Seat

3 2 0
                                    

Sophia, Rachel dan Vivian duduk di tiga kursi pesawat baris yang sama, di bagian tengah. Dwi terpaksa harus berada di sisi yang lain. Formasi ini serupa dengan sewaktu mereka berangkat dari Singapura.

Penerbangan selama kurang lebih empat jam kembali ke bandara Changi akan menyisakan memori yang bagi banyak murid tidak terlupakan. Rita Lim akan mengenangnya sebagai kisah manis di masa SMA. Mungkin juga ia bakal melupakannya kelak setelah lulus. Silvia Johnson, mungkin akan berpikir dua kali untuk kembali mendekati Mr. Milo. Ia tidak dapat menggunakan pesona dan teknik menggodanya kepada gurunya yang satu itu. Mungkin ia telah berhasil menggaet banyak cowok di dunia maya dan nyata, tetapi khusus Mr. Milo, mahluk itu sangat dewasa dan selalu bertindak secara profesional. Silvia berpikiran bahwa Mr. Milo selalu berusaha memberikan perhatian yang sama kepada semua muridnya. Itu sebabnya, tidak ada yang memberikan reaksi berlebihan ketika Talulah selalu dekat dengannya, atau Rachel yang selama dua hari mengenakan pakaian yang serupa. Tidak ada kecurigaan bahwa Mr. Milo dekat dengan salah satu murid perempuannya, seperti yang ia harapkan terjadi antara dirinya dan Mr. Milo.

Talulah sendiri sepertinya masih memiliki perasaan yang sama besarnya. Ia sudah mengungkapkan secara gamblang apa yang sesungguhnya ia rasakan selama ini. Hanya saja, masih menjadi misteri apa langkah selanjutnya yang akan ia ambil.

Rachel, selain semakin percaya diri, ia paham bahwasanya ia tetap harus berperilaku normal dan tidak berlebihan. Ia tak mau Mr. Milo ilfil dan malah kelak menjauhinya. Atau ia bakal melakukan tindakan yang bodoh dan konyol. Cuma, di sisi lain, kegalauan itu terus menerpanya. Tak terasa ia akan segera lulus dan meninggalkan tidak hanya sekolah, tetapi juga negeri ini. Ia harus melanjutkan pendidikan ke Singapura sebagai tujuan utama, atau ke negara-negara lain sebagaimana yang telah ia rencanakan lama. Akan konyol rasanya kalau ia mendadak mengatakan kepada papa mamanya bahwa ia akan berkuliah di negeri ini saja tetapi tanpa menggunakan alasan yang kuat dan jelas. Kedua orang tuanya yang hanya memiliki anak tunggal seorang saja sudah berjibaku dan bekerja keras merencanakan serta mempersiapkan segalanya agar Rachel dapat melanjutkan ke sekolah yang ia idam-idamkan. Bayangkan, ia akan mengatakan kepada papa dan mamanya, "Pa, Ma. Aku lanjut sekolah di sini saja ya, biar bisa ketemu dengan Mr. Milo tiap Sabtu di taman. Baca buku bareng, atau belajar fotografi sama dia."

Vivian mungkin yang secara emosional dekat dengan Rachel. Meski ia merasa bahwa rumah dan keluarga Rachel juga adalah bagian dari dirinya, tetapi hanya Sophia yang mampu menebak pikiran dan perasaan Rachel.

"Lo galau ya, Rach?" celetuk Sophia.

Rachel tersentak. Ia memang sedang melamun.

"Galau kenapa, Sof?"

"Kok malah lo yang tanya gue. Lo galaunya kenapa?"

Rachel Mengedikkan kedua bahunya. Ia masih enggan membahas hal ini karena jujur saja, ia masih mau menikmati kesenangan karena adegan kemarin.

Pesawat Singapore Airlines masih diam di tempatnya. Biasanya, selain mengantri cukup panjang dan lama hanya untuk take off, persiapan juga dilakukan ketika pesawat belum bergerak sama sekali. Para guru meminta izin kepada para pramugari dan pramugara Singapore Airlines yang mengenakan seragam khas itu untuk memeriksa para murid.

Kusak-kusuk terjadi ketika ternyata Sophia melihat salah satu murid perempuan, yang merupakan sepupu jauhnya sedang terlihat tidak enak badan. Mr. Milo yang melewati tempat duduknya langsung ingin segera memberitahu guru perempuan, entah Cindy entah Laoshi Stephanie untuk membantu sang murid.

Sophia menggoyangkan bahu Rachel keras. "Listen to me, Rach. Lo harus ingat apa yang udah gue lakukan hari ini. Gue masih nggak setuju lo sama Mr. Milo, ok. Tapi gue bukan sahabat yang nggak seneng lo bahagia. Just remember today, okay!"

Rachel yang kaget karena digoncang-goncang tentu saja semakin bingung dengan kata-kata Sophia yang tidak jelas maksud dan juntrungannya tersebut.

"Sir, Sir ... Pak Milo ...," panggil Sophia ke arah Mr. Milo sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Mr. Milo yang baru saja hendak meninggalkan tempat itu cepat untuk mencari guru perempuan berhenti dan memandang ke arah orang yang memanggilnya. Ia melhat Sophia mengangkat tangan kemudian mendekat.

"Pak, so, Janice is my cousin. Saya tahu banget kalau dia lagi ... ehm, lagi dapat, Pak. Memang kalau sedang menstruasi, dia memang sakit kayak gitu. Biar saya yang bantu. Saya duduk di samping Janice, temennya pindah ke seat Bapak saja. terus Bapak duduk disini, biar dekat dengan saya dan Janice. No need to call Miss Cindy or Laoshi Stephanie. I can handle it. But just seat near us. What do you think?"

Sophia .... What the heck are you doing? Jerit Rachel dalam hati. Itu berarti Mr. Milo bakal duduk di samping aku?

Mr. Milo berpikir sebentar. Namun, ia segera mengangguk. Ia tak perlu repot lagi memanggil guru-guru perempuan. Toh ia duduk tak jauh dari mereka. Maka, Mr. Milo segera meminta teman yang duduk di samping Janice untuk pindah ke seat-nya beberapa baris di depan untuk mempersilahkan Sophia duduk disana.

"Ingat ya, Rach, jasa gue jangan dilupakan. Never forget that I'm a good friend," ujar Sophia sebelum ia melepas seatbelt dan pindah ke seat di samping Janice.

Tak lama Mr. Milo datang. "May I sit here?" tanyanya kepada Rachel.

Rachel langsung menutupi kegugupan dan kekagetannya dengan tersenyum lebar. "Sure, Pak. Silahkan," ujarnya pendek berusaha menjawab sewajar mungkin. Untung suaranya tidak bergetar. Namun, ia langsung mencubit paha Vivian yang duduk di sebelahnya keras-keras. Vivian hampir menjerit, tetapi menahan mulut dengan tangannya.

"Jadi, Bapak duduk disini sampai Singapore, 'kan Pak?" tanya Rachel hati-hati. Ia hanya ingin meyakinkan agar kegirangannya tidak sia-sia.

"Iya. Nggak apa-apa 'kan? Atau saya minta tolong Miss Cindy biar kamu ...."

"Eh, nggak, nggak. That's totally fine, Pak. You must stay here, instead. Kebetulan aku mau tanya-tanya juga soal .. hmm ... fotografi, buku apa film gitu, Pak. 'Kan kita bisa bareng nonton juga."

"Oh ... ok kalau gitu. It's ok for you too, right, Vivian?"

Vivian yang ditanya langsung mengangguk cepat-cepat dan tersenyum semanis mungkin.

Rachel langsung merasa ingin melonjak-lonjak kegirangan. Selama kurang lebih empat jam, ia berada di udara di samping Mr. Milo. Ia tidak akan membuang kesempatan ini dan tentu saja tak akan melupakan jasa Sophia yang sengaja menciptakan keadaan ini, agar keduanya bisa duduk berdampingan. Mungkin sekali Sophia gerah juga melihat kegalauan Rachel ketika meninggalkan Hong Kong. Ia masih ingin memberikan kesempatan bagi Rachel untuk menikmati kesempatan ini, sebelum, ya, sebelum entah apa yang akan terjadi kelak diantara keduanya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang