Merajuk

3 2 0
                                    

Milo sudah berjalan di samping Vivian. ia tahu gadis itu sedang ngambek, merajuk. Namun, Milo juga tahu Vivian minta disusul. Buktinya ia memperlambat jalannya, menunggu Milo menyusulnya.

Milo tersenyum di samping Vivian. Ia menghela nafas panjang.

"Memangnya apa yang kamu tahu soal perasaan saya kep Rachel? Kok kamu seyakin itu?"

Vivian berhenti. Ia memandang ke arah Milo. Wajah tampan itu memang tidak ada duanya. Air sungai yang bersih dan jernih memantulkan sinar dari lampu di sepanjang jalan.

Vivian kini yang menghela nafas panjang. Sepasang matanya berkaca-kaca. "Saya minta maaf, ya, Mas. Sebenarnya saya malu sekali. Tapi semua sudah terlanjur basah. Saya suka dengan Mas Milo dari dulu. Sebenarnya, saya, Rachel dan Dwi suka bercanda mengenai Mas Milo. Rachel yang paling serius. Tapi dia nggak ada di sini sekarang, Mas. Saya nggak tahu dia ada dimana. Kami tidak saling berhubungan lagi. Hanya saya sekarang yang ada di depan Mas. Saya nggak menyalahkan kalau Mas pernah punya perasaan yang sama dengan Rachel, tetapi harusnya itu dulu. Kalau tidak karena semesta, mana mungkin kita bisa mendadak bertemu di tempat ini. Apa Mas tidak berpikir bahwa saya lah yang seharusnya menjadi kekasih Mas?"

Milo tersentak. Ia terkejut mendengar kesaksian Vivian, bahwa selama itu Rachel memiliki perasaan yang sama dengan dirinya? Jadi, selama ini ia tidak dapat mengetahui bahwa Rachel sungguh suka padanya?"

Milo menyandarkan punggungnya ke dinding sebuah toko. "Lupakan masa lalu, Vi. Jangan sesensitif itu. Kamu sendiri yang barusan menjelaskan untuk tidak terpaku pada masa lalau. Masalah perasaan saya sama Rachel itu tidak relevan." Milo tersenyum, membuat Vivian luruh.

Milo tak tahu lagi apa yang ada di pikirannya. Ia memang benar suka dengan Rachel. Bahkan sampai sekarang pun, ia sama sekali tak berniat untuk memiliki atau memcoba mencari kekasih mungkin karena masih belum bisa melarikan diri dari pesona mantan muridnya tersebut. Namun, ia memiliki kelemahan terbesar. Ia tak tega dengan Vivian. Masuk akal juga ketika Vivian mengatakan bahwa ia harusnya sudah melupakan Rachel.

Harusnya malah ia kesal dengan Vivian karena 'menembaknya' malam ini, sama seperti yang dilakuka Talulah dahulu. Ia juga harusnya kesal karena ternyata Vivian tidak memiliki informasi apapun mengenai Rachel. Masalahnya, ia juga kesal dengan diri sendiri karena berharap kedekatannya dengan Vivian beberapa hari terakir ini hanyalah karena ia masih berharap Vivian adalah sosok 'penghubung' dirinya dengan Rachel yang entah kapan mungkin saja bisa terjadi.

"Kamu tahu kalau kamu itu cantik dan mempesona, Vi?" tanya Milo.

Vivian merasakan jantungnya jatuh ke perut mendengar ini. Hatinya mencelos. Vivian menundukkan kepalanya, takut melihat Milo. Takut ia tersipu malu dan terkena serangan jantung.

"Tidak bakal ada yang berani menyangkal kecantikan kamu. Nobody denies your beauty." Milo tak menyangka ia mengucapkan ini di depan seorang gadis yang jelas-jelas sedang tergila-gila padanya. "But, I don't want to be unfair to you. Nggak adil kalau kamu kenal saya sebentar dan saya terpikat karena kecantikan kamu saja."

Vivian mengangkat wajahnya. Ia menikmati pemandangan kerupawanan Milo yang sungguh berada di depannya itu. Ia tahu kemana arah pembicaraan ini.

Milo meminta waktu.

Vivian pun tak mau menjadi gadis pemaksa yang secara brutal mengejar-ngejar sang pria – meski ia tak keberatan melakukan hal itu. Namun, Milo sungguh merupakan sosok yang berbeda dan istimewa. Milo sendiri yang mengakui bahwa Vivian cantik dan mempesona, tetapi laki-laki itu tidak begitu saja menggunakan kesempatan ini untuk memiliki Vivian. Milo nampaknya yang memberikan kesempatan bagi dirinya untuk lebih mengenalnya, bukan sebaliknya. Milo ingin menyadarkan Vivian atas pilihannya. Apakah benar Milo seperti yang ia inginkan atau tidak.

Apapun itu, Vivian lega. Milo sepertinya membuka diri untuknya. Nama Rachel mungkin tak menjadi terlalu bahaya lagi. Ia terpaksa harus menyembunyikan dan menghilangkan nama itu selamanya demi tujuannya, demi kepemilikannya atas seorang Milo yang sudah dari lama ia sukai dengan sangat.

Milo berjalan pelan. Vivian secara otomatis ikut berjalan di samping laki-laki itu. Udara Amsterdam malam ini sangat bersahabat. Tidak terlalu dingin, juga tidak gerah. Keduanya berjalan pelan selama lebih dari lima menit tanpa bicara. Vivian kesengsem. Hatinya berbunga-bunga. Ia tahu hanya membutuhkan waktu sebentar saja untuk Milo sungguh menjadi miliknya. Di lain pihak, Milo berkutat dengan pikiran dan perasaannya. Mengapa semua menjadi serumit ini, sih? Pikirnya. Apa karena ia memang yang membuat semuanya menjadi rumit? Mengapa tidak menerima orang yang jelas-jelas menyukai dirinya, dan sungguh ada di depannya. Mengapa harus membawa-bawa nama Rachel di dalam pikiran dan perasaannya, sedangkan terbukti bahwa ia tak berjodoh dengan gadis itu. Buktinya, ia tak tahu bahwa Rachel suka padanya. Rachel juga tidak tahu perasaannya yang sebenarnya. Lalu, bila mereka pun sama-sama tahu, tidak mungkin keduanya bersatu di masa ia masih menjadi guru dan Rachel adalah muridnya.

Sekarang? Sudah terlambat untuk masih meminta lini masa itu untuk berjalan sesuai dengan keinginannya.

Milo melirik ke arah Vivian yang sudah kembali tersenyum ceria. Ia malah tak menutupi sama sekali bahwa hatinya sudah riang lagi.

"Coba kalau kamu nggak kesal tadi. Kita masih ada di restoran, makan. Saya masih lapar," ujar Milo.

Vivian tertawa. "Iya, maaf, maaf. Wanna go back, or find another restaurant? Yang ringan-ringan aja."

Kali ini Milo yang memutuskan tempat makan mereka selanjutnya. Ia memang masih lapar, tetapi tidak selapar itu. Hanya memenuhi rongga perutnya yang belum sempat penuh tadi. Sedangkan Vivian, si model itu, tentu tak membutuhkan makan yang terlalu banyak. Maka, tempat makan yang mereka singgahi sudah tepat. Semi bakery shop, semi café.

Mereka kembali saling bercanda. Vivian menikmati setiap saat pertemuan mereka, setiap jengkal lekuk wajah rupawan Milo. Ia bersyukur bahwa Milo mungkin bukan tipikal laki-laki rupawan Eropa atau Korea yang bisa saja diperebutkan gadis-gadis di sekitarnya. Namun, sumpah demi apapun juga, ia tergila-gila dengan laki-laki itu.

Milo, memperhatikan kecantikan Vivian yang seperti dipoles alam dengan sempurna. Rambut panjang hitamnya tergerai, bermain di bahu telanjangnya yang molek. Tawanya, kedipan matanya, garis-garis di keningnya, semuanya indah belaka. Milo tidak menolak kecantikan itu, ia juga tidak menyangkalnya. Hanya saja, ia memerlukan percikan rasa itu. Ia sedang mencari-cari apakah memang ia bisa jatuh hati pada seorang Vivian, seperti, atau lebih dari seorang Rachel? ia masih sungguh-sungguh mencari.

Mungkin memang waktu yang dapat menjawabnya. Mungkin kelak ia sendiri tidak akan bisa menentang, menantang dan menolak rasa apapun yang muncul di dalam hatinya, tapi sekarang, ia masih akan terus menduga dan berusaha mencari percikan itu.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang