?" tanya Mr. Milo, menatap Rachel dalam-dalam. Ia tidak terpancing dengan lelucon yang dibuat Rachel.

"Coba deh, Pak. Sophia masih 16 tahun. Jordan juga. Mereka pacaran. Dua-duanya di bawah umur. Grade 10 pacaran sama grade 11. Atau grade 10 sama grade 12 pacaran, nggak ada yang protes. Semuanya di bawah umur lho, Pak. Lucu nggak, sih?"

"Ya, nggak sesederhana itu, Rach. Kompleks masalahnya. I got your point, but morally, legally, it's wrong. Secara moral dan secara hukum, tetap seorang guru nggak bisa pacaran sama muridnya. Itu salah."

"Kalau aku 'kan udah 17 tahun. Aku paling tua lho dibanding anak-anak murid yang lain. Jadi, aku udah legal, dong, Pak."

"Kamu ngebet banget. Guru mana yang mau kamu pacarin?" Mr. Milo tertawa.

"Ya, nggak tahu. 'Kan cuma tanya."

Mr. Milo memicingkan kedua matanya. Rachel ikut memicingkan matanya sampai-sampai hampir hilang, membalas tatapan Mr. Milo.

Mr. Milo tak tahan, kemudian tertawa. Rachel juga.

Untuk sementara Rachel masih tidak berani masuk lebih dalam. Ia tak mamu memaksakannya, meski ia tidak yakin akan terus tahan seperti ini. Ia paham dan sadar apapun alasan serta penjelasan yang diberikan Mr. Milo. Namun, apa mau dikata, perasaannya berkata lain, kok. Kenapa Mr. Milo tidak bisa bersatu dengannya? Itu yang ada di dalam benak Rachel, berputar-putar di angkasa bersama pesawat Singapore Airlines.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang